Mantan Mendikbud RI Wardiman Djojonegoro: Tanpa Toleransi, Negara Tak Maju
Pewarta: Rudi Mulya | Editor: Ronny Wicaksono
TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud RI) menegaskan jika toleransi sangat diperlukan karena masyarakat kita sangat beragam. Jika tidak, akan ada saling gontok-gontokan dan akibatnya negara takkan pernah aman dan tak bisa maju.
Hal ini disampaikannya dalam pembukaan acara ‘Training Pembuatan Kegiatan Penguatan Toleransi Untuk Guru atau Pembimbing Ekstrakurikuler’ yang diselenggarakan secara daring oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Kamis (29/10/2020).
Kegiatan berlangsung dua hari hingga hari ini (29/10/2020) diikuti oleh 5 (lima) SMP dan 5 (lima) SMA di 5 (lima) kecamatan di Sidoarjo yang menjadi sekolah mitra penerima manfaat.
Sekolah tersebut mengirimkan para guru dan/atau pembina ekskul dalam bidang Pramuka, Seni Budaya, Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Science, Pustakawan, Seni Lukis, dan Karawitan.
Narasumber lain dihadirkan dari LPPM Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, yaitu Dr. A. Rubaidi, M.Ag; Amin Hasan, M.Pd dan Hernik Faisia, M.PdI. Selain itu juga ada pengantar mengenai pemahaman mengenai kegiatan ekstrakurikuler dari Henri Nurcahyo, ketua Komunitas BangWetan.
Acara ini merupakan rangkaian program ‘Cinta Budaya Cinta Tanah Air’ yang berlangsung satu tahun sejak Juli 2020 hingga Juni 2021.
Sebelumnya, BrangWetan sudah melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk stakeholder pendidikan, disusul Workshop Toleransi untuk para Kepala Sekolah dan Wakilnya, kemudian bulan Oktober yang lalu berupa kegiatan pelatihan untuk guru mata pelajaran.
Mengapa sampai ada intoleransi? Bagaimana caranya untuk mengurangi rasa tidak saling percaya satu sama lain, rasa unggul, atau rasa mudah tersinggung? Bagaimana cara meningkatkan rasa toleransi?
Wardiman (86) yang merupakan Mendikbud RI periode 1993-1998 berpendapat, yaitu dengan cara mengurangi rasa unggul diri kita sendiri, kelompok kita atau daerah kita, dan tidak menganggap rendah kelompok yang lain.
Di zaman modern ini banyak faktor yang mendorong intoleransi. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya intoleransi, yaitu Pertama, ketidaksamaan antardaerah atau antarkota.
Ada daerah yang maju, daerah yang aman, daerah yang masih ketinggalan atau masih kumuh. Hal itu lantas dijadikan pemicu atau alasan untuk bentrokan. Ada orang-orang yang menjadikan perbedaan menjadi sarana untuk merendahkan atau menyerang orang atau kelompok lain.
Kedua, pengaruh internet. Kita menjadi sangat mudah mengeluarkan pendapat, entah betul atau tidak, tetapi mudah pula membuat orang lain tersinggung,’ jelasnya
Kemudahan, imbuh Wardiman, internet juga menyebabnya mudahnya kabar bohong (hoax) menyebar sehingga menjadikan berita panas. Kebebasan berpendapat justru menjadikan hal yang tak kondusif.
Ketiga, pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga menjadi pemicu timbulnya intoleransi. Karena dalam kontestasi Pilkada ini orang cenderung mencari-cari perbedaan dan kemudian dilegalkan.
Orang dengan mudahnya menghantam kelompok lawan untuk mendapatkan kemenangan. Hal inilah yang membuat situasi sekeliling kita tidak kondusif untuk dapat bertoleransi.
‘Kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) merupakan serangkaian kegiatan di luar jam pelajaran sekolah di tingkat menengah pertama dan tingkat atas, yang biasanya dibagi menurut minat dan bakat siswa,’ paparnya.
Pembina kegiatan ekskul kebanyakan dikelola oleh tenaga dari luar sekolah, namun ada juga yang langsung ditangani oleh guru yang bersangkutan.
[image src=’/assets/foto-3.jpg’ id=’257′ width=’600′ height=’341′ class=’leftAlone ss-htmleditorfield-file image’ title=’foto 3′]
Manajer Program ‘Cinta Budaya Cinta Tanah Air’, Moh. Masrullah, mengharapkan bahwa kegiatan ini dapat meningkatkan kemampuan guru atau pembimbing dalam menanamkan penguatan toleransi kepada siswa.
Selain itu juga mampu berperan untuk menciptakan karakater dan perilaku siswa yang mengedepankan nilai toeransi di sekolah dan lingkungannya.
Kegiatan ini dinilai sangat penting karena akan berdampak langsung terhadap kemampuan guru atau pendamping ekstrakurikuler dan siswa dalam memahami toleransi di sekolah dan lingkungannya.
Di samping itu juga diharapkan akan memudahkan guru dalam menyusun kegiatan ekstrakurikuer yang berbasis toleransi karena akan menghasilkan materi pembelajaran dan dipraktikkan langsung kepada masing-masing sekolah.
Dengan demikian guru/pembimbing ekskul mampu menyusun model kegiatan ekskul dengan nilai-nilai penguatan toleransi.
Sementara itu Amin Hasan menambahkan jika sebagaimana yang disampaikan, selama ini kegiatan ekstrakurikuler masih dipandang sebelah mata. Padahal dalam praktiknya banyak orang yang sukses justru bukan karena jalur akademis.
‘Ekskul adalah ruang strategis Indonesia ke depan, karena ekskul tidak hanya mengajarkan ketrampilan belaka melainkan ada nilai-nilai di baliknya,’ kata Amin dalam acara yang menghadirkan mantan Mendikbud RI, Wardiman Djojonegoro. (*)