DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR
Oleh Henri Nurcahyo
BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan terminal antarkota terbesar di Indonesia. Meski nama resminya adalah Terminal Purabaya (akronim dari Gapura Surabaya) namun orang lebih mengenal dengan sebutan Terminal Bungurasih. Tidak banyak orang yang tahu bahwa di desa itu terdapat makam Mbah Bungur, yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai orang pertam yang menghuni desa Bungur. Karena itu nama desanya disebut Bungur karena sifat Mbah Bungur yang penuh kasih. Benarkah demikian? Ternyata jawabannya adalah: Tidak.
Bungurasih adalah salah satu dari 17 desa di kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Posisinya berbatasan langsung dengan kota Surabaya. Di desa inilah terdapat Terminal Purabaya atau lebih dikenal dengan nama Terminal Bungurasih, terminal tipe A seluas 12 hektar yang langsung dikelola pemerintah pusat. Tapi siapa sangka bahwa Bungurasih adalah desa kuno yang sudah berusia lebih dari seribu tahun?
Jejak-jejak kekunoan itu antara lain ditandai dengan banyaknya pohon sawo. Ketika masih belum seramai sekarang di Bungurasih memang banyak pohon sawo, Knitu, Gayam, Nyamplung, Ketapang, Rukem, Mundu, Juwet, Kecacil (Kepundung), yang jarang terdapat di desa-desa lain. Menurut Kyai Mun’im dalam buku “Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara” keberadaan pohon sawo punya kisah menarik. Bahwasanya Pangeran Diponegoro ketika ditangkap pasukan Belanda dengan cara yang licik tahun 1830 M, pernah berpesan kepada para pengikutnya agar segera menanam pohon sawo sebagai sandi bagi laskarnya agar terus melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda.
Sawo atau dalam bahasa Arab berbunyi Sawwu memiliki arti Rapatkan Barisan! Selengkapnya: sawwu shufufakum (luruskan/ rapatkan barisan). Hal ini sesuai dengan pepatah, Sawwuu shufuufakum fainna tashwiyata shufuufi min tamaami harakah (rapatkan barisan karena merapatkan barisan prasyarat bagi suksesnya perjuangan). Hal ini mengingatkan bacaan yang disampaikan seorang imam sebelum memimpin sholat berjamaah, di mana kata terakhir bukan harakah melainkan “sholat”.
Apakah hal ini dapat dimaknai bahwa pada tahun 1830 sudah ada desa Bungurasih? Masyarakat setempat meyakini bahwa desa Bungurasih sudah ada jauh sebelumnya. Mereka percaya bahwa yang disebut Mbah Bungur atau Ibrahim Jaelani, adalah orang yang paling awal tinggal di Bungurasih. Diperkirakan Mbah Ibrahim wafat 20 tahun setelah Sunan Ampel wafat. Jadi kira-kira abad ke-15. Namun sebelum Mbah Ibrahim ada tokoh yang lebih tua, yang melakukan mbabat alas yaitu dengan nama Mbah Bongoh Kasiana. Hanya saja, jatidiri keduanya tidak diketahui, kecuali cerita rakyat dalam berbagai versi.
Ternyata, menurut data sejarah Bungurasih sudah berusia 1000 (seribu) tahun lebih.
Cerita Rakyat
Mengapa dinamakan Bungurasih? Secara etimologis kata Bungurasih diduga berasal dari pohon Bungur (Langerstromia sp). Bungur adalah sejenis tumbuhan berwujud pohon atau perdu yang dikenal sebagai pohon peneduh jalan atau pekarangan. Bunganya berwarna merah jambu, bila mekar bersama-sama tampak indah.
Lantas, tambahan kata “asih” dalam Bungurasih? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “asih” bermakna kasih atau sayang. Asih berarti mengasihi. Sebagaimana orangtua memberikan rasa aman dan nyaman bagi anaknya, perhatian dan tanggungjawab, menghargai, memberikan pujian dan juga hukuman yang pantas (reward and punishment). Asih adalah sifat yang halus, sabar, tenang, ramah, dan sifat-sifat yang baik-baik. Calon pasangan hidup atau pacar disebut juga kekasih, yaitu orang yang dikasihi dan disayangi. Karena itulah desa Bungurasih, dipercaya merupakan gabungan dari tokoh yang dipercaya masyarakat setempat yang mbabat alas, bernama Mbah Bungur yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas sehingga dinamakan Desa Bungurasih.
Banyak cerita rakyat terkait dengan Mbah Bongoh Kasiana, dan juga Mbah Bungur alias Mbah Jenggot, Mbah Ibrahim al Jaelani, Mbah Joyo Amijoyo, atau juga disebut Mbah Kramat. Masyarakat percaya bahwa lahan yang sekarang ditempati bangunan SD Darul Ulum itu dulunya adalah sebuah makam dengan pepohonan yang rimbun. Dulu pernah ada bangunan megah, konon di situlah rumah Mbah Bongoh Kasiana yang sekarang makamnya berada di tengah kompleks pemakaman desa Bungurasih.
Mbah Bongoh dan masyarakat desa yang hidup pada masa itu belum beragama Islam. Suatu ketika datanglah seorang ulama yang mengislamkan penduduk desa Bungur. Namanya kemudian dikenal dengan Mbah Bungur. Ada yang menyebut, bahwa ulama ini juga mengislamkan Mbah Bongoh. Namun pendapat lain menentangnya karena Mbah Bongoh dan Mbah Bungur ini adalah dua orang yang berbeda zaman.
Makam Kek Gede Bongoh Kasiana
Makam Mbah Bungur atau Ki Ageng Bungur berada di bawah pohon beringin besar berusia ratusan tahun, di luar kompleks pemakaman umum. Dulu pernah ditemukan sejumlah batu bata berukuran besar yang berserakan di sekitar tempat ini. Sebuah makam besar yang berada di tengah dan dikerubungi kelambu itulah yang dipercaya sebagai makam Mbah Bungur alias Mbah Ibrahim. Dulu nisannya terbuat dari batu dan tumpukan bata kuno, namun kondisi sekarang makam itu sudah sedemikian bagus. Saat dibangun nisan dan bata kunonya dikubur juga di dalamnya sehingga menghilangkan keaslian makam tersebut. Sayang sekali.
Salah satu cerita rakyat (entah dari mana sumbernya, hn) menyebutkan bahwa Mbah Bungur berasal dari Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil, Kurdistan Selatan, sebelah timur laut Kota Baghdad, di selatan Laut Kaspia, Iran. Makanya mendapat sebutan Al Jailani. Beliau merupakan seorang Waliyulloh, di mana Datuk atau leluhur Syeikh Sayyid Ibrahim Al Jaelani adalah ulama yang berasal dari Baghdad yang datang ke Indonesia untuk berdakwah dan akhirnya menikah dengan keluarga Kesultanan Bima (Sumbawa – Nusa Tenggara Barat). Karena di Bima terjadi perang saudara pada abad ke 17 dia menghindar dan tidak mau ikut dengan urusan politik sehingga meninggalkan Bima dan lebih condong dagang dan dakwah saja.
Versi lainnya menyebut Mbah Ibrahim berasal dari Gresik, keturunan seorang pembesar Giri Kedaton bernama Sayyid Abdul Malik, keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW. Makamnya terletak di Glintung, Desa Kepatihan, Menganti, Gresik. Dikisahkan oleh Rofiq, juru kunci makam kepada media sapanusa.id, dia ditugaskan Sunan Giri untuk mendirikan pengadilan dan kejaksaan di wilayah Payung Agung dan melakukan Islamisasi. Sayyid Abdul Malik Isroil diperkirakan hidup di pertengahan abad ke-14 hingga awal abad 15. Putra-putrinya menjadi pemimpin wilayah yang tersebar di wilayah Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Termasuk, Sayyid Ibrahim yang bergelar Pangeran Bungur Asana. “Sekarang jadi Desa Bungurasih, Waru, Sidoarjo,” tuturnya.
Untuk mengungkap siapa sebenarnya jatidiri Mbah Bungur, sekitar tahun 1995 pernah dibentuk tim oleh pemerintah desa Bungurasih untuk menelusuri riwayat Mbah Bungur alias Mbah Ibrahim dengan mendatangi Mbah Hasyim (KH Yusuf Hasyim), paman Gus Dur. Menurut Mbah Hasyim, bahwa Ibrahim Al Jaelani adalah tokoh besar yang bertugas mengamankan Jawa Timur, mungkin semacam Kapolda atau Pangdam. Beliau meninggal 20 Tahun setelah meninggalnya Sunan Ampel Surabaya. Jika Sunan Ampel meninggal tahun 1479 M berarti Ibahim Al Jaelani wafat tahun 1499 M.
Cerita lainnya lagi, Mbah Joyo Amijoyo mempunyai anak perempuan yang sangat cantik. Karena kecantikannya banyak pria yang naksir ingin melamarnya. Begitu juga dengan seorang laki-laki yang bernama Celuring, anak yang cakap dan tampan serta mempunyai ilmu yang luar biasa, namun memunyai kebiasaan suka mencuri. Mbah Joyo Amijoyo membuka sayembara, barang siapa yang menginginkan anaknya untuk dijadikan istri harus bisa membuatkan sumur sebanyak 1.000 sumur (sewu) atau sumur windu dan harus selesai sebelum matahari terbit.
Singkat cerita, Celuring dibantu oleh punggawa-punggawanya yang tidak kelihatan oleh mata biasa hampir berhasil melaksanakan tugasnya. Mbah Joyo Amijoyo mengumpulkan ibu-ibu untuk menumbuk padi di lesung-lesung dan menyuruh punggawa-punggawanya mengumpulkan damen (batang pohon padi yang telah diambil padinya) untuk dibakar sehingga kelihatan merah menyerupai sinar matahari terbit. Celuring dinilai gagal menyelesaikan tugasnya membuat seribu sumur. Padahal, saat itu Celuring sudah mampu menyelesaikan sebanyak 999 sumur.
Jejak-jejak sumur sewu (seribu) tersebut masih dapat dijumpai di desa Bungurasih, Ketegan dan Wage. Kekunoan sumur tersebut ditandai dengan batu bata khusus berbentuk bulat, tidak terlalu dalam, airnya sangat jernih dan tidak bisa habis walaupun musim kemarau panjang dan dipakai banyak orang menyedotnya dengan pipa menggunakan 6 buah mesin pompa.
Cerita berikutnya, konon di desa Bungurasih waktu itu ada warga yang memiliki seekor ayam jago yang tidak terkalahkan. Hal ini terdengar sampai ke wilayah Majapahit sehingga ada salah satu punggawa Majapahit yang penasaran sehingga datang bersama dengan para hulubalangnya dan menantang adu jago. Kesepakatannya, siapa yang jagonya kalah maka pemiliknya juga harus ikut mati. Ternyata ayam jago milik punggawa Majapahit itu kalah. Sebagaimana perjanjian maka punggawa tersebut harus juga ikut mati. Punggawa Majapahit itulah yang kemudian dikenal dengan nama Mbah Jenggot alias Mbah Bungur.
Bungurasih Desa Perdikan
Keberadaan desa Bungurasih ternyata ada kaitannya dengan sejarah kerajaan Mataram sebagaimana disebut dalam prasasti Prasasti Kañcana (Prasasti Gedangan). Prasasti tembaga 14 lempeng ini (Tamra Prasasti) merupakan tinulad (tiruan) dari masa Majapahit yang diketahui berdasarkan bentuk tulisannya. Prasasti Kañcana (Gedangan) yang dikeluarkan pada tahun 782 Śaka (=860 Masehi) oleh raja Mataram Sri Lokapala.
Bagian awal Prasasti Kañcana (Bungur A) menyebutkan bahwa pada 13 paro terang bulan 782 Śaka (= 31 Oktober 860 M), Śrī Mahārāja Śrī Bhuwaneśwara Wisnusakalatmakadigwijaya Parakra-mottunggadewa Lokapālalañcana (Rakai Kayuwangi) memberikan anugerah penetapan (sima) Bungur Lor dan desa Asana kepada pendeta Buddha di Bodhinimba (Paduka Mpunku i Bodhhinimba) dengan kewajiban memelihara bangunan suci Kañcana atau Dharmasima Lpas (bangunan suci yang bukan tempat pendarmaan seorang raja).
Pada tahun itu kerajaan Medang atau Mataram berada di bawah kekuasaan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala (856-882 M). Raja Rakai Kayuwangi memberikan anugerah penetapan (sima) Bungur Lor dan desa Asana kepada pendeta Buddha di Bodhinimba (Paduka Mpunku i Bodhhinimba). Itu sebabnya prasasti ini juga disebut Prasasti Bungur.
Boechori dalam buku “Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti” Rakai Kayuwangi memerintah tahun 778 S (856 M) berdasarkan batu bertulis yang berasal dari suatu daerah di Jawa Tengah (mungkin Yogyakarta). Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala) adalah Raja Medang ketujuh yang memerintah sekitar tahun 855 – 885 M. Putra bungsu Rakai Pikatan dan Pramodawardhani.
Dari dua nama yang disebutkan dalam prasasti itulah, yaitu Bungur Lor dan Asana, kemudian menjadi Bungur Asana yang kemungkinan merupakan asal usul nama Bungurasih yang dikenal sekarang ini. Berarti Desa Bungurasih sudah berusia (2024 – 860) = 1.164 tahun. Jauh lebih tua dibanding kerajaan Kahuripan yang didirikan oleh Airlangga tahun 1019 M atau Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tahun 929 M. Bahkan juga kerajaan Majapahit yang baru berdiri tahun 1293 M.
Lantas di manakah desa Asana? Ada petunjuk di Prasasti Kancana lempeng II.a, antara lain disebutkan: “….. Dan ada juga tanah di kuryyak, di sisi utara Asana (juga) digunakan untuk menyokong pāduka mpungku (senilai) (sebesar) mā, 2 kā, 10 mā.”
Jika Kruyyak adalah nama kuno desa Kureksari maka posisi desa Asana ada di sebelah selatannya. Mungkin sudah ganti nama, sudah hilang, yang jelas bukan lagi menjadi nama desa. Jarak desa Asana (apapun namanya sekarang) dengan desa Bungur Lor dibatasi oleh desa Kurek itu sendiri dan desa Kedungrejo. Lumayan jauh dan melompati dua desa. Tapi bisa jadi dulu tidak jauh dan kemungkinan berimpitan.
Dalam lempeng II.b. pada bagian akhir disebutkan …… memohon pada paduka sri maharaja untuk berkenan memberikan dharmmasimmalpas (darma sima lepas) ………..
Kalimat yang terputus ini kemudian dilanjutkan di lempeng III.a. yang diawali dengan kata ingkang i Bungur lor (;) ………………………
Selanjutnya dalam lempeng III b Prasasti Kancana (Bungur Lor) disebutkan :
“…..i sira paduka Mpu-ngku i Boddhi mimba an panusuk dharmmasima lpas irikang i
Bungur Lor mwang ikang ing Asana….”
Lempeng VIII b Prasasti Kancana (Bungur Lor) :
“…..i sira paduka Mpu-ngku i Boddhi mimba an panusuk dharmmasima lpas irikang i
Bungur Lor mangaran ring Asana, ngaran Sang Hyang Dharmmasima ing Kancana….”
Prasasti tersebut bukan hanya menandakan bahwa desa Bungur sudah ada tahun 860 M melainkan juga desa-desa di sekitarnya. Sebagaimana disebutkan dalam lempeng IX a & b Prasasti Kancana (Bungur Lor) dituliskan nama-nama tokoh (buyut) dari desa-desa (wanua) sekitar Bungur Lor yang diundang dalam acara penganugerahan Desa Sima, yaitu:
Kuryyak (kemudian menjadi desa Kureksari), Wagai (desa Wage), Gesang (desa Pagesangan, Surabaya), Pacekan (Pacekan dekat Jagir Surabaya yang kemudian berubah menjadi kampung Lumumba), Wurungkud (Rungkut, Surabaya), Kulupwan (entah di mana Kulupwan) Ganting (desa Ganting, Gedangan), Pamasangan (desa Masangan), Wdi (desa Wedi), Camunda (desa Jemundo).
Yang juga menarik, penyebutan nama Asana dalam prasasti ini mengingatkan nama lain Sayyid Ibrahim yang bergelar Pangeran Bungur Asana sebagaimana dikisahkan dalam cerita rakyat. Jika Sayyid Ibrahim hidup pada masa Sunan Ampel maka bisa disimpulkan bahwa desa Asana memang sudah ada lebih dulu. Julukan Pangeran Bungur Asana disematkan kepada Sayyid Ibrahim karena tinggal di desa Asana. Demikian pula ada seorang pandhita bernama Kek Ageng Asana, julukan Mbah Bongoh, yang entah nama aslinya siapa.
Karena prasasti sudah rusak maka 507 tahun kemudian dibuat tiruannya (tinulad) pada zaman Majapahit tahun 1289 Saka (1367 M) bersamaan dengan pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389 M). Prasasti tersebut disalin kembali untuk menguatkan hak daerah Bungur sebagai sīma yang telah diberikan raja Rakai Kayuwangi. Mulai lempeng 12 (prasasti Bungur B, Gedangan B) dapat diketahui bahwa Pāduka Bhatāra Śrī Rājasanagara Dyah Hayam Wuruk mengakui kembali hak tersebut pada tanggal 13 paro gelap bulan Asuji tahun 1289 (= 22 Oktober 1367). Hal ini mengindikasikan bahwa daerah itu memang penting pada masanya.
Jejak-Jejak Pemukiman Kuno
Kawasan makam Mbah Bungur dan Mbah Bongoh ini dulu merupakan daerah wingit, angker. Jarang sekali orang yang berani merambah ke situ. Hipotesisnya adalah, tempat-tempat yang wingit atau angker diduga ada peninggalan masa lalu yang terpendam. Ada jejak tua yang keramat. Apalagi ada barongan (rumpun bambu) dan pohon beringin yang merupakan indikasi adanya sumber atau kandungan air di lahan tersebut. Keberadaan pohon beringin mengindasikan daerah itu mengandung air yang melimpah. Sifat ekologis pohon beringin memang mampu menyimpan air dalam musim penghujan dan mengeluarkannya secara pelan pada musim kemarau.
Suatu daerah adalah kaya air antara lain juga ditandai dengan tumbuhnya barongan (rumpun bambu). Bambu adalah tumbuhan yang memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air dengan baik. Karena itu, keberadaan rumpun bambu merupakan indikasi bahwa daerah itu dulunya kaya air. Bahkan mungkin pernah ada sungai atau semacam danau kecil yang sudah hilang.
Nah apakah di bawah rimbunan barongan di sekitar makam Mbah Bungur juga terdapat jejak-jejak masa lalu yang terpendam? Logikanya, pada masa Hindu – Buddha dulu masyarakat tentu membutuhkan bangunan suci untuk kepentingan religiusnya. Jangan-jangan bangunan itu sudah terpendam di bawah barongan. Siapa tahu.
Rumpun Bambu di dekat makam umum Mbah Bungur
Sebagaimana ditulis oleh Abdul Rosyid Al Amin dalam makalahnya, bahwa Kali Buntung (Sungai Bungur) ini dulunya merupakan sungai besar yang menjadi pintu masuk bagi para warga asing yang bertemu dengan penduduk lokal. Namun sima Bungur dengan kalinya yaitu Sungai Buntung mengalami perubahan morfologis yang siginifikan antara abad 8-20 Masehi yang disebabkan oleh penambahan daratan terhadap muka laut. Diperkirakan terhitung sejak abat 12 hingga sekarang ini terjadi penambahan daratan sebesar 33 kilometer. Mulai dari Trung (Krian) sampai dengan Jabon (Porong) daerah pantai timur Sidoarjo. Naiknya permukaan tanah ini menjadi salah satu faktor hilangnya sisa-sisa kebudayaan dan peradaban Sima Bungur yang tinggal dekat sungai.
Indikasi bahwa desa Bungur memang kaya air adalah ditemukannya sejumlah sumur yang besar debitnya sehingga mampu disedot banyak pipa. Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, bahwa di desa ini ada legenda Sumur Sewu, yang ternyata sekarang masih ada beberapa sumur yang tersisa dan tetap berfungsi. Sekitar tahun 70-an, masih ada beberapa sungai-sungai kecil yang sekarang tidak ada bekasnya lagi. Bahkan ada sungai selebar sekitar 3 meter di utara kampung Bungur dan Kasihan sekarang sudah hilang sejak adanya pembangunan terminal Purabaya.
Jejak-jejak kekunoan ini masih dapat ditemui di kawasan makam umum desa Bungurasih, banyak ditemukan pecahan grabah dan batu bata kuno. Jadi kawasan ini dulunya merupakan pemukiman. Gerabah bukan hanya memiliki fungsi kebutuhan keseharian tetapi juga fungsi religius. Demikian pula di lahan sekitar makam Mbah Bungur, nampak di permukaan sisa-sisa batu bata berukuran besar yang sebagian sudah tertimbun tanah.
Dengan demikian situs ini merupakan situs lintas masa, mulai zaman Hindu Buddha hingga masa perkembangan Islam. Jadi ketika Mbah Bongoh datang ke tempat ini bukan berarti daerah ini merupakan hutan belantara yang gung liwang liwung (tidak ada penghuninya), melainkan sudah ada pemukiman. Mbah Bongoh yang dipercaya sebagai sing mbabat alas desa itu adalah inovator atau seorang tokoh pada masanya sehingga namanya menggunakan nama daerah di mana dia tinggal. Kata Bongoh bisa jadi sama saja dengan Bungur.
Catatan Penutup
Bungurasih adalah desa kuno. Kekunoan itu antara lain ditandai banyaknya pohon sawo di berbagai penjuru desa. Meski sekarang pohon sawo sudah nyaris punah namun sejarah mencatat bahwa pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro (1830) pohon sawo dimanfaatkan sebagai sandi untuk laskarnya agar meneruskan perjuangan. Tetapi menurut cerita rakyat bahwa desa Bungurasih sudah ada jauh sebelumnya, pada abad ke-15, ketika Mbah Bungur melakukan Islamisasi ke daerah ini. Menurut perkiraan, Mbah Bungur meninggal dunia tahun 1497 M yang berarti sudah 527 tahun yang lalu. Sebelum ada Mbah Bungur ada Mbah Bongoh alias Ki Gede Kasiani yang makamnya di tengah-tengah makam umum desa Bungurasih.
Menyingkap asal usul Mbah Bungur dan Mbah Bongoh ada beberapa versi. Namun setidaknya sudah ada upaya untuk menggali sejarah sehingga dapat ditemukan identitas dan catatan yang jelas perihal masa lalu berdasarkan bukti-bukti dan hasil penelusuran. Manakala di waktu-waktu yang akan datang ditemukan data dan bukti baru, dapat melengkapi atau meluruskan yang kurang tepat.
Menurut data sejarah bahwa ternyata nama desa Bungur Lor sudah disebut dalam Prasasti Kancana atau Prasasti Gedangan pada tahun 860 Masehi. Kalau dihitung dari tahun 2024 ini berarti desa Bungurasih sudah berusia 1.164 (baca: seribu seratus enam puluh empat) tahun. Jauh lebih tua dibanding kota Surabaya dan Majapahit (1293 M), lebih tua dari kerajaan Airlangga (tahun 1019 M), bahkan lebih dulu ada sebelum Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah (sebutan sekarang) ke Jawa Timur tahun 929 M.
Prasasti tertanggal 31 Oktober 860 Masehi itu menyebutkan bahwa Raja Rakai Kayuwangi dari Mataram memberikan penghargaan kepada Desa Bungur Lor dan Desa Asana sebagai Desa Sima (perdikan) dengan tugas menjaga bangunan suci kancana. Hal ini berarti, ketika penganugrahan itu diberikan, desa Bungur Lor memang sudah ada. Dengan demikian tanggal 31 Oktober 860 bisa ditetapkan sebagai Hari Jadi Desa Bungurasih.
Karena itu, penulisan artikel ini belum selesai. Masih merupakan langkah awal dari perjalanan panjang menelusuri jejak sejarah desa Bungurasih yang sekarang malah terkenal sebagai lokasi terminal bus Purabaya. Ada jejak sejarah masa lampau yang masih terpendam dan harus diungkapkan agar dipahami masyarakat sekarang, khususnya anak-anak muda sebagai penerus masa depan.
Pustaka
Abdullah,Taufik. A.B. Lapian (editor umum): Indonesia dalam Arus Sejarah. Seri 2: Kerajaan Hindu Buddha. Ichtiar Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012
Al Amin, Abdul Rosyid, Historiografi dan Identitas Aliran Sungai Buntung di Kecamatan Krian , Sidoarjo, Jawa Timur. Makalah tidak diterbitkan.
Boechari. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
- Mun’im DZ, Abdul :Fragmen Sejarah NU (Menyambung Akar Budaya Nusantara) Penerbit : Pustaka Compas Tahun : 2017
Poesponegoro, Marwati Djoened. Nogroho Notosusanto (editor): Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II, Zaman Kuno. Balai Pustaka, 2008
Suhadi, Machi: Status Tanah/Desa Perdikan di Jawa, Suatu Catatan dari Sumber Prasasti Kuno. Diambil dari Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.