Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis
Kadek dan Christophe tanpa lelah menjadi duta kebudayaan Indonesia di Prancis. Pasangan suami istri alumni ISI Surakarta itu mengajarkan tari Jawa, Bali, gamelan dan tembang, wayang dan juga budaya Panji. Tahun 2012 mereka mendirikan Asosiasi Panctha Indra, bertujuan mengembangkan seni dan budaya Indonesia di Prancis, beranggotakan anggota sekitar 70 orang yang 80 persennya adalah warga Prancis.
Kadek Puspasari, nama lengkapnya, perempuan kelahiran Bali yang besar di Solo, kini tinggal bersama suaminya di Paris. Kadek adalah seorang penari dan koreografer, alumnus Pascasarjana ISI. Sedangkan Christophe Moure, adalah lelaki berdarah Perancis-Jawa, yang menguasai wayang dan gamelan Jawa, dan permainan gitar untuk musik jazz di Perancis.
Hari Jum’at malam yang lalu (15/12/23) mereka mengudar pengalamannya secara daring dalam acara Webinar Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jawa Timur. Acara ini didukung dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube oleh TVPanji, Harian Surya, dan Tribun News Network.
Sejak bermukim di Paris, Kadek menjadi guru seni di SD, SMP, dan SMA di Prancis untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia di Eropa. Sedangkan suaminya, Christophe Moure, adalah seorang dalang wayang langgam Jawa. Sebelum belajar wayang dan gamelan Jawa, Christophe menguasai permainan gitar untuk musik jazz di Perancis.
Kadek yang penari dan koreografer itu, lulus S-1 dan S-2 di ISI Solo, tertarik dengan Panji karena dibesarkan dalam Budaya Panji di Solo, membaca komik Panji, dan belajar tari yang berhubungan dengan Cerita Panji serta turunannya. Misalnya Tari Topeng dan sebagainya.
Tetapi ketika masih tinggal di Indonesia, tuturnya, masih banyak praktek dan belum mencari apa sebenarnya Panji. Walaupun sekarang masih terus mencari. Kemudian tahun 2020 pindah ke Prancis dengan Christophe, yang memiliki visi dan misi yang sama. Mereka sudah memutuskan untuk mengembangkan seni dan budaya di Prancis sebelum memutuskan pindah ke sana. Tetapi perhatian terhadap Panji menjadi mengerucut ketika bertemu dengan seorang penari Thailand yang sedang melakukan riset tentang Pangeran Inou di Thailand.
“Ketika dia bertanya saya malah baru sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang Panji, hanya praktek saja” ujar Kadek.
Sebelumnya Kadek hanya menjalani menari Bali di pura di Bali, menari Bali di luar Bali, di Surakarta belajar tari Jawa, menari di keraton dan di acara tujuhbelasan, sampai dengan belajar tari di ISI Surakarta, ada satu evolusi ketubuhan yang kemudian berubah ketika tinggal di Prancis. Ketika berada di luar Indonesia inilah dia menjadi sadar untuk melihat Indonesia lagi yang dulu tidak disadari karena masuk dalam siklus yang diulang-ulang terus. Hanya mengerjakan begitu saja tanpa melihat lagi apa yang dilakukan.
“Jadi ketika penari Thailand tadi bertanya tentang Pangeran Panji maka saya menjadi tergugah untuk mencari dan membaca referensi, walaupun saat itu tidak gampang menemukan referensi Panji di Prancis. Saya dibesarkan dalam budaya Ramayana dan Mahabarata,” kisahnya.
Di Prancis, khususnya Paris, Kadek banyak bertemu dengan seniman dari berbagai negara dan budaya. Termasuk dari India yang punya latar belakang Ramayana dan Mahabarata yang banyak dibicarakan dan lebih dikenal. Namun Indonesia masih minim dikenal orang Prancis. Mereka lebih mengenal Bali atau Jawa oleh para cendekiawan. Panji sama sekali tidak dikenal di Prancis walaupun naskah-naskahnya sudah ditetapkan menjadi Memory of the World (MoW) oleh Unesco tahun 2017. Karena itulah bersama suaminya mereka lantas tergerak untuk mengembangkan budaya Panji yang asli Jawa.
“Dalam referensi saya temukan bahwa Panji sejatinya adalah sebuah perjalanan kehidupan mencari jatidiri, itu seperti perjalanan saya sendiri,” tutur Kadek.
Ketika di Prancis dia mengajarkan seni budaya Indonesia maka sekaligus memperkenalkan, ini lho ada nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang bisa menjadi ilmu bagi semua orang dan bisa dibagikan. Ketika bicara Sekartaji maka juga berbicara tentang perempuan yang kuat, seorang putri yang tidak hanya berdiam diri di rumah, memasak, dan sebagainya. Menurutnya, proses mencari tahu tentang Panji itu sendiri adalah pencarian identitasnya sendiri di sini. Karena sebagai seorang seniman mempunyai identitas itu penting untuk berkiprah seni budaya karena banyak kolaborator dan kompani seni yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Crédit photo : Diane Vongoc
Cultural Schock
Apa yang dilakukan di Paris mengajar tari ternyata berbeda responnya. Mereka bertanya, “untuk apa saya perlu belajar kesenian anda?”
Ini adalah cultural shock saya yang pertama, ketika saya baru pindah ke Prancis, belum lancar bahasa Prancis tapi mendadak harus mengajar di sekolah Prancis. Anak-anak Prancis itu sangat kritis. Kita tidak boleh memberi hukuman dan memaksa mereka ikut pelajaran kita kalau mereka tidak tertarik. Mereka punya hak untuk tidak berpartisipasi dalam pelajaran kita. Jadi tugas kita adalah bagaimana membuat mereka tertarik apa yang kita ajarkan dan memberikan wawasan mengapa mereka perlu belajar itu.
Jadi ketika ditanya itu Kadek juga bengong harus jawab bagaimana. Dia mencari jawabannya sampai dua tahun. Peristiwa itu masih diingatkan karena dia mengajar di SMP selama 10 tahun. Setiap tahun selalu berganti. Guru-guru kesenian seringkali ditugaskan ke daerah-daerah yang panas. Daerah imigran. Untuk membantu budi pekerti mereka dengan kesenian.
Ada yang mogok tidak mau belajar dan berkata: “Mengapa saya harus ikut pelajaran kamu?” Kadek menjawab, bahwa saya tidak akan memaksa mereka menjadi penari Bali. Atau menjadi penari dengan tanjak yang sempurna. Tetapi bagaimana saya berinteraksi dengan latarbelakang mereka, kemampuan atau potensi mereka, lalu saya menyampaikan kunci-kunci dasar dari kesenian Indonesia. Kemudian mereka bisa mengembangkan sendiri sesuai dengan kemampuan, potensi, dan latarbelakang mereka yang nantinya akan dipakai. Misalnya bagaimana mereka bekerja kolektif. Ini saya terinspirasi dengan konsep kerja gamelan. Semuanya lisan, semuanya kolektif, ada gotong royong. Seperti tari Saman dari Aceh yang dimainkan orang banyak namun menjadi satu kesatuan. Itulah yang saya lakukan karena saya melihat anak-anak Prancis sangat individual.
Jadi misalnya ketika saya mengajarkan esensi mudra dari Jawa, bagaimana gerakan mendek itu berarti mendekati gravitasi, ternyata saya malah justru menemukan banyak surprise. Ketika saya mengajar murid-murid dengan back ground Afrika, beradaptasi dengan tubuh mereka, dengan kesenian mereka, malah menjadi sesuatu yang sangat menarik. Jadi buat saya pengajaran itu harus dua arah. Saya banyak belajar dari situ. Saya bisa berbahasa Prancis karena mengajar anak-anak Prancis.
“Jadi mengapa mereka penting untuk belajar budaya saya itu adalah salah satu jembatan untuk mengenal diri mereka sendiri,” tuturnya.
Sebagai seorang penari maka yang dilakukannya adalah bagaimana memperkenalkan Panji melalui pertunjukan tari, baik tari tradisi maupun kontemporer. Sejak tahun 2014 dia memang banyak berkecimpung dalam tari kontemporer walaupun background-nya adalah tari Bali dan Jawa. Tradisi itu adalah perkembangan. Yang menarik dari Panji adalah besarnya peluang interpretasi yang sama dengan esensi tari tradisi Indonesia yang dengan teknik yang sama namun ada keleluasaan untuk menginterpretasikan.
Dituturkan Kadek, apa yang pernah dilakukan adalah kolaborasi dengan gamelan menampilkan fragmen Sekartaji yang kontemporer, wayang wong Bali dengan cerita Panji, tari Serimpi, dan yang langka adalah ketika diberi kesempatan tampil di Museum Philharmonie Paris di mana mereka mengeluarkan koleksi gamelan tertua di Prancis yang selama ini belum pernah dikeluarkan. Mereka menyebutkan gamelan Cirebon namun kami rasakan larasnya seperti gamelan Jawa. Maka kami menampilkan tari Topeng Klana dari Indramayu.
Mengapa Ramayana dan Mahabarata lebih dikenal di Prancis karena para cendekiawan lebih banyak membicarakannya di berbagai forum. Sedangkan Panji tidak banyak dibicarakan. Saya juga sampaikan kepada seniman Indonesia yang datang ke Prancis, mengapa mereka hanya pentas? Mengapa tidak meninggalkan jejak dan menularkan ilmu bagi masyarakat sini dan menjadi PR saya untuk mengembangkannya di sini. Karena saya sebagai seorang seniman mempunyai keterbatasan untuk berbicara secara formal.
Bagi saya pribadi, kata Kadek, Panji bukan sekadar kisah roman belaka tetapi lebih jauh lagi, ada metafisik di situ. Ketika Sekartaji ibarat bulan dan Panji adalah matahari, mereka saling mencari, ketika bertemu menjadi gerhana. Gelap, hitam. Dan kemudian berpisah lagi untuk meneruskan dunia. Ada pertemuan, ada perpisahan, kemudian mencari manunggaling. Dalam gamelan kemenyatuan ini seperti vibrasi gong. Seperti Ohm omkara. Semua ini tereksplorasi di gamelan yang sangat erat kaitannya dengan eksplorasi di Panji.
Mendidik masyarakat Prancis untuk tahu Indonesia harus terus menerus dilakukan secara rutin. Tidak hanya sekali setahun. Nanti orang mudah lupa. Karena di Paris belum ada Rumah Budaya Indonesia seperti di Belgia (Brussel). Juga di Berlin (Haus der Indonesischen Kulturen) ada perpustakaannya juga. Sementara di Paris ada rumah-rumah budaya negara lain yang secara aktif dan regular memperkenalkan kesenian mereka. Tapi kami secara militan terus menerus mengenalkan budaya Indonesia di Paris dengan segala keterbatasan.
Padahal sudah 10 tahun hal itu menjadi wacana. Saya kira persoalannya bukan hanya mencari space saja. Terpaksa kami menggunakan rumah gamelan sendiri. Setiap ada kesempatan di KBRI dan pergantian duta besar, selalu saya tanyakan, “Rumah Budayanya gimana, kok gak jadi-jadi.” Mungkin ini persoalan dana, meski yang penting sebetulnya good will. Namun tanpa Rumah Budaya kita terus bergerak sendiri. Tidak perlu menunggu-nunggu seperti Menunggu Godot. (bersambung)
Rekaman selengkapnya: