PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

no-img
PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

MALANG: Sebuah kisah Panji yang terbilang langka disajikan oleh Padepokan Topeng Mangundarmo dari Tumpang, Malang, dalam Festival Budaya Panji 2024 di Gedung Kesenian Jakarta (22-24 Oktober 2024). Judul pementasannya adalah “Panji Paricaraka Tamba Lara Tomen” yang berkisah perihal “ketabiban” dan “pengobatan (carakan)”, di mana Panji digambarkan sebagai seseorang yang piawai dalam hal pengobatan dan ketabiban.

Selain itu, ada muatan pesan bahwa rempah-rempah dari Nusantara dijadikan sebagai bahan untuk meracik obat di Champa maupun India. Kisah ini bukan hanya lakon baru di dalam pementasan wayang topeng Malang, namun sekaligus memberikan gambaran pada publik mengenai spektrum yang luas dari khasanah budaya Panji Nusantara. Lakon ini pada satu sisi merupakan lakon Panji lokal Malang, dan di sisi lain menggambarkan keluasan cakrawala pandang leluhur Jawa masa lalu.

Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Lingkungan dalam (watek i jro) kadatwan (kedaton) Jenggala berduka. Bagaimana tidak, sekitar tiga bulan terakhir binihaji (istri raja) Jenggala menderita sakit. Segenap ahli pengobatan (caraka) di negeri Jenggala telah dipanggil untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun sakitnya tak kunjung surut, bahkan kian parah. Tabib-tabib tersohor pada negeri-negeri lain di Nusantara pun diundang hadir, namun tidak juga mampu nihil juga iktiarnya. Menyikapi kondisi darurat ini, raja Jenggala (Lembu Amiluhur) mengadakan musyawarah untuk mendapatkan tabib handal kendati musti didatangkan dari negeri yang amat jauh di luar Nusantara. Sidang menyepakati untuk memilih Gunungsari dan seorang Kadeyan sebagai duta Jenggala. Tak hanya mendapat tugas berat, lebih dari itu, ada sanksi bahwa taruhannya kehilangan nyawa bila kembali dengan tangan hampa.

Ada kabar bahwa di Negeri Champa terdapat tabib senior yang piawai. Segera Gunungsari dan Kadeyan berangkat ke pelabuhan Hujung Galuh untuk mendapatkan bahitra (kapal) yang ulang-alik berniaga Champa-Jawa. Setelah menunggu beberapa hari di Hujung Galuh, bahitra yang dinanti tiba dari bagian timur Nusantara untuk kulakan rempah-rempah yang dibutuhkan rakyat Champa. Dengan belayar hampir tiga pekan mengarungi Selat Makasar dan Laut Cina Selatan yang berombak ganas dan sempat diserang ilanun (bajak laut) dari Pulau Zulu, tibalah juga keduanya di  pelabuhan Thị Nại. Untuk menuju kadatwan Champa yang berada di DAS Mekong, musti bertukar dengan kapal sungai untuk menempuh perjalanan sehari semalam.

Kedatangan duta Jenggala itu disambut hangat oleh raja beserta para pembesar Negari Champa. Gunungsari menyampaikan maksud bahwa kedatangannya ke negeri Champa adalah untuk mencari obat dan jika dimungkinkan bisa membawa sang tabib ke Jenggala guna mengobati binihaji Jenggala. Namun sayang, telah beberapa bulan terakhir tabib senior (sepuh) menderita sakit. Sementara, para sisya (siswa)-nya masih belum memiliki kemahiran seperti dirinya. Oleh karena itulah Gunungsari disarankan untuk mencari tabib ke negeri lain. Kala itu di lingkungan ibukota Champa terdengar kabar adanya tabib muda yang handal di Jambudwipa (nama arkais “India”), tepatnya di Kaling (Negeri Kalinga). Nah, kebetulan binihaji Jenggala yang sedang sakit, yakni Dewi Tejaswara (Sakyaningrat)  berleluhur di Kling (Kalinga). Tanpa harus kembali dulu ke Jawa, Gunungsari dan Kadeyan menumpang kapal menuju pantai timur India pada sela bawah Teluk Benggala.

Setelah menempuh perlayaran sekitar tiga bulan, sampailah Gunungsari dan Kadeyan di pelabuhan Kalinga, yang berada di antara aliran Sungai Mahanadi dan Godavari, tepatnya di DAS Baitarani. Antara abad XI hingga XV M Kalinga diperintah oleh raja-raja dari wangsa Gangga Timur yang bergelar “Kalinggadipati”, dengan pusat pemerintahan pada mulanya di Kalingganagara, lantas sejak abad XII direlokasikan ke Kataka semasa pemerintahan raja Anantawarman Codagangga. Duta Jenggala itu diterima Anantawarman dengan sukacita, terkebih leluhur Dewi Sakyaningrat berasal dari Kalinga. Sayang berita dari Jawa yang dikabarkan menyedihkan, yakni perihal sakitnya Sang Dewi. Untuk keperluan pengobatan yang dibutuhkannya, raja Kalinga meminta punggawa keraton menghantarkan tamunya ke srama khusus ketabiban, yang berada di lingkungan dalam istana.

Memasuki gapura padhuraksa srama, dari kejauhan terlihat sejumlah orang tengah aktif meracik tanaman herbal (toga, rempah) untuk jejamuan (carakan). Sementara yang lainnya melakukan praktik pengobatan terhadap pasien. Tampak seorang tabib muda bertindak sebagai mentor bagi para pembelajar. Muncul dugaan Gunungsari, dialah tabib muda yang disebut-sebut sebagai “piawai” itu. Ketika bertemu, beberapa lama beradu pandang, seolah ada “cendela memori” yang menghubungkan keduanya. Rasanya telah saling kenal, tetapi jauh di masa lalu, ketika masih sama-sama remaja kecil. Ternyata tabib muda itu lebih awal tahu siapa tamu dari Jenggala itu, dan mengatakan “apakah engkau Gunungsari?” Hampir bersamaan waktu, Gunungsari pun berkata “Apakah engkau Panji?” Tanpa harus menyawab untuk “mengiyakan”, keduanya pun berangkulan, menangis bahagia”.

Setelah kurang lebih satu dasawarsa terpisahkan, nasib mempertemukan, justru di negeri yang amat jauh. Lalu Panji berkisah tentang pengelanaannya untuk “belajar ketabiban” di Kalinga, khususnya untuk mempelajari pustaka suci “Yayurweddha”, yang di dalamnya memuat banyak petunjuk mengenai pengobatan dan medika. Kebetulan ada keluarga Jenggala, yakni binihaji Jenggala, yang berasal dari Kalinga.

Panji Paricaraka demikian sebutannya di Kalinga turut sedih atas sakitnya binihaji Jenggala. Sebagai orang yang mempelajari  “olah rasa (psikologi)”, ia cukup tahu perihal apa yang melatari sakitnya, yang dalam bahasa medis modern disebut “psikosomatis”, yakni problema psikologis yang berpengaruh dan menyebabkan sakit fisikal (tubuh, soma) manusia. Oleh karena itu, tanpa diminta, Panji Paricaraka mengambil keputusan untuk turut pulang ke Jawa, karena menurut diagnosis sementaranya, itulah barangkali “obat kesembuhannya”. Demikian ada bahitra yang pergi dari Kalinga ke Jawa, maka Panji, Gunungsari serta Kadeyan menempuh pelayaran hingga sekitar dua bulan lamanya.

Setiba di kedaton Jenggala, Panji yang sengaja kenakan cadar (penutup muka) mendatangi binihaji Jenggala Dewi Tejaswara yang berada di pembaringan. Perlahan dia membuka cadarnya. Sang Dewi menatap tajam, yang dengan memorinya mencoba mengenali wajah tabib muda itu. Tidak berapa lama kemudian Sang Dewi bangkit dari tidurnya, merangkul sembari menangis bahagia, dan berkata: “Anakku …, Ibu amat merindukanmu”. Seisi istana pun terheran-heran, bagaimana Dewi Tejaswara serta merta sembuh dari sakitnya yang akut tanpa pengobatan.

Untuk menjawab keheranannya, Panji Paricaraka menjelaskan tentang “psikosomatis”, yang dalam kasus ini adalah “sakit rindu (loro kangen), penyakit batin yang berpengaruh ke fisik disebabkan teringat-ingat kepada seseorang yang telah lama tiada (loro tomen, berasal dari kata ulang tom-tomen). Obat mujarab bagi loro kangen (loro tomen) adalah bertemu dengan orang yang dikangeni atau orang yang berada dalam bayang-bayang ingatannya. Orang itu adalah dirinya sendiri (Panji Paricaraka), yang telah sekitar satu dasawarsa meninggalkan keluarga berkelana ke negeri jauh (Kalinga) untuk belajar mengenai ilmu pengobatan dan ketabiban. Penjelasan sang tabib muda itu menjadikan para hadirin tertawa dan berkata “mbanyol iki“. Nuwun.

RANCANGAN TEMA KARYA

  1. Keunggulan Lakon Sendratari Topeng Terpentaskan.

 

Lakon Wayang Topeng yang berjudul “Panji Paricaraka: Tombo Loro Tomen” ini adalah suatu bentuk “transformasi” dari narasi di dalam prasasti tembaga (tambraprasasti) Pabanyolan (disebut juga “prasasti Gubug Klakah” berdasar tempat penemuannya) yang dijadikan sumber penyusunan naskah cerita (lakon) dan selanjutnya diolahkreasi dalam bentuk sendratari (treatrical dance) berproperti topeng (wayang topeng, atau topeng dalang) Malangan. Berbeda dengan prasasti pada umumnya, prasasti yang berasal dari masa Keemasan Majapahit (medio abad XIV Masehi) ini memuat sinopsis cerita Panji yang komis (lucu, mbanyol), sehingga prasasti ini dinamai pula dengan “Prasasti Pabanyolan)”.

Prasasti yang ditemukan di Desa Gubug Klakah Kec. Poncokusumo Kab. Malang pada lembah antara “gunung suci” Tengger dan Semeru ini menyebut perkataan “Dapur Pajaran”, yakni tempat pembelajaran dan pertapaan. Toponimi “Pajaran” masih didapati hingga kini, yakni nama suatu desa di Kec. Poncokusumo, yang tak begitu jauh dari Desa Gubug Klakah. Pada desa ini didapati tinggalan arkeologi, baik arsitektural maupun ikonografis, dari Masa Hindu-Buddha, yang memperkuat bukti keberadaan Dapur Pajaran yang diberitakan dalam Prasasti Pabanyolan.

Prasasti Pabanyolan ini jadi pembukti bahwa :

  • Malang Raya memiliki basis sejarah Panji, bukan saja dalam bentuk seni pertunjukan berlakon “Panji’, namun sekaligus “susastra Panji”;
  • Cerita Panji bukan hanya dituliskan oleh “rakawi keraton” dalam bentuk susastra kidung pada era Majapahit, namun ada pula yang berasal dari “rakawi luar keraton” yang tinggal di tempat pembelajaran (Pajaran, berasal dari “pa-ajar-an”); dan
  • Sinopsis cerita Panji dalam prasasti ini adalah khasanah “lokal Malang” mengenai cerita Panji arkais di Era Keemasan Majapahit. Lantaran kisah ini hanya dalam bentuk “sinopsis”, yang ditulis dalam satu lempeng prasasti tembaga pada sisi depan (recto) dan belakang (verso), maka untuk menjadikannya dalam bentuk “lakon bagi seni pertunjukan” perlu ditransformasikan dari “sinopsis cerita” menjadi “naskah pertunjukan” dan selanjutnya dijadikan “skenario untuk pertunjukan sendratari wayang topeng khas Malang”.

Untuk kepentingan itu, (a) kisah-kisah Panji yang telah dijadikan sebagai lakon wayang topeng Malang, dan (b) narasi historis dari kerajaan di Jawa, Champa dan India (Kalinga) digunakan sebagai bahan untuk memformulasikan naskah dan skenario sendratari ini. Telaah historis dan etno-koreografis dipakai untuk menjadikan kisah berlatar kesejarahan Nusantara ini memiliki keakuratan sebagai “kisah kesejarahan”. Kendati negeri Jenggala di Jawa menjadi lokus penguasaan, namun kisah ini melibatkan pula negeri-negeri lain di luar Nusantara, yakni Champa di Vietnam dan Kalinga di Jambudwipa (India) sebagai areal pengelanaan Panji dalam belajar ilmu ketabiban dan kelana Gunungsari bersama Kadeyan dalam ikhtiar memperoleh kesembuhan bagi sakitnya binihaji Jenggala (Dewi Tejaswara). Suatu kisah yang memperlihatkan bahwa cerita Panji tidak hanya berkutat di Jawa atau di Nusantara, namun memiliki konteks lebih luas hingga Asia Tenggara bahkan Asia, yang terlihat dari tualang tokoh cerita hingga ke negeri Champa dan Kalinga.

Rancangan Pementasan

Pertunjukan sendratari wayang topeng yang  berlakon “Panji Paricaraka (kata gabung “Pari-caraka” berarti : kesempurnaan dalam hal ilmu pengobatan)” ini dikemas dalam pertunjukan pendek (45 menit), yang terdiri atas 5 babak :

  • Pembuka (Hanyurat Tambraprasasti Pabanyolan”),
  • Dewi Tejaswara Menderita Sakit (Gerah),
  • Pencarian Tabib ke Nagari Champa,
  • Panji Belajar Ketabiban di Negeri Kalinga, dan
  • Penyembuhan Psikosomatis “Tombo Loro Tomen”.

Pembabakan ini mendasarkan pada naskah cerita Panji tersebut di atas.

Bantuan penyajian pertunjukan memadukan antara (a) sendratari wayang topeng Malang dengan (b) tayangan animasi videografis. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan tentang “background” kisah pengelanaan yang berupa penyeberangan perairan luas di “Jalur Sutra Laut” maupun “Jalur Rempah” dalam bentuk arung samudra kala itu (era Majapahit). Dengan penyatuan anasir pertunjukan seni yang tradisional dan IT visual tersebut, diharapkan lebih menguatkan nuansa pengisahan dan dapat mensiasati durasi pementasan yang cukup pendek (45 menit), maupun pembatasan pembatasan jumlah pemain (12 orang). Terkait dengan pembatasan mengenai “jumlah pemain”, justru lewat “wayang topeng” terbuka kemungkinan seseorang bisa menainkan lebih dari satu tokoh peran.

Demikianlah diharapkan sajian ini dapat menjadi “contoh model” bagi proses kreatif (olah seni) yang dilakukan secara “bertahap dan berkelanjutan”. Lebih khusus pertunjukan tunjukan seni pada konteks lokal yang memiliki akar kesejarahan. (*)

Foto-foto: istimewa

 

 

In category:
Related Post
no-img
Opera Nasionalisme dalam Cerita Panji

Catatan Henri Nurcahyo   CERITA PANJI dapat dikemas untuk mengedepanka...

no-img
FESTIVAL BUDAYA PANJI 2024, BUKAN FESTIVAL BIASA

Catatan Henri Nurcahyo FESTIVAL Budaya Panji 2024 kali ini berbeda dengan f...

no-img
PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

MALANG: Sebuah kisah Panji yang terbilang langka disajikan oleh Padepokan T...

no-img
Festival Budaya Panji 2024 di GKJ dan Perpusnas

Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendik...

no-img
JEJAK BUDAYA PANJI DI TANAH BANJAR

Oleh Henri Nurcahyo (repost: Harian Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2024) &...

no-img
Cerita Panji Sebagai Peradaban Pesisir

Th Pegeaud menyebut bahwa Cerita Panji adalah salah satu contoh Sastra Pesi...