Topeng dan Penyamaran Dalam Cerita Panji

no-img
Topeng dan Penyamaran Dalam Cerita Panji

 

Catatan Henri Nurcahyo

Bicara soal Panji seringkali merujuk pada figur topeng. Tokoh-tokoh dalam Cerita Panji selalu divisualkan dalam bentuk topeng. Hal ini berbeda dengan Cerita Mahabarata atau Ramayana yang divisualkan dalam bentuk wayang kulit. Mengapa demikian? Padahal dalam Wayang Gedog, Cerita Panji juga divisualkan dalam bentuk pipih sebagaimana wayang kulit. Demikian pula dalam Wayang Beber, visualisasinya digambarkan dalam bentuk lukisan dua dimensi. Ini hal yang menarik untuk ditelusuri.

Salah satu jenis kesenian Panji adalah Wayang Topeng, yaitu sebuah seni pertunjukan teater tradisional seperti Wayang Orang namun semua pemainnya mengenakan topeng. Dialog dilakukan oleh seorang dalang, kecuali beberapa pemain yang mengenakan topeng dengan bagian mulut yang terbuka. Kesenian ini terdapat di beberapa daerah khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.   Pada mulanya, lakon yang dimainkan Wayang Topeng  mencakup berbagai cerita dan tema yang berasal dari berbagai sumber, termasuk mitologi, epik, kisah rakyat, dan legenda tradisional, atau Mahabharata, Ramayana, serta cerita-cerita lokal yang berkaitan dengan sejarah atau mitologi setempat. Namun, di banyak pertunjukan Wayang Topeng, cerita Panji memang sering menjadi salah satu tema utama karena memiliki popularitas yang tinggi dan mengandung banyak elemen romantis, petualangan, dan konflik yang menarik bagi penonton. Contohnya adalah Wayang Topeng Malangan yang hanya khusus membawakan Cerita Panji dengan segala kreasinya dalam bentuk-bentuk carangan atau kreasi  baru. Meskipun, tidak semua Wayang Topeng Malangan hanya menyajikan lakon Cerita Panji.

Kemelekatan wayang topeng dan cerita Panji itulah yang bisa jadi menyebabkan profil atau sosok-sosok dalam Cerita Panji divisualkan dalam bentuk topeng. Bahkan dalam penggambaran mengenai sekian banyak sosok dalam Cerita Panji selalu divisualkan dalam bentuk topeng. Misalnya, seperti apakah sosok Raden Panji, Sekartaji, Ragil Kuning, Lembu Amiluhur, Lembu Amijoyo, dan sebagainya? Maka yang muncul adalah visualisasi dalam bentuk topeng. Bandingkan dengan cerita klasik Mahabarata atau Ramayana yang divisualkan dalam bentuk pipih (dua dimensi).

Jadi, apakah yang dimaksud dengan topeng? Secara sempit bisa diartikan sebagai penutup atau pelindung wajah. Namun secara tersirat makna topeng adalah kepura-puraan (kedok) untuk menutupi maksud yang sebenarnya. Topeng adalah sebuah alat  penyamaran atau pemalsuan identitas agar tidak dikenali jatidiri aslinya. Topeng dapat memberikan identitas atau karakter tertentu kepada pemakainya. Dalam seni pertunjukan, ekspresi wajah pada topeng dapat membantu menyampaikan emosi dan karakter kepada penonton tanpa perlu kata-kata. Topeng dapat menambahkan dimensi visual yang kaya dan menarik bagi penonton. Topeng digunakan dengan maksud 1): Menutupi yang buruk agar kelihatan baik. 2) menutupi yang baik agar kelihatan buruk. 3) menutupi identitas yang satu untuk menghadirkan identitas yang lain (sama-sama buruk, atau sama-sama baik).

Sebagai sarana untuk menyamar, maka makna topeng bisa diperluas tidak sekadar alat penutup wajah. Penyamaran bisa dilakukan secara visual dan nonvisual. Dalam bentuk visual misalnya: Rambut, kumis, jenggot, masker, penutup kepala, kacamata, pakaian, bahkan contact lens. Dalam bentuk nonvisual bisa berupa: Perilaku, Kebiasaan, Pekerjaan, Profesi, Jabatan, dan lain-lain. Menurut komedian Cak Lontong: Yang disebut Koruptor itu bukan orang yang melakukan korupsi, tetapi orang yang tertangkap melakukan korupsi. Selama korupsi belum tertangkap, maka belum disebut sebagai koruptor. Bisa jadi adalah Bupati, Walikota, Anggota DPR, Menteri, pejabat publik, dan sebagainya.  Jadi si koruptor itu sebelumnya mengenakan topeng sebagai pejabat publik.

Contoh lainya, seorang pegawai kereta api ditangkap Densus 88 karena ternyata dia ditengarai seorang teroris. Demikian pula hasil tangkapan Densus sebelumnya juga ditemukan menyamar sebagai penjual minyak wangi, madu, dan mainan anak-anak. Betapa banyak pelaku kriminal, penipu, koruptor, yang menyamar sebagai pengusaha travel ibadah agama,

Isa Ansory, pelukis dari Kota Batu pernah memamerkan sebuah karyanya berjudul “Potret Diri” dalam Pameran Besar Seni Rupa (PBSR) 2018 dengan tema “Spirit Panji” di Kota Batu. Alumnus IKIP Malang Seni Rupa ini merupakan wajahnya sendiri yang kulitnya mulai terkelupas sehingga memunculkan potret dirinya yang lain berupa topeng Panji Asmarabangun. Sebagaimana ditulis dalam buku katalog PBSR tersebut, “Isa merefleksikan bahwa pencarian jati diri merupakan masalah setiap individu sehingga ia yang manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai objek lukisan. Menjadi diri sendiri merupakan upaya yang cukup rumit karena hakikat manusia yang hidup dengan sesama menjadikannya saling terpengaruh. Namun harus diakui pula bahwa dengan mengamati orang lain, manusia pun dapat memahami diri sendiri. Problematik penemuan jati diri merupakan topik yang senantiasa aktual. Setiap manusia menghadapinya. Ada yang lekas melepaskan diri, ada pula yang terjebak berkali-kali.”

Karya Isa Ansory itu bagi saya justru memiliki makna tersendiri, bukan sekadar pencarian jati diri. Bahwasanya wajahnya sendiri ditampilkan sebagai topeng untuk menutupi topeng yang ada di dalamnya, hal ini justru menimbulkan gugatan: “Jangan-jangan wajah asli kita itu adalah topeng untuk menyamarkan wajah yang sesungguhnya.” Artinya, dalam keseharian kita terkesan sebagai orang baik, orang yang kaya, orang yang ramah, namun sesungguhnya itu semua adalah semu. Sedangkan yang semu itu justru jati diri yang sesungguhnya. Bukankah dalam keseharian kita sering tertipu oleh penampilan seorang pejabat, pemimpin, pengusaha, atau profesi apapun, padahal sesungguhnya mereka hanyalah menampilkan topeng belaka. Lukisan ini menyadarkan kita bahwa “jangan mudah percaya pada wajah yang nampak di mata karena ada wajah lain di baliknya.”

Panggung Sandiwara

Ada lagu yang terkenal, dinyanyikan oleh Ahmad Albar, judulnya: “Panggung Sandiwara.” Sebagian liriknya berbunyi: Dunia ini panggung sandiwara. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan. Ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara? Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak. Peran bercinta bikin kita mabuk kepayang. Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan. Mengapa kita bersandiwara?

Bersandiwara atau menyamar mengenakan topeng (visual atau nonvisual) tidak harus dinilai baik atau buruk. Tergantung konteksnya. Lagu “Panggung Sandiwara” tersebut menunjukkan bahwa yang kita lihat dan kita alami sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain dan bersosialisasi dengan lingkungan bisa jadi adalah sebuah sandiwara belaka. Harus ada sebagian dari bagian diri kita (atau bahkan hampir semua) yang harus kita sembunyikan di depan orang lain. Tidak mungkin kita tampil telanjang apa adanya menjadi diri sendiri secara utuh. Karena manusia adalah mahluk sosial, yang tetap harus berinteraksi dengan manusia lain dalam masyarakat.

Jadi, mengapa Cerita Panji sering divisualkan dalam topeng karena Penyamaran menjadi salah satu ciri utama dalam Cerita Panji. Misalnya saja, tokoh Raden Panji Inu Kertapati memiliki nama lain yaitu Raden Panji Asmarabangun, Joko Kembang Kuning, Remeng Mangunjaya, Panji Kudawanengpati, Ande-ande Lumut, Enthit, Maesa Angulati Sira Panji Sangulara, Panji Kusuma Indra, dan masih banyak lagi.

Dewi Sekartaji mempunyai nama lain yaitu Dewi Candrakirana, pernah menyamar dengan nama Panji Semirang, Klething Kuning, Warga Asmara, Endang Sangulara, Ratu Dewi Kusuma Indra, dan masih banyak lagi. Dalam lakon Hikayat Kuda Semirang Seri Panji Pandai-rupa disebutkan bahwa penyamaran Sekartaji sedemikian total sehingga menjadi laki-laki betulan.

Penyamaran bukan hanya dilakukan oleh Panji dan Sekartaji sebagai tokoh utama melainkan juga saudara-saudaranya, seperti Carang Tinangluh menjadi Maesa/Klana Wirapati, Ratna Wilis menjadi Anglarsari, Brajanata menjadi Panji Kusuma Indra Misa Yuda, Perbatasari menjadi Panji Yudasmara. Demikian pula para kadeyan (pengawalnya) seperti Jurudeh menjadi Kuda-wiracarita, Punta menjadi Kuda-naracita, Kertala menjadi Kuda-naragempita, Cemuris menjadi Sutawangsa.

Raden Panji dan Sekartaji adalah sama-sama Putra/Putri mahkota, anak dari raja. Tetapi dalam banyak Cerita Panji dikisahkan keberadaan mereka di luar dinding keraton. Panji dan Sekartaji ingin dikenali sebagai rakyat biasa, bukan sebagai putra/putri raja yang harus disembah sedemikian rupa. Maka dalam cerita Jaka Kembang Kuning Panji menyamar sebagai pengamen (mbarang kentrung), menjadi petani dalam cerita Enthit menjadi dalang. Demikian pula Sekartaji menjadi perampok budiman dalam cerita Panji Semirang, menjadi pemain kentrung bernama Warga Asmara, dll. Dalam penyamaran maka mereka dapat lebih bebas bergerak tanpa harus memikul beban dari jabatan atau status mereka.  Penyamaran kadang dilakukan untuk menguji cinta dan kesetiaan dari pihak lain, termasuk pasangan atau rekan setianya. Panji terhadap Sekartaji atau sebaliknya. Di samping itu, motif penyamaran juga dapat menambahkan elemen intrik dan ketegangan dalam cerita, membuat cerita lebih menarik bagi pembaca.

Pertanyaannya, dengan cara apakah tokoh-tokoh dalam Cerita Panji menyamar? Kalau hanya dengan mengganti nama tentu belum menjadi penyamaran yang efektif. Demikian pula penyamaran dengan mengganti pakaian.  Orang tentu masih dapat mengenalinya melalui wajahnya kalau pernah melihatnya. Misalnya ketika Sekartaji menyamar menjadi Panji Semirang, apakah tidak mungkin Panji masih dapat mengenalinya meski pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian lelaki? Nah dalam Cerita Panji seringkali disebutkan ada peranan dewa yang sanggup mengubah sosok seseorang sehingga nyaris tidak dapat dikenali lagi. Perempuan yang menyamar menjadi laki-laki akan betul-betul kelihatan seperti lelaki fisiknya. Bahkan juga pengawal Sekartaji bernama Bayan diubah oleh dewa Batara Kala menjadi laki-laki betulan.

Apakah makna atau pesan moral di balik adanya penyamaran dalam Cerita Panji? Kalau ada pepatah ajining raga saka busana (harga diri seseorang ditentukan busana yang dikenakannya), maka hal ini tidak berlaku dalam Cerita Panji. Panji justru ingin dikenali sebagai rakyat biasa ketimbang sebagai putra mahkota yang disembah. Cerita Panji mengajarkan bahwa “janganlah menghormati orang lain hanya berdasarkan penampilannya, keturunannya, pangkatnya, kekayaannya, ketampanannya, dan hal-hal yang sifatnya semu.” Cerita Panji mengajarkan kesejajaran antarmanusia yang dibedakan menurut tingkah lakunya, sifat budi dan karakternya, serta bagaimana memperlakukan manusia lainnya. Dengan adanya penyamaran perempuan menjadi laki-laki, dan sebaliknya, juga dapat dimaknai bahwa ada pesan keseteraan gender dalam Cerita Panji. Bahwa laki-laki dan perempuan tidaklah harus mendapat perlakuan yang berbeda hanya lantaran perbedaan jenis kelamin belaka. (*)

 

 

Pustaka:

Suanda, Endo, 2005. Topeng. Buku Pelajaran Kesenian Nusantara. Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.

In category:
Related Post
no-img
BOARD GAME CERITA PANJI AGAR DITERIMA ANAK MUDA

Board game adalah permainan papan, misalnya Monopoli, Scrabble, Chess, Che...

no-img
TEROBOSAN KREATIF, WAYANG KULIT BEBER SMAN 1 PACET

Catatan Henri Nurcahyo INILAH sebuah terobosan baru yang kreatif. Wayang be...

no-img
Candrakirana Diculik Perompak, Lahirnya Kesenian Emprak

Catatan Henri Nurcahyo   Kesenian Emprak  adalah bentuk kesenian sepe...

no-img
Topeng dan Penyamaran Dalam Cerita Panji

  Catatan Henri Nurcahyo Bicara soal Panji seringkali merujuk pada fig...

no-img
Dari Festival Panji ke Festival Panji

Catatan Henri Nurcahyo   TAHUN 2016, saya dihubungi via telepon oleh B...

no-img
Perjalanan Program Gerak Budaya Panji

Catatan Henri Nurcahyo GERAK Budaya Panji sudah semakin membahana dalam sat...

  • 1,178
  • 84