seni rupaTerbaru

Seni Ilusi Optik Galam Zulkifli

no-img
Seni Ilusi Optik Galam Zulkifli

Catatan Henri Nurcahyo

 

KARYA yang tampil sangat mencolok dalam gelaran ARTSUBS #2 kali ini adalah seni ilusi optik karya Galam Zulkifli. Wujudnya adalah deretan 24 kotak yang disusun sebanyak 8 ke samping, 3 ke bawah, masing-masing kotak terdapat 4 foto, dan setiap foto memuat dua wajah yang saling tumpang tindih. Langsung saja karya ini menjadi objek swafoto yang laris.

Sementara di depannya terdapat sebuah kotak tiga dimensi yang terus menerus berputar secara perlahan. Pada masing-masing kotak itu juga terdapat sebuah foto wajah yang segera berganti dengan wajah lain secara perlahan begitu kotak berputar. Sempatkan berdiri sejenak di depannya, maka akan terasa sebuah ilusi optik yang mengasyikkan.

Memandang Galam Zulkifli dalam bingkai visualnya—ini adalah dapur lukisannya: warna menari, siluet wajah mencuat, dan wacana sejarah ditutur lewat goresan kanvas. Galam bukan nama baru dalam seni rupa negeri ini. Sembilan tahun yang lalu, karyanya pernah menggegerkan ketika dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta bersamaan dengan peresmian pengoperasiannya. Lukisan akrilik berukuran 400×600 cm itu dipajang tanggal 9 Agustus 2016  namun langsung diturunkan tiga hari kemudian.

Karya berjudul The Indonesian Idea tersebut menampilkan  wajah-wajah yang dibuat tumpang tindih yaitu Proklamator Indonesia Soekarno dan Mohammad Hatta, dengan ukuran yang paling besar, kemudian juga nampak sosok HOS Tjokroaminoto, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono, Ki Hadjar Dewantara, Pramoedya Ananta Toer, K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan banyak lainnya. Yang kemudian jadi masalah, di antara ratusan wajah-wajah tokoh itu juga terdapat sosok DN Aidit, Musso, Kartosuwiryo, dan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pemberontak, namun sesungguhnya memberikan kontribusi penting negara Indonesia.

Padahal, Galam menyajikan para tokoh itu bukan hanya yang protagonis melainkan juga yang antagonis. Maka hadir juga wajah-wajah seperti Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, Andi Aziz, dan Ventje Sumual, yang selama ini dikenal sebagai tokoh pemberontakan di Indonesia.

Mereka yang hanya melihat lukisan ini selintas akan dengan mudah menilai secara negatif adanya foto-foto pemberontak itu. Namun, seperti biasanya, penonton tidak pernah secara utuh menilai sebuah karya. Untuk itu Galam sudah menyertakan sebuah video yang dapat menjelaskan karyanya yang dinilai kontroversial tersebut. Tapi siapa yang sudi menyempatkan diri menyaksikannya?

Mengutip situs CNN Indonesia, dalam video itu dijelaskan profil tokoh yang masuk dalam lukisan. Galam berharap melalui video itu, konteks dan konsep penyusunan karya dapat dijelaskan dengan klir. “Empat ratus wajah dengan latar ideologi dan praksis (kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar menaikkan yang terinjak, memunculkan yang hilang, dan menyatukan yang terserak,” tulis Galam dalam video tersebut.

“Lewat ‘jalan cahaya’ sebagai metode visual, simulasi dari ilusi itu menyadarkan kita betapa anugerah keragaman ide ini rapuh, goyah. Salah satu merawatnya adalah menampilkannya secara adil, berani, dan nondiskriminatif.”

Tampil Aman

Tapi dalam hajatan ARTSUBS ini Galam tampil aman. Sebuah karyanya yang berjudul Seri Ilusi: The Beauty of Relativity III (2025) mendeskripsikan kecantikan dunia bukanlah sesuatu yang tunggal. Ia lahir bersama kehadiran kebudayaan dengan segala ritusnya yang tak pernah tunggal.

Karya ini menunjukkan dasar dari mana mula-mula industri kecantikan ini bekerja, yakni manipulasi mata. Dengan mata ini pula karya ini masuk untuk memberitahu kepada dunia relativitas dari kecantikan itu. Dimana kecantikan itu bisa hidup di mana saja; tidak melulu bermuasal dari pabrik-pabrik kecantikan bernama “salon” di pusat-pusat mode dunia.

Wajah-wajah yang lahir dari kendali pasar kecantikan dunia diambil secara random dan dileburkan bersama wajah kecantikan yang lahir dari ceruk dunia yang jauh dari pusat mode. Dimana pertautan raut wajah, relasi rambut, dan keramahan senyum perempuan dari seluruh wajah—jagat terpadu dalam momen ilusi.

Kecantikan dan fetitisme yang dipilihkan layar media, baik layar perak (televisi), layar lebar (film), maupun panel (papan iklan di jalan-jalan kota), tak lebih ilusi belaka. Ia memberitahu ada jejaring raksasa yang bekerja di balik penguasaan imaji lewat perantaraan mata. Wacana kecantikan saat ini pada akhirnya adalah pembicaraan tentang kekuasaan. Sebab dalam konteks globalisme kecantikan, kekuasaan itu nyata-nyata yang mengendalikan kebenaran, dan bukan sebaliknya, kebenaran yang memandu kekuasaan. Dalam hal ini, media adalah wadah dari ideologi kekuasaan yang menentukan mana yang layak bagi perempuan, dan bukan sebaliknya, perempuan yang memiliki otonomi untuk memilih mana yang terbaik untuknya.

The Beauty of Relativity pada akhirnya mengembalikan segalanya ke awal; bahwa kecantikan itu ilusi, bisa digandakan (clone), jika kita tak memperbaiki mata visual kita dalam melihat rancang-bangun bagaimana semesta ini dicipta industri.”

Seri Ilusi: “Hai You” (2025) mengeksplorasi ketegangan antara kekuasaan, identitas, dan persepsi publik, dengan menggunakan teknik ilusi visual yang menipu mata (lentikular, moiré, distorsi) untuk mengajak audiens mengalami ketidakpastian visual, sebuah metafora bagi kebingungan global terhadap figur-figur pemimpin dunia.

Karya lain yang dipajang berupa 10 kotak yang dibuat berderet 5 ke samping dan 2 ke bawah berjudul: “Seri Ilusi “Memori” (2025) adalah sebuah seri karya lukis yang mengangkat tema nostalgia dan ingatan kolektif melalui representasi tokoh-tokoh musik legendaris, seperti John Lennon. Karya ini menggambarkan figur-figur ikonik yang menjadi simbol lintas generasi, ditampilkan melalui teknik visual distorsi linier yang menyerupai efek optik atau ilusi visual, memperlihatkan bagaimana kenangan tak pernah hadir secara utuh, ia terfragmentasi, kabur, dan dipengaruhi oleh waktu serta pengalaman pribadi.

Karya ini menggunakan media campuran (akrilik dan brand tape) di atas kanvas menggunakan teknik garis vertikal (mirip lentikular atau efek moiré), di mana dua atau lebih citra wajah saling bertumpuk dan berubah tergantung dari sudut pandang penikmatnya. Teknik ini menciptakan kesan dinamis dan simbolis bahwa kenangan terhadap tokoh-tokoh ini tidak statis. Ia selalu berubah, tergantung pada siapa yang mengingatnya.

Setiap tokoh yang ditampilkan meskipun wajah mereka tidak sepenuhnya jelas atau dapat dikenali dari satu sudut pandang, merupakan representasi dari pengaruh besar mereka dalam sejarah musik. Ketidakjelasan visual menggambarkan bahwa dalam ingatan kita, figur-figur besar ini hidup dalam bentuk yang kabur namun tetap kuat dan membekas. Mereka menjadi bagian dari identitas budaya kolektif yang terus bergerak dan berevolusi.

Karya ini menekankan bagaimana ingatan tidak selalu akurat, namun sangat personal. Lukisan ini ingin mengekspresikan bagaimana memori terhadap suara, lirik, dan pengaruh tokoh-tokoh ini tidak hanya hidup di arsip atau rekaman, tetapi dalam benak jutaan orang yang pernah tersentuh oleh karya mereka.

Sedangkan dua lukisan paling besar yang dipajang di dinding yang lain memperlihatkan wajah Presiden AS Donald Trump yang dibuat tumpang tindih dengan wajah peminpin Cina Xi Jinping dan satu lukisan lagi Donald Trump yang tumpang tindih dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin. Xin Ping dan Putin sama-sama menunjuk ke luar kanvas, sementara Trump dilukiskan sedang marah-marah. Maka melalui penggabungan wajah para pemimpin kuat dunia yang tengah menunjuk seraya menyeringai marah sekaligus tertawa lepas, karya ini menghadirkan simulakra kekuasaan: wajah-wajah yang saling bertumpuk, menyatu, dan tak bisa dibedakan. Mereka menunjuk ke luar kanvas, seolah menyerang atau memanggil setiap warga dunia “Hai, kamu!” Ini masa berpihak, ‘masa bersiap’, masa konfrontasi personal sekaligus global.

Dalam lanskap politik global yang semakin dikendalikan oleh populisme, propaganda, dan citra media, batas antara “siapa memimpin siapa”, “siapa kawan siapa lawan”, dan bahkan “siapa yang benar” menjadi kabur. Karya ini menciptakan efek tumpang tindih antara tawa dan kemarahan, antara rangkulan dan ancaman, antara fiksi dan fantasi, antara kawan dan lawan, antara merah dan biru, antara pemilik telunjuk dan terperdaya. Dan pada antara itulah wajah kekuasaan adalah permainan ilusi.

Sejauh mana kita bisa mempercayai apa yang kita lihat?”

Dari Sumbawa ke Dunia

Galam Zulkifli, lahir di Sumbawa 14 Januari 1971, pernah kuliah seni rupa di  IKIP Yogyakarta hanya 4 semester, lantas belajar otodidak. Pada tahun 1995, Galam menggelar pameran pertamanya di Tanjung Priok, Jakarta.  Karya-karyanya telah mendapatkan pengakuan di berbagai kompetisi seni, seperti Indonesian Art Awards dan ASEAN Art Awards.

Mengutip laman exploreyogya, Galam membuat periodisasi dalam lukisannya, dengan periode pertama adalah periode mesin yang terdiri dari 33 lukisan, periode kedua adalah periode kotak-kotak dengan 33 lukisan, periode selanjutnya adalah periode lepas, periode ilusi, dan yang terakhir adalah periode Citra. Pada tahun 2004, Galam meluncurkan novel berjudul “Taman Seni Dari Dunia Imajiner” yang kemudian diikuti oleh “Lompatan Kata Rupa”. Kedua novel tersebut menggambarkan pemikiran dan inspirasi seni dari Galam.

Dalam karya-karya Galam, terdapat pesan-pesan yang dalam dan kritik terhadap realita kehidupan. Ia mampu menggambarkan realita yang kompleks dengan sentuhan harmoni, sehingga lukisan-lukisannya memiliki daya tarik yang kuat.

Karya-karya berupa lukisan dan foto yang memanfaatkan ilusi sebagai gaya artistiknya. Seni ilusi yang ia ciptakan menggunakan panca indera mata sebagai daya tarik antara, warna, imajinasi, dan perspektif terhadap karya yang ditampilkan. Ia juga menggunakan garis sebagai batas-batas untuk menciptakan ilusi. (*)

 

In category: seni rupaTerbaru
Related Post
no-img
Koeboe Sarawan: Tak Menyerah dalam Keterbatasan

Catatan Henri Nurcahyo KOEBOE Sarawan adalah salah satu pelukis surrealis t...

no-img
Seni Ilusi Optik Galam Zulkifli

Catatan Henri Nurcahyo   KARYA yang tampil sangat mencolok dalam gelar...

no-img
Jembatan Modernitas dan Tradisi dalam Harmoni Seni

Catatan Henri Nurcahyo   JOKO PORONG menggelar pertunjukan musik konte...

no-img
Ikan Koi Raksasa di Meja Warisan

Catatan Henri Nurcahyo   HAMPIR dipastikan bahwa salah satu karya yang...

no-img
Rudi Mantofani: Ketidakseimbangan Sebagai Keniscayaan  

Catatan Henri Nurcahyo   SEBUAH lukisan besar (200×200 cm) domina...

no-img
“Jam Kosong” dan Peluang yang Hampir Terlewat

Catatan Henri Nurcahyo   AKSERA menggelar pameran lukisan bertajuk “...

  • 2,331
  • 12