Jangan Hanyut, Media Sosial Didominasi Konten Negatif
TRAWAS: Telah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Hal-hal yang negatif lebih disukai oleh masyarakat ketimbang yang bagus. Media sosial didominasi konten negatif. Delapan puluh persen konten media sosial justru pornografi. Bad news is good news menjadi hukum media sosial. Karena itu, menurut Heri Prasetyo, keberadaan media sosial memang tidak terelakkan. Tetapi sebagaimana kata Sunan Kalijaga, keli ning ora keli, artinya kita boleh ikut arus tetapi jangan sampai hanyut.
Seniman yang terkenal dengan nama panggilan “Heri Lentho” itu menyampaikan paparannya pada acara “Workshop Media Kampanye Toleransi Melalui Media Sosial” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan di hotel Arayana Trawas, Mojokerto, Selasa sore (27/07/22). Acara workshop ini merupakan kelanjutan “Lokakarya Toleransi untuk Pelajar dan Pemuda” yang dilaksanakan sejak Senin (26/07) di tempat yang sama. Kedua acara tersebut merupakan bagian dari program “Cinta Budaya Cinta Tanah Air Tahap Dua” yang berlangsung hingga tahun 2023.
Senada dengan Heri Lentho, narasumber yang lain yaitu M. Taufik, ketua Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) juga mengingatkan bahwa dunia sudah berubah. Kita tidak bisa lagi bicara apa adanya seperti dulu. “Kalau dulu saya bisa bilang “yang kafir dilarang ikut makan.” Tapi saat ini bisa jadi masalah besar,” ujar wartawan Tribun News ini.
Heri Lentho yang dikenal sebagai koreografer pertunjukan kolosal ini memaparkan kiat-kiat bagaimana menggelar acara dengan modal minim dan mendapat dukungan dari masyarakat. Menurut pengalamannya, kita harus menghargai tradisi masyarakat setempat agar mereka terlibat dan mau mendukung acara yang kita lakukan. Dengan demikian maka membuat pergelaran seni pertunjukan atau keramaian tidak harus berangkat dari modal besar. Kalau perlu, kita tinggal memperbesar ritual tradisi yang sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun dengan cara memberikan acara-acara tambahan. Hal ini sudah sukses dilakukan oleh Heri Lentho dengan menggelar acara “Eksotika Bromo” setiap tahun yang dibarengkan dengan tradisi Kasada masyarakat Tengger.
Ditambahkan penggagas karnaval kolosal “Surabaya Juang” ini, kita juga harus “kula nuwun” dengan makhluk halus yang menjaga wilayah yang kita gunakan.
“Ini bukan soal syirik, tetapi apa salahnya kita mendoakan arwah para leluhur?” ujar Heri oratoris dalam paparannya yang berjudul “Merancang Seni Pertunjukan Berbasis Toleransi.”
Terkait dengan media massa, inisiator gerakan pelajar “Komunitas Pegiat Kebangsaan” ini mengingatkan bahwa kalau dulu ada prinsip “satu untuk media” maka yang berlaku sekarang adalah “semua media untuk satu.” Jadi berbaik-baiklah dengan pelaku media massa, baik media konvensional ataupun pelaku media sosial yang saat ini setiap orang sudah menjadi wartawan sekaligus penerbit atau produser.
Heri lantas mengudar pengalamannya ketika merancang acara yang kemudian menjadi cikal bakal “CitraLand Superfest” di kawasan perumahan elit CitraLandSurabaya. Kebetulan Heri sendiri tinggal di kampung yang tidak jauh dari situ. Maka menjelang acara dia membuat woro-woro keliling kampung dengan pengeras suara: ”Bapak-bapak, ibu-ibu, pada hari Minggu akan ada perayaan festival, ada arak-arakan, yang akan diliput langsung oleh SCTV dan RCTI, monggo ramai-ramai menonton.”
Maka berduyun-duyunlah masyarakat menonton acara tersebut. Hal ini lantas menarik perhatian pengelola perumahan CitraLand sehingga acara yang serupa minta diadakan tahun depan dan menjadi agenda rutin dengan pembiayaan dari pihak pengembang perumahan.
Melawan Hegemoni Media Sosial
Sementara itu M. Taufik memaparkan bagaimana mengelola media sosial yang sudah menjadi keseharian setiap orang. Membuat media massa tidak lagi harus butuh kantor, karyawan, peralatan canggih, dan modal besar. Karena itu dibutuhkan pengetahuan dan kemauan yang memadai serta sikap bijak bagaimana kita menyiarkan berita atau materi yang disebarkan untuk masyarakat luas.
Senada dengan Heri Lentho, Ketua Forwas ini mengakui bahwa media sosial didominasi oleh konten-konten yang negatif. Hal-hal yang merusak moral malah menjadi viral. Dalam materi “Kampanye Toleransi Melalui Media Sosial” Taufik memberikan kiat-kiat bagaimana melawan hegemoni media sosial tersebut.
Dikatakan, kita harus memahami betul hal-hal yang menjadikan sebuah konten menjadi viral. Mengapa sebuah akun medsos sampai ditunggu-tunggu postingannya oleh masyarakat. Kita memang tidak perlu ikut-ikutan apa yang mereka lakukan tetapi bagaimana caranya kita bisa memanfaatkan hal itu untuk tujuan positif. Kalau ada semboyan bad news is good news maka kita harus tetap berpedoman good news is good news. Memang tidak bisa ditolak, bahwa Sport, Sex and Crime, adalah tiga hal yang paling menarik.
Taufik memberikan contoh-contoh bagaimana konten media sosial dapat menjadi viral tanpa harus ikut arus dan melanggar nilai-nilai moral. Pelajarilah konten orang lain yang serupa dengan konten kita. Ketika kita membuat konten, bayangkan kita menjadi orang lain. Atau carilah konten serupa dari orang lain sebagai perbandingan. Misalnya, manfaatkan popularitas Citayam Fashion Weeks atau lagu-lagu populer yang sedang disenangi masyarakat. “Masih contoh-contoh banyak konten yang positif dan banyak follower-nya,” tegasnya.
Taufik memberikan nasehat, jangan minder dengan peralatan kamera atau gawai yang dimiliki orang lain. Karena kamera yang terbaik adalah kamera yang kita miliki sendiri. Kamera yang bagus adalah yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetaplah kreatif membuat konten. Disarankan, membuat konten sebaiknya dalam tim, jangan sendiri, karena otak tiga orang lebih baik dari pada sendiri.
Ditambahkan, foto masih menjadi daya tarik yang luar biasa. Karena itu Caption-nya juga harus dibuat yang menarik. Foto yang bagus adalah yang terkonsep, atau foto yang bisa bicara. Foto wanita cantik biasanya banyak disukai. Meski pake HP tetap harus disertai skill. Teori foto hanya satu, sesuaikan dengan cahaya. Karena HP tidak ada tele maka kalau dipaksakan akan pecah. Mending mendekat saja ke orangnya namun harus permisi. Etika di lapangan tetap dipakai tetapi harus berusaha. Kalau perlu objek fotonya diatur demi mencapai hasil yang maksimal.
“Artis biasanya sudah tahu angle yang bagus. Contohnya, Via Vallen biasanya minta difoto dari sisi kanan, karena dari sisi itulah dia terlihat cantik,” ujar Taufik.
Dalam hal editing, sekarang sudah banyak aplikasi editing video gratisan dan mudah digunakan. Namun yang perlu diperhatikan ketika melakukan editing harus ada bagian Intro – Point of View – Closing meskipun video itu hanya 15 detik. Editing harus direncanakan dengan matang.
Satu hal yang penting diperhatikan dalam media sosial, kata Taufik, kita itu harus melayani dua pihak, yaitu netizen dan algoritma. Kedua hal itulah yang akan menentukan apakah konten kita disukai, ditonton hingga tuntas, dan menjadi viral, bahkan mendatangkan pemasukan berupa iklan.
Acara Lokakarya Toleransi dan Workshop Media Sosial ini diikuti oleh 60 peserta yang terdiri dari 30 pelajar (dari SMAN 1 Gedangan, MA Nurul Huda Sedati, SMPN 1 Gedangan, SMPN 1 Waru dan SMPN 1 Taman), masing-masing disertai seorang guru pendamping. Juga 20 peserta dari Organisasi Kepemudaan, yaitu Puwalan, Gema FKUB, GKJW, Pemuda Hindu, Orang Muda Katolik, Pemuda Buddha, Guk Yuk Sidoarjo, Forwas (Forum Wartawan Sidoarjo), Pramuka, IPPNU, IPNU, dan GP Ansor. Serta perwakilan dari Disporapar, Bakesbangpol, Dispursip, Cabang Dinas Pendidikan Jatim di Sidoarjo, dan Disdikbud Kabupaten Sidoarjo. (*)