Desain Sepatu Berbasis Budaya Panji
SURABAYA: Ternyata, Budaya Panji dapat menjadi acuan untuk menciptakan desain sepatu. Hal ini pernah dilakukan oleh dua orang alumni Universitas Surabaya (Ubaya) sebagaimana yang dipaparkan dalam diskusi di Rumah Kebudayaan Universitas Airlangga, jalan Darmawangsa Surabaya, Jum’at (14/6) siang. Mukhammad Nur Khabibulloh, belum lama lulus, mengambil inspirasi dari wayang krucil Malangan. Sementara seniornya yang sekarang meneruskan pascasarjana di Universitas Ciputra berangkat dari Topeng Panji.
Dalam penglihatan selintas, memang desain sepatu tersebut seolah-olah tidak terkait dengan Panji. Dalam hal ini, Michael Natanael dari Pusat Studi Budaya Kreatif Universitas Ciputra memberikan penjelasan, “bahwa dalam ilmu cross cultural design, ada tiga tahapan yaitu: Quotation, yaitu hanya alih media saja. Dan ini bahaya, plagiat, tidak punya kedalaman, hanya memindahkan saja. Kedua, mimikri, yaitu menciptakan sesuatu yang baru namun masih bisa dilacak sumbernya. Dan yang ketiga adalah Transformasi yang sesungguhnya maka hasilnya bisa sangat tidak terduga, tidak sesuai pakem, tetapi pada saat orang itu menerima sesuatu yang baru, kita baru bisa menjelaskan bahwa produk itu diinspirasi oleh Panji misalnya. Dan nilai-nilai yang disampaikan sama.
Acara ini diselenggarakan oleh UPT Laboratorium, Pelatihan dan Pengembangan Kesenian (LPP Kesenian) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan FIB Unair, dengan nama “Training of Trainer (Lifestyle Transformasi Budaya Panji di Era Milenial)” Tahun 2019.
Dalam acara tersebut muncul kemauan kuat bahwa Budaya Panji perlu dipopulerkan di kalangan generasi muda (kalangan milenial) agar mereka memahami bahwa Budaya Panji sebetulnya merupakan harta karun yang tak ternilai harganya. Budaya Panji bukan hanya perlu dilestarikan dan dikonservasi namun juga dilakukan inovasi dan juga rejuvinasi (peremajaan).
Acara ini dipandu oleh Joko Susanto dari FISIP dan Adrian Perkasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, dengan pengantar M. Dwi Cahyono yang membeberkan Panji dari aspek visual, khususnya terkait dengan keberadaan relief Panji sebagaimana yang menjadi keahliannya sebagai arkeolog. Kemudian dilanjutkan oleh pegiat Budaya Panji, Henri Nurcahyo, yang membeberkan aspek intangible (tak benda) dari Budaya Panji, meliputi kekhasannya, karakter Panji yang menonjol dan prospek yang dapat dikembangkan dari Budaya Panji.
Kepala UPT LPP Kesenian, Efie Wijayanti, S.Sos, M.MPd, ketika membuka acara mengharapkan agar Budaya Panji dapat menjadi inspirasi bagi generasi milenial untuk menghasilkan karya-karya kreatif yang mampu menjawab tantangan zaman. Dikatakan, bisa jadi Cerita Panji itu adalah karya personal yang kemudian menjadi karya komunal yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai ekspresi kesenian. Kalau ikon Hello Kitty saja bisa mendunia dalam bentuk simbol yang sederhana begitu, mengapa Panji tidak?
Wakil Dekan III FIB Unair, Rizki Andini, S.Pd., M.Litt., Ph.D. mengatakan dalam sambutannya, Budaya Panji mungkin bukan hanya dipahami dari teksnya saja tetapi bagi generasi milenial mungkin lebih tertarik aspek visualnya. Sebagaimana J-Pop (Jepang) dan K-Pop (Korea), sejak awal memang sudah diniatkan untuk dapat ,menjadi besar dan terkenal serta berpengaruh. Hanya saja, ada kesan J-Pop agak eksklusif dibanding K-Pop, sehingga kemudian masyarakat milenial lebih mengapresiasi K-Pop. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk mengembangkan Budaya Panji sekarang ini. Jangan sampai Budaya Panji lantas hanya menjadi eksklusif.
Joko Susanto menjelaskan yang kemudian menjadi tantangan adalah bagaimana kalangan milenial menjadi semakin aware (peduli) dan semakin terlibat terhadap Budaya Panji. Bagaimana menerjemahkan Panji dalam life style generasi milenial. Yang dimaksud life style bukan sebatas ragamnya saja. Sebagai perbandingan, dalam upaya memperkenalkan budayanya, apa yang dilakukan Korea sudah melangkah lebih baik ketimbang Jepang, tetapi Jepang jauh lebih baik dibanding kita sendiri.
Menurut Adrian Perkasa, jangankan Panji, masih banyak mahasiswa Universitas Airlangga sendiri yang tidak kenal siapa itu Airlangga. Mereka beranggapan Airlangga itu malah burung.
Sebagai arkeolog, M. Dwi Cahyono lantas mengudar pembacaan relief Panji yang ternyata memiliki kandungan desain-desain busana, baik parsial atau keseluruhan yang dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan desain busana masa kini. Mulai dari motifnya, bentuk topi, kain panjang, selendang, yang terdapat pada figur Raden Panji maupun Sekartaji. Meskipun sebetulnya busana Panji yang digambarkan di relief tidak terlalu lengkap karena dikisahkan Raden Panji ketika berkelana dan menyamar menjadi rakyat biasa. Karena itu kemudian Dwi Cahyono menyarankan busana Wayang Topeng yang lebih lengkap, bukan hanya sebatas busana bawahan sebagaimana dalam relief.
Michael Natanael dari Universitas Ciputra mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam budaya visual, karena yang paling penting dari Budaya Panji adalah filosofi dan nilai-nilainya yang perlu diteruskan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Kalau hanya visual, kita tidak akan menciptakan sesuatu yang baru sehingga kita malah kehilangan roh Budaya Panji yang sangat adaptif. Kita harus terbuka bahwa generasi milenial ini akan melihat dengan cara yang berbeda.
Namun kemudian Michael juga menunjukkan contoh-contoh busana dengan desain Panji hasil karya mahasiswa Universitas Ciputra.
Ditambahkan, menciptakan sesuatu yang baru itu memang bagus tetapi yang lebih penting adalah bagaimana cerita dan filosofinya. Karena itu Michael yang juga kepala Pusat Kajian Kreatif mendorong mahasiswa untuk juga menciptakan buku, animasi, games, dan produk-produk baru yang lebih kontemporer namun menekankan bagaimana menciptakan warisan budaya yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. Pembuatan film mungkin lebih inspiratif sebagaimana keberhasilan film Lord of the Ring yang kemudian menginspirasi produk-produk turunannya dalam berbagai bentuk. (hn)