Memahami Budaya Panji, Budaya Asli Jawa Timur
BLITAR – Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Blitar bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Blitar kembali menyelenggarakan bedah buku pada 18 November 2016 lalu. Buku yang dibedah karya budayawan Jawa Timur, Henri Nurcahyo, berjudul ‘Memahami Budaya Panji’.
Buku hasil terbitan Pusat Konservasi Budaya Panji tersebut merupakan deskripsi lengkap yang memuat dasar-dasar masyarakat untuk mengetahui apa itu Budaya Panji yang sempat diajukan menjadi ikon pembangunan Provinsi Jawa Timur.
Setelah sukses dibedah di Semeru Art Gallery Malang, Rumah Budaya Pecantingan Sidoarjo, TVRI Jawa Timur, serta kota-kota lain seperti Kediri, Tulungagung, Jogja, Palembang, Bandung, serta Jombang, giliran Kota Blitar menjadi tuan rumah. Buku yang laris manis dikalangan pecinta seni, sejarah dan budaya Indonesia ini telah cetak dua kali. Cetakan pertama November 2015 dan kedua Juni 2016.
Henri Nurcahyo, sang penulis buku Memahami Budaya Panji mengatakan awal mula menulis tentang Panji adalah saat masih aktif dalam kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur. Kala ditunjuk sebagai koordinator program konservasi budaya Panji pada 2008.
“Hingga akhirnya dapat menyelesaikan sebuah buku tentang Konservasi Budaya Panji pada 2009 yang berisi tentang makalah dan prosiding seminar kebudayaan Panji. Setelah itu secara mandiri, saya terlibat dalam aktivitas budaya Panji hingga kini,” paparnya.
Dituturkan, pada awalnya dirinya hampir sama dengan para audience yang hadir ketika memaknai Panji hanya sebagai sebuah cerita atau kisah percintaan antara Dewi Sekartaji dengan Raden Panji Asmorobangun.
Namun setelah mengikuti pesamuan budaya Panji pada 2008, akhirnya memahami bahwa Panji bukan hanya sekedar cerita, namun lebih dari itu. Panji merupakan sebuah budaya yang membumi di masyarakat karena mengandung hubungan filosofis manusia.
“Bahkan dalam banyak keistimewaannya salah satu yang patut dibanggakan Cerita Panji merupakan cerita asli Jawa yang dapat disejajarkan dengan kisah serapan seperti Mahabarata atau Ramayana,” jelas Henri kepada TimurJawa.com.
Cerita Panji Mendunia
Budaya Panji sendiri sebenarnya sudah cukup lama berkembang di masyarakat. Tidak hanya sekedar berupa sastra lisan, Panji-pun menjelma dalam naskah kuno, prasasti, relief candi, karya seni, dongeng, hingga kebudayaan masyarakat.
Berawal dari Cerita Panji yang dimulai pada zaman Kerajaan Kediri, Cerita Panji berlanjut di zaman Kerajaan Majapahit dan menjelma sebagai alat diplomasi budaya Majapahit yang hingga kini persebaran Cerita Panji telah ada di beberapa tempat di Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar dan Filipina.
Bahkan pada tahun 2013, Thailand menjadi tuan rumah Festival Panji Internasional yang didalamnya menyajikan kesenian berlatar Cerita Panji dari negara-negara dunia.
Dalam bedah buku tersebut, Henri menjelaskan tentang apa itu budaya Panji. “Budaya Panji adalah segala produk manusia yang dibuat berdasarkan Cerita Panji. Ada dongeng Ande-Ande Lumut dan Timun Mas,” jelasnya.
Ada relief yang berkisahkan tentang panji di belasan candi yang tersebar di Jawa Timur. Ada komik RA Kosasih tentang Panji Semirang, ada Topeng Panji, ada Tari Panji, ada berbagai versi cerita tentang Panji seperti Panji Laras dan Panji Asmarabangun.
“Hingga nilai-nilai budaya yang muncul dari Cerita Panji, seperti kehormatan, kepahlawanan, pengabdian, hingga kesetiaan,” ungkap Henri.
Memory Of the World
Dalam bedah buku tersebut juga dibahas perihal peluang besar Indonesia untuk mendaftarkan Cerita Panji sebagai Memory Of the World (MOW), setelah La Galigo, Negarakretagama, dan Babad Diponegoro yang telah diakui UNESCO sebagai MOW terlebih dulu.
Pasalnya Indonesia kini telah memiliki 80 naskah kuno Cerita Panji di Perpustakaan Nasional, meskipun kondisi 40 naskah tersebut dalam keadannya rusak. Selain itu, lebih dari 200 naskah Cerita Panji tersimpan rapi di Belanda.
Salah satu naskah Cerita Panji yang dimiliki Indonesia dan yang didaftarkan dalam MOW adalah Cerita Panji Anggraeni. Namun Indonesia tidak sendiri, terdapat Malaysia juga mendaftarkan Cerita Panji Melayu. Adapun syarat sebuah dokumen bisa masuk MOW adalah asli, memiliki dampak dalam negeri dan memiliki dampak internasional.
Selain penulis buku, bedah buku di Kota Blitar itu juga menghadirkan Dr Subardi Agan MSi, sejarawan asal Kota Kediri yang bertindak sebagai pembedah.
Kepada TimurJawa.com, beliau menjelaskan, membahas tentang memahami budaya Panji, ada baiknya tidak hanya sekedar berhenti dalam membedah buku saja. “Namun pasca itu apa yang harus dilakukan agar budaya Panji tetap berkembang setelah kita mengetahui apa itu budaya Panji dari buku gaya jurnalisme yang ditulis Mas Henri ini.”
Aktualisasi budaya Panji, menurut Dr Subardi, dapat dilakukan dalam bentuk pertunjukan, film, festival, sarasehan, seminar, diskusi, atau yang lebih bagus lagi memasukkannya dalam dunia pendidikan. Sebab dalam buku memahami budaya Panji sudah sangat jelas, apa itu budaya Panji.
“Tinggal bagaimana kita merespon warisan budaya leluhur kita tersebut agar tidak hilang ditelan zaman,” lanjut pengajar di Universitas Nursantara PGRI Kediri ini.
Selain para guru sejarah se-Kota Blitar, seniman, wartawan dan budayawan tampak hadir dalam bedah buku tersebut. Tampak pula hadir budayawan senior Kota Blitar seperti Lik Hir, Mardiono Gudel, hingga Ketua Dewan Kesenian Kota Blitar Andreas Edison yang nampak serius menindaklanjuti hasil bedah buku tersebut untuk membuat kegiatan dengan tajuk Budaya Panji. (rba)
Sumber: http://www.timurjawa.com/2016/11/22/memahami-budaya-panji-budaya-asli-jawa-timur/