
Menyimak “Angreni” Komunitas Tombo Aji Jombang
KISAH Dewi Angreni sebagai penggalan kisah yang mengawali kisah romantis percintaan Inu Kertapati dengan Dewi Galuh Candrakirana dimainkan oleh Komunitas Tombo Ati hari Jum’at tanggal 5 juli 2019 di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang pukul 19.00. WIB. Pergelaran ini sebagai pemanasan sebelum pertunjukan ini hadir di Kediri (10/7) dalam rangkaian Festival Panji Nusantara.
Pergelaran yang disutradarai oleh Fandi Ahmad ini dimulai dengan menyajikan Topeng Klana Kembar, sebagaimana yang disajikan dalam setiap pertunjukan topeng Jatidhuwur. Topeng ini merepresentasikan nilai spiritual tentang kisah kelana, bahwa setiap orang memiliki kisah kelana/pengembaraannya sendiri untuk mencapai kedewasaan, membangun integritas personal, kematangan batin, “kadhiwasaning kodrat” membaca “lukitaning alam” dinamika alam, perubahan sosial budaya. Tarian ini memiliki muatan filsafati.
Adegan ini segera selesai dan dilanjutkan dengan adegan kedaton yang diawali dengan tarian kelompok prajurit. Tarian ini disajikan oleh penari-penari muda yang memiliki kualitas kepenarian yang cukup mapan. Dalam adegan itu juga hadir tokoh raja dengan karakter lokal yang kuat kendati tidak menggunakan disiplin tari yang tinggi. Adegan ini menceriterakan bahwa Angreni dianggap sebagai pengghalang perkawinan Inu Kerapati dengan Galuh Candra Kirana maka Angreni harus dihilangkan dari muka bumi. Maka sang raja memerintahkan Brajanata unuk membunuh Angreni.
Adegan berikutnya merupakan adegan lawak yang menampilkan lelucon-lelucon yang mengocak perut penonton. Adegan lawak ini dirasakan cukup panjang, menyampaikan satiran-satiran tentang situasi aktual. Pelawak yang merias total wajahnya tampil dengan dialog yang terstruktur demikian pula lawakan yang dilontarkan. Adegan dilanjutkan dengan Dewi Angreni menunggu kedatangan Inukertapati. Adegan ini menggambarkan percintaan Inukertapati dengan Dewi Angreni, yang diakhiri dengan kepergian Panji untuk berburu. Kepergian Panji disusul datangnya Brajanata untuk membunuh Angreni. Angreni berhasil membuka kedok Brajanata. Angreni rela mati untuk pernikahan agung Inukertapati. Kematian Angreni memukul jiwa Inukertapati.
Desain rias dan busana dalam sajian ini mendekatkan orentasi estetika lokal yang mengacu pada pola yang digunakan dalam pementasan tradisi lokalnya. Beberapa merias fantasi mendekati bentuk topeng, ini memiliki kesan seperti rias wayang orang, sudah barang tentu kesan absurd topeng tidak tampil dalam sajian ini. Karakter Panji diadaptasi dengan model rias yang demikian membutuhkan penghayatan ekstra bagi para penari maupun pemain. Nampaknya sang sutradara berusaha meringankan beban para pemainnya dalam teknik pemakaian topeng dalam sajian ini. Peluang ini dapat menjadi tawaran alernatif tumbuhnya proses kreatif para pemain.
Diksi yang dipilih dalam pertunjukan ini dapat dikembangkan lagi sehingga menemukan fokus suasana yang ingin dibangun melalui dialog. Dialog-dialog yang disajikan mengomunikasikan inti tema dengan baik dan dapat ditangkap dengan baik oleh penonton. Terutama pada bagian lawakan, pemeran lawak memiliki ketrampilan yang cukup, mampu berimprovisasi sehingga suasana menjadi hidup dan komunikatif. (R. Djoko Prakosa)