Jadi Tantangan: Ditindas Dibalas Menindas
TRAWAS: Kalau kita diperlakukan intoleran oleh orang lain maka yang menjadi tantangan adalah apakah kita juga akan bersikap intoleran terhadap orang lain? Apakah kalau kita pernah ditindas juga akan membalas menindas? Aan Anshori mengatakan, bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjadi indikator apakah kita tergolong orang yang toleran ataukah intoleran.
Ketika orang pernah ditindas, kata Aan, kemungkinannya ada dua: Balas menindas, meskipun tidak kepada pelakunya. Atau, memaafkan penindas dan membiarkan hanya sampai dirinyalah yang jadi korban penindasan
Aan yang menjadi pegiat Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) menyampaikan hal itu pada acara “Lokakarya Toleransi Untuk Pelajar dan Pemuda” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan di hotel Arayana Trawas, Mojokerto, Selasa siang (26/07/22). Acara ini merupakan bagian dari program “Cinta Budaya Cinta Tanah Air Tahap Dua” yang berlangsung hingga tahun 2023.
Narasumber lain yang tampil sebelumnya adalah Nadia Bafaqih, Pakar Gender Provinsi Jawa Timur, dengan materi “Pengalaman Membangun Kesetaraan Gender dalam Keberagaman.” Selain itu juga tampil sebagai narasumber adalah Dr. Mustain dari Bakesbangpol, Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas), Badrus Zaman, dan seniman Heri “Lentho” Prasetyo.
Menurut Aan Anshori, toleransi adalah kesediaan menerima seluruh pengalaman hidup dan tradisi seseorang yang berbeda identitas dengan kita. Toleransi adalah juga memperlakukan orang beragama/beretnis/bersuku/beridentitas lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Ada sejumlah contoh intoleransi yang terjadi selama ini. Misalnya: Rumah ibadah ditolak; Enggan mengucapkan selamat hari raya agama tertentu; Memaksakan seragam sekolah agama tertentu; Beribadah secara berisik; Menolak menerima/memberi kebaikan pada pemeluk agama/etnis tertentu; Hanya mau berteman dengan seagama/seetnis. Dan masih banyak lagi.
Aan yang juga menjadi pengajar “Pancasila dan Religion” Universitas Ciputra Surabaya itu mengatakan bahwa sikap intoleran disebabkan karena kita tidak pernah menjadi korban intoleransi. Jika pun pernah, kita kadang gagal mengambil hikmah darinya. Selain itu, kita tidak mengenal satu dengan yang lain. Jarang berinteraksi. Kita hanya hidup homogen. Kita merasa diri kita yang paling benar. Paling unggul. Menganggap orang lain lebih rendah. Dan sebagainya.
“Karena itu semakin sering kita nongkrong dengan orang yang berbeda maka akan kita akan semakin bersikap toleran,” ujar Aan.
Ditambahkan, “Jangan mengaku Islam sejati kalau teman kita orang Islam semua. Jangan mengaku nasionalis kalau teman kita hanya berasal dari satu suku yang sama.”
Intoleransi muncul karena kita tidak saling mengenal. Karena itu lantas Aan Anshori memaparkan pengalamannya bagaimana menyemaikan bibit toleransi di antara SD Kristen Petra dan MI Islamiyah di Jombang. Betapa mereka yang semula canggung satu sama lain menjadi akrab dan saling memahami perbedaan satu sama lain. Ini bukan soal yang mudah karena baru bisa dilakukan setelah pendekatan selama satu tahun penuh.
Salah satu peserta, Cindy Debora yang pernah menjadi pemenang pertama Duta Toleransi tingkat SMA Sidoarjo berpendapat, bahwa toleransi bukan sekadar saling menghormati tetapi sikap tetap menghormati orang lain meskipun orang lain berbeda dan bersikap intoleran terhadap kita.
Sementara itu, Nadia Bafaqih menekankan pentingnya pelajar dan pemuda terlibat aktif untuk mewarnai hubungan relasi-relasi keagamaan dan sosial yang ada dalam masyarakat, yang bertujuan untuk mengupayakan memutus ketimpangan dan ketidaksejajaran gender yang masih ditemui dengan berbagai bentuk dan cara. Bahwasanya sangat penting bagi pelajar dan pemuda untuk membumikan nilai-nilai kesetaraan gender dengan strategi penuh damai tanpa diskriminasi.
Acara “Lokakarya Toleransi untuk Pelajar dan Pemuda” ini dilaksanakan hingga Rabu (27/07) dan langsung dilanjutkan dengan “Pelatihan Kampanye Toleransi Melalui Media Sosial” hingga Kamis siang (28/07).
Kedua acara tersebut diikuti oleh 60 peserta yang terdiri dari 30 pelajar (dari SMAN 1 Gedangan, MA Nurul Huda Sedati, SMN 1 Gedangan, SON 1 Waru dan SPN 1 Taman), dan 5 orang guru pendamping. Juga 20 peserta dari Organisasi Kepemudaan, yaitu Puwalan, Gema FKUB, GKJW, Pemuda Hindu, Orang Muda Katolik, Pemuda Buddha, Guk Yuk Sidoarjo, Forwas (Forum Wartawan Sidoarjo), Pramuka, IPPNU, IPNU, dan GP Ansor. Serta perwakilan dari Disporapar, Bakesbangpol, Dispursip, Cabang Dinas Pendidikan Jatim-Sidoarjo, dan Disdikbud Kabupaten Sidoarjo. (*)