Kampanye Toleransi Perlu Gaya Milenial

Kampanye Toleransi Perlu Gaya Milenial

SIDOARJO: Gerakan kampanye meningkatkan toleransi melalui seni budaya di sekolah sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan anak milenial. Diperlukan media kreatif untuk menyampaikannya. Disamping itu, yang namanya budaya juga jangan hanya sebatas kesenian belaka. Bagaimana berdisiplin, cinta lingkungan hidup dan kebersihan, itu juga bagian dari budaya.

Itulah sebagian isu yang mencuat dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan secara daring (online) oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetaN, Selasa (21/7). Acara ini sekaligus merupakan agenda pertama dari program selama satu tahun yang bernama “Cinta Budaya, Cinta Tanah Air” yang dilakukan untuk 5 SMP dan 5 SMA di 5 kecamatan di wilayah Sidoarjo.

Berlangsung sejak pagi hingga lepas tengah hari, FGD ini diawali oleh sambutan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo, Drs. Ec. Asrofi, MM, MH, dan diikuti oleh MGMP Seni Budaya, PAI dan PPKN, Kepala Sekolah SMP dan SMA (MKKS), Pakar Pendidikan, Dewan Pendidikan Kabupaten Sidoarjo dan Provinsi Jatim, Pegiat Literasi, Akademisi Kebudayaan, Kampung Sinau, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Majalah Pena, PWI, GKJW, PERGUNU, Pemerhati Gender, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), UNUSIDA, UMAHA, Lembaga Pendidikan Ma’arif, Gusdurian dan para pemangku kepentingan lainnya.

Prof. Gempur Santoso, Managing Director Yayasan Aspirasi Pendidikan dan Sosial Indonesia (APENSO), menyatakan perlunya dikembangkan sikap tepo sliro, jujur, menyenangkan dan keindahan.  “Tepo – tepak – artinya baik. Sliro – kamu. Jadi bagaimana kita berbuat yang baik, tidak menyinggung atau menyakiti hati orang lain. Dengan demikian hidup tidak kaku, tidak keras, bahkan tidak ada kekerasan, jadilah tidak rusak. Di masyarakat, ‘teposliro’ yang normal, atau shaleh secara pribadi dan sosial,” ujar guru besar Universitas PGRI Adibuana (Unipa) Surabaya itu.

Hal ini sejalan dengan isu yang disodorkan Ibu Adi Setyowati, dari Unit Kajian Kebudayaan Jatim FIB Unair, tentang perlunya mengembangkan empati, membuka ruang publik, menjalin kerjasama berdasarkan kepercayaan. Pengajar FIB itu juga menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya membaca yang rendah, kalah dengan budaya menonton.

Budaya dialog, juga harus didorong terus, bagaimana mengekspresikan nilai-nilai positif. Dan bicara soal budaya, jangan hanya bicara masa lalu. “Kenalkan juga budaya lokal milik Sidoarjo sendiri,” tambah Zamroni dari UMAHA Sidoarjo.

Betapa isu toleransi menjadi sangat krusial ketika  Priyanto Widodo dari Dewan Pendidikan Kabupaten Sidoarjo memaparkan adanya kasus bullying (perundungan) yang terjadi di sekolah negeri terhadap siswa yang berbeda agama. Kasus yang berlangsung selama tiga tahun ini baru terungkap ketika siswa yang bersangkutan lulus.  

Beragam isu lain yang muncul dalam FGD ini adalah RUU PKS yang sangat lamban dibahas di DPR, padahal kasus kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi. “Karena itu kami mengusulkan agar ada silabus, RPP dan Jurnal yang ramah terhadap anak-anak dan perempuan,” ujar Nadia Bafaqih dari pemerhati gender.

Mewakili Kampung Sinau, Ida Nurmala memaparkan apa yang dilakukannya untuk membiasakan anak-anak menerima keberagaman sejak dini di luar lingkungan sekolah. Pengunjung yang datang dari beragam agama, bahkan ada yang mengaku tidak beragama. Semangat toleransi ini perlu dimasukkan ke sekolah melalui kurikulum toleransi.

Disampaikan oleh Idham dari FKUB, bagaimana membangun integrasi sosial melalui pendidikan. “Kontrol terhadap guru agama di sekolah sangat penting, jangan hanya menonjolkan keislaman,’ tambah Ulfaul Husna dari MGMP PAI.

Ditambahkan Priyanto, selama ini perhatian masyarakat masih terfokus kepada pendidikan formal. Padahal ada pendidikan nonformal dan informal yang tidak kalah pentingnya. Bagaimana perkembangan dunia maya misalnya, itu sudah sangat sulit dikontrol. Padahal di situlah anak-anak lebih banyak melakukan interaksi sosial. Karena itu, pendidikan harus dipadukan dengan kebudayaan. Pendidikan harusnya tumbuh subur di ladang kebudayaan.

Acara FGD ini dibagi dalam tiga sesi, yaitu sesi bersama, lantas peserta dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok Kebijakan dan kelompok Kebudayaan. Kemudian sesi ketiga bergabung lagi menjadi satu forum bersama.

Zaenal Arifin mewakili Dewan Pendidikan Provinsi Jatim lantas menutup acara dengan mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam kesan bahwa yang namanya Islam itu mesti jelek. Kita musti waspada terhadap bujuk rayu pembimbing agama yang mengajarkan hal-hal yang menyimpang. (h)

In category:
Related Post
no-img
Guru Penggerak Juga Menggerakkan Toleransi di Sekolah

SIDOARJO: Para Guru Penggerak memiliki tugas utama sebagai inisiator pembel...

no-img
Perwakilan USAID Kunjungi SMPN 1 Taman, Sidoarjo

SIDOARJO: SMPN 1 Taman Sidoarjo mendapat kehormatan menerima kunjungan perw...

no-img
Siswa Jadi Agen Perubahan Wujudkan Toleransi di Sekolah

MOJOKERTO: Para siswa dapat menjadi agen toleransi dan perubahan untuk mewu...

no-img
Ekosistem Toleransi Berlaku untuk Semua Warga Sekolah

SIDOARJO: Mewujudkan Sekolah Toleransi tidak hanya sebatas ucapan dan admin...

no-img
Tiga SMPN Sidoarjo Jadi Percontohan Sekolah Toleransi

PASURUAN:  Program Sekolah Toleransi yang dilaksanakan oleh Komunitas Seni...

no-img
Kasus Intoleransi Meningkat, Insan Pendidikan Harus Rapatkan Barisan

PASURUAN:  Kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan drastis. D...