GERAK PANJI, MEMOPULERKAN KEMBALI PUSAKA BUDAYA

GERAK PANJI, MEMOPULERKAN KEMBALI PUSAKA BUDAYA

01 (640x427)
Oleh Henri Nurcahyo

ABSTRAK
Cerita Panji adalah sebuah pusaka budaya yang populer pada masa Majapahit, menyebar ke berbagai daerah dan negara-negara Asia Tenggara. Cerita Panji bukan sekadar kisah romantika Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji tetapi memiliki banyak aspek menarik yang dapat dikaji dari berbagai sisi. Banyak dongeng yang mengisahkan Cerita Panji, demikian pula seni pertunjukan tradisi, seni rupa tradisi, bahkan Cerita Panji diabadikan dalam relief di belasan candi yang ada di Jawa Timur serta ratusan naskah Panji yang tersebar di berbagai negara. Tetapi pada kondisi belakangan ini, pusaka budaya yang diklaim berasal dari Jawa Timur itu hampir tidak dikenali di tanah kelahirannya sendiri. Kondisi ini berdampak pada semakin memudarnya berbagai seni pertunjukan yang mengambil bahan baku Cerita Panji, khususnya di Jawa Timur. Berangkat dari latar belakang itulah maka sejumlah pelaku budaya menggagas sebuah tekad untuk memopulerkan kembali Cerita Panji, yang kemudian dikenal dengan nama aktivitas “Gerak Panji” untuk memunculkan kesadaran bagaimana menyelamatkan, merawat dan mengembangkan Cerita Panji sebagai pusaka bangsa yang sangat berharga dalam berbagai bentuk aktivitas, penyebaran gagasan dan produk budaya berupa karya-karya seni.

Kata Kunci: Cerita Panji, Pusaka Budaya, Seni Tradisi, Gerak Panji, Karya Seni

GERAK PANJI, MEMOPULERKAN KEMBALI PUSAKA BUDAYA

Oleh Henri Nurcahyo

PENGANTAR

Dalam pemahaman secara mainstream, Cerita Panji dapat dikisah-singkatkan sebagai sastra lisan yang berkisar mengenai percintaan Raden Panji Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji Kudawanengpati), putera mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartadji (Galuh Candrakirana), puteri kerajaan Panjalu atau Kadiri. Namun jalinan kasih sepasang sejoli ini tidak berjalan mulus, banyak romantika berupa petualangan dan penyamaran hingga Cerita Panji kemudian melahirkan banyak versi dan varian berupa dongeng dan kisah-kisah lainnya. Meski pada akhirnya mereka berhasil menjadi sepasang suami isteri yang memerintah Kerajaan Kadiri, namun berbagai persoalan seakan tak pernah henti menimpa mereka sehingga justru semakin banyak melahirkan cerita-cerita baru lagi.

Tetapi cerita yang seperti tersebut di atas hanyalah salah satu versi saja, masih banyak versi lain dalam Cerita Panji. Bahkan, dalam pemahaman yang lebih luas, Cerita Panji tidak hanya berurusan dengan Raden Panji dan Candrakirana, atau hanya berkisar mengenai kerajaan Janggala dan Panjalu. Cerita Sri Tanjung misalnya, dapat disebut sebagai cerita yang memiliki spirit Cerita Panji. Yaitu, kisah kasih yang terhalang, tentang kesetiaan seorang perempuan kepada pasangannya, dan perjuangan sang lelaki yang tak kenal takut menghadapi bahaya demi menunaikan sebuah tugas negara. Itu sebabnya, ketika Patih Sidopeksa akhirnya mengetahui isterinya tidak bersalah, dia kemudian memangku jenasah isterinya dalam posisi sangat mirip dengan Raden Panji Asmarabangun berkisah kasih dengan Candrakirana. Cerita Sri Tanjung ini antara lain terpahatkan dalam relief di Candi Surowono, Kediri.

Arkeolog M. Dwi Cahyono berpendapat, bahwa yang dimaksud Cerita Panji adalah berbagai kisah dalam beragam ekspresi dengan tokoh sentral Panji. Disebut Cerita Panji karena memiliki pola-pola tertentu, yaitu (1) tokohnya kekesatriaan, (2) memiliki pola integrasi-distegrasi-reintegrasi atau ketemu-pisah-ketemu lagi dan mengalami siklus berulang. (3) Ada kesan bermusuhan tetapi bersatu, seperti Romeo Yuliet, ada upaya penyatuan. (4) Ada balada yang segenerasi tapi bisa lintas generasi.

Tetapi Dwi Cahyono juga menyebut adanya khasanah cerita lainnya yang dalam sejumlah hal memiliki indikator serupa dengan cerita Panji, meski tidak ditokoh-sentrali oleh Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji serta tidak berlatarkan sejarah Jenggala-Pangjalu. Indikator yang serupa dengan cerita-cerita Panji itu antara lain : (a) pola alur penceritaan (integrasi-disintegrasi-reintegrasi), (b) melibatkan tokoh peran dari kalangan ksatria bergelar ‘Panji’ – sebagai tokoh peran utama, (c) bermuatan kisah asmara dramatik, yang melibatkan tokoh peran pria dan wanita yang saling kasih, (d) berlatar sejarah Masa Hindu-Buddha atau masa sesudahnya, (e) berwilayah geografis Jawa – khususnya Jawa Timur, dan terkadang pula menjangkau wilayah luar Jawa bahkan luar Nusantara. Terhadap kisah-kisah Panji demikian, Pigeaud (1967-1970,I:29) mengatagorikan sebagai “Cerita Panji Minor (Minor Panji Romance)’.[ Dwi Cahyono: “Khasanah Panji Minor di Penjuru Jawa Timur. Sumber Keasi bagi Seni Budaya Panji”. Makalah Revitalisasi Seni Tradisi Berbasis Budaya Panji. UPT Laboratorium Pelatihan dan Pengembangan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 2016]

Cerita Panji berkembang pesat bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Majapahit menjadi kerajaan klasik terbesar dan terakhir di nusantara. Majapahit sebagai kerajaan besar yang berkuasa di kepulauan tentunya dihormati oleh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Pada masa itulah Kisah atau Cerita Panji secara berangsur-angsur menyebar berbarengan dengan keharuman nama Majapahit di Asia Tenggara. Penduduk wilayah Asia Tenggara dan semenanjung tentu rela mengadopsi Kisah Panji sebagai salah satu khasanah sastra mereka. Jadi Kisah Panji sebenarnya adalah simbol kejayaan Majapahit itu sendiri, simbol pencapaian peradaban kedaton-kedaton di Jawa bagian timur dalam era Majapahit berkuasa.[ Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti. “Makna Kisah Panji”. Makalah Seminar Cerita Panji sebagai Warisan Dunia. Perpustakaan Nasional, 28-29 Oktober 2014.]

Meski “hanya” berupa kisah percintaan dua anak manusia, seorang arkeolog asal Jerman, Lydia Kieven, ketika meneliti sosok yang mengenakan topi (tekes) di relief 20 candi di Jawa Timur, menemukan ada 7 (tujuh) candi yang dipastikan terkait dengan Cerita Panji dan 5 candi lain diduga terkait Cerita Panji.[ Lydia Kieven meneliti hal ini sebagai bahan kajian disertasi doktoralnya di Sydney University dengan judul: “Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs”] Sementara Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti mendeskripsikan ada 10 (sepuluh) bangunan kepurbakalaan dari era Majapahit yang mengandung relief Cerita Panji.[ Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti. “Makna Kisah Panji”. Makalah Seminar Cerita Panji sebagai Warisan Dunia. Perpustakaan Nasional, 28-29 Oktober 2014.] Fakta yang menarik ini melahirkan pertanyaannya, apakah ada sesuatu yang luar biasa sehingga sampai sebegitu banyak bangunan kepurbakalaan yang mengabadikan Cerita Panji? Lebih-lebih, semua artefak itu ternyata dibangun pada masa Majapahit.

Ada banyak keistimewaan Cerita Panji sebagaimana sudah dikaji oleh banyak ilmuwan. Bahkan Cerita Panji yang merupakan cerita asli Indonesia yang bersumber dari kerajaan Kadiri dan Jenggala ini ternyata menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, menyeberang ke Sumatra, Kalimantan, bahkan hingga ke negara-negara Malaysia (semenanjung Melayu), Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Cerita Panji adalah pusaka budaya yang sangat berharga, pernah menjadi kebanggaan zaman Kerajaan Majapahit, dan sudah seharusnya dikenali dan menjadi kebanggaan kembali oleh masyarakat Jawa Timur pada masa kini.

Pusaka budaya (Cultural Heritage) adalah bagian dari pusaka (heritage) yang terdiri dari pusaka berwujud (tangible heritage) sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Unesco yaitu: Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Candi Prambanan, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Lorentz, Hutan Hujan Tropis Sumatera, dan Subak di Bali. Sedangkan pusaka tidak berwujud (intangible heritage) dari Indonesia yang juga diakui oleh Unesco adalah Wayang, Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, dan 3 genre Tarian Bali yang terdiri dari tari sakral (wali), tari semi-sakral (bebali), dan 3 tari hiburan (balhi balihan).

Cerita Panji, dalam hal naskahnya, saat ini sedang diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan Unesco sebagai Memory of the World (MoW) sebagaimana yang sudah pernah didapatkan oleh Indonesia atas Arsip VOC (bersama negara India, Afrika Selatan dan Sri Lanka), I La Galigo, Babad Diponegoro, Negarakrtagama, dan Arsip Konperensi Asia Afrika Bandung 1955, oleh Indonesia (Arsip Nasional RI) bersama India, Pakistan, Srilanka dan Myanmar. Lantaran Naskah Panji memang terdapat tidak hanya di Indonesia, maka pengajuan ke Unesco juga melibatkan beberapa negara lain.

MEMBANGKITKAN KEMBALI CERITA PANJI

Pada masa sekarang ini, kebanyakan masyarakat umum mengenal Cerita Panji dalam bentuk dongeng, seperti Andhe-ande Lumut, Keong Mas, Panji Laras, Enthit dan banyak lagi. Bahkan mereka yang mengaku sudah akrab dengan dongeng-dongeng tersebut tidak menyadari bahwa apa yang sudah dikenalnya sejak masih anak-anak itu tergolong Cerita Panji. Selain itu Cerita Panji juga menjadi bahan baku cerita dalam seni pertunjukan tradisional seperti Wayang Topeng, Wayang Beber, Wayang Krucil, Jaranan, Kethek Ogleng, dan sebagainya. Sementara segolongan kecil lainnya mengetahui Cerita Panji pada naskah-naskah kuno yang ternyata jumlahnya mencapai ratusan dan menyebar di berbagai negara.

Pusaka budaya yang diklaim berasal dari Jawa Timur itu malah hampir tidak banyak dikenali di tanah kelahirannya sendiri. Atau setidaknya bukan menjadi sesuatu yang populer. Cerita Panji justru masih terpelihara dengan baik di Bali (yang disebut Malat) dan lebih terkenal di Semenanjung Melayu dengan sebutan Hikayat atau juga di Thailand dengan nama Kisah Inou dan Bossaba. Kondisi ini berdampak pada semakin memudarnya berbagai seni pertunjukan yang mengambil bahan baku Cerita Panji, khususnya di Jawa Timur.

Sejumlah seni (pertunjukan) tradisional yang berbahan baku Cerita Panji masih sanggup bertahan dengan adanya upacara adat berupa bersih desa, ritual bulan Suro, saat ada nadzar atau acara ritual lainnya. Dengan kata lain, keberadaan upacara adat itu dapat disebut sebagai benteng terakhir kebertahanan seni pertunjukan tradisional. Seni tradisi nampaknya lebih banyak bertahan dalam fungsi sakral. Sementara seni tradisi dalam perannya sebagai sarana hiburan atau fungsi profan nyaris tidak mendapat tempat atau malah semakin hilang sama sekali. Meski tidak semua, sudah semakin sedikit orang punya hajat atau ada perayaan tertentu yang mendatangkan seni pertunjukan tradisi, khususnya yang berbasis Cerita Panji.

Sampai dengan tahun 2004, khususnya di Jawa Timur, keberadaan Cerita Panji masih sebatas menjadi pengetahuan para akademisi yang menjadikannya sebagai objek penelitian, kajian ilmiah untuk meraih jenjang akademis yang lebih tinggi. Meskipun, bisa saja ada sejumlah akivitas terkait Cerita Panji seperti mengangkat dalam sebuah lakon pertunjukan, kajian diskusi atau semacamnya. Keberadaan Cerita Panji timbul tenggelam seiring dengan perjalanan waktu. Belum terdengar ada sebuah tekad untuk memopulerkan kembali Cerita Panji sebagaimana kejayaannya pada masa Majapahit.
Maka pada tanggal 12 Agustus 2004, ada sebuah pertemuan kecil di Pusat Kerjasama Budaya dan Bahasa Prancis (CCCL) Surabaya yang diprakarsai oleh Soeprapto Suryodarmo (Padepokan Lemah Putih Solo), Lydia Kieven (arkeolog dan pakar Panji dari Jerman) serta Suryo Wardoyo Prawiroatmojo (Ashoka Fellow dan pegiat lingkungan dan budaya, Trawas, Mojokerto). Menurut catatan daftar hadir, termasuk ketiga pemrakarsa itu tercatat ada 19 nama yang mengikuti pertemuan ini, antara lain: Sholeh Adipramono (padepokan Mangundarmo Malang), Henricus Supriyanto (budayawan, Malang), Miroto dan Djarot (Solo), Sinarto (Taman Budaya Jatim), Widodo Basuki (Majalah Jayabaya), Abdul Lathif (Kompas), Himawan Cahya (Sekolah Ciputra), Michael Tendean (Sekolah YPPI Surabaya), Diane Butler (Dharma Nature Centre, Bali), Mamik Santoso (Ubaya Trawas), dan beberapa nama lagi, termasuk dari CCCL sendiri.

Tujuan dan harapan pertemuan waktu itu antara lain: (a). Membicarakan rencana penyelenggaraan suatu program Panji yang komprehensif, menurut tataran seni budaya, sosiologi, sejarah sampai penanaman kebangsaan pada generasi muda. (b). Membicarakan kemungkinan adanya suatu “Panji Centre” yang menggalang poros seni budaya Panji: Bali – Jawa Timur – Jawa Tengah dan DIY serta jaringan di negeri berbudaya Panji, seperti Thailand, Cambodia dan Champa (Vietnam Selatan).

Dalam pertemuan tersebut lantas mengemuka beberapa pernyataan penting:
Pertama, bagi generasi muda yang mulai tidak/kurang mengenali lagi budaya lokal dari leluhurnya, sebagai prioritas penting harus dicobakan menerapkan beberapa cara, antara lain: memperkenalkan kembali seni budaya lokal yang masih hidup, misalnya kunjungan ke padepokan dan sanggar budaya, mendalami budaya dan ritual pertanian serta kehidupan lainnya, seperti tumpengan, ruwatan dan sebagainya. Juga memperkenalkan musik pentatonis, perpaduan pentatonis dan diatonis. Untuk kalangan sekolah, bagaimana memperkenalkan dan menggunakan nama-nama serta istilah-istilah dalam budaya Panji, misalnya nama Taman Anggraeni untuk kebun sekolah.

Kedua, dengan mewariskan dan menerapkan budaya leluhur ini diharapkan manusia serta daerahnya diharapkan lebih “santun” karena tidak terkontaminasi tata cara yang kasar, serta teguh mempertahankan nilai jati diri.
Ketiga, perlu dikembangkan lebih lanjut akar pada budaya pertanian. Bagaimana model pertanian di Tumpang yang sudah mengembangkan pertanian “Jawa” Perlu mengembalikan budaya pertanian ini, misalnya dengan Beras Panji, Lombok jenis Panji, juga Panji sebagai simbol panen palawija, yang sebetulnya telah dikenal luas pada budaya pertanian rakyat. Karena itu perlu dikembangkan lebih lanjut konsep sosial-budaya desa, dengan membawa konsep-konsep pertanian, tata desa, tata ruang dan sebagainya.

Keempat, perlu dikembangkan suatu sistem “Taman Budaya Desa/Rural” dengan gagasan konsep holistik: kesenian, adat istiadat, kebiasaan hidup, peralatan-perlengkapan hidup yang mencerminkan sejarah perkembangan peradaban masyarakat secara luas, sebagaimana masyarakat Indonesia 80 persen pedesaan. Contoh peradaban dan budaya rural yang bertahan misalnya seperti di Jogja di lereng Merapi dan Merbabu, lereng Gunung Lawu dan masyarakat Tengger. Jika dapat diperluas lebih lanjut tentu akan mendapat simpati dan dukungan luas.

Kelima, pengembangan dan khususnya penamaan-peristilahan budaya Panji jangan menggunakan nama Majapahit karena untuk beberapa kalangan di luar Jawa hal ini membawa citra penjajah dan militeristik yang mengganggu dan sangat merugikan. Lebih-lebih karena rencana lanjutan budaya Panji ini sekali-sekali tidak mengekspose politik dan kekuasaan, namun mengungkapkan masalah nilai manusia yang berguna. Budaya Panji sendiri jauh lebih tua daripada Majapahit walaupun berkembang lebih luas pada zaman itu.

Keenam, perlu adanya tahapan dalam pengembangan Budaya Panji ini. Yang pertama kali dilakukan adalah eksplorasi lebih lanjut, menentukan bentuk kegiatan lebih lanjut, apakah festival, pasamuan atau kolaborasi dengan berbagai aspeknya, yaitu meliputi seni rupa, kriya, gerak dan bunyi, bentuk ukiran (disebut motif Panji Sosi) sampai kepada seni bangunan dan tata ruang wilayah.

Ketujuh, pada tahun 2005, tepat 60 tahun Indonesia merdeka adalah momen yang tepat untuk penyelenggaraan suatu acara besar skala internasional berpusat pada Budaya Panji, membahas berbagai segi lewat workshop, seminar, pelatihan, kajian ilmiah, diskusi serta pertunjukan dan demo misalnya membahas sulukan dan janturan Panji Majapahitan, ritual desa, nilai sakral topeng, ruwayan dan sebagainya.

Catatan notulensi Pertemuan Seni Panji yang ditulis oleh Suryo W. Prawiroatmojo itu akhirnya merumuskan beberapa Rencana Tindak Lanjut (RTL) yaitu:
1.Menyelenggarakan suatu “Pasamuan Budaya Panji Mancanagari” dengan berbagai kegiatan: workshop, seminar, pelatihan, pertunjukan tentang berbagai bentuk budaya Panji; seni gerak, bunyi, kriya, lukis, motif, performance art, sastra, arsitektur bangunan dan pertanian.

2.Pasamuan direncanakan diselenggarakan September 2005 di lokasi Jawa Timur dengan peserta semua wilayah yang berbudaya Panji; Siam (Thailand), Khmer – Kambodia, Champa (Vietnam), Panji Melayu serta wilayah-wilayah di Jawa, Bali dan Lombok.

3.Mengembangkan sarana-sarana Balai Budaya Desa dengan Budaya Panji sebagai dasarnya, dikembangkan pada berbagai aspek seperti tersebut di atas, menjadi suatu Taman Budaya Desa.

4.Melanjutkan pengembangan nilai Budaya Panji melalui pendidikan.

5.Melanjutkan serta mengembangkan cara-cara pertanian sehat dan alami dari cara pertanian Budaya Panji.
Namun sayang sekali gagasan besar itu tidak (belum sempat) terlaksana, dan baru pada tahun 2007 dapat diwujudkan sebagian berupa seminar internasional di Universitas Merdeka Malang. Pada saat yang bersamaan juga dilakukan aktivitas kesenian berbasis Panji di Padepokan Mangundarmo, Tumpang, Malang dengan prakarsa M. Soleh Adipramono dan juga di Trawas oleh Suryo W. Prawiroatmojo.

Satu tahun kemudian, tahun 2008, diselenggarakan “Pasamuan Budaya Panji Internasional” di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, Trawas dan Candi Patirtan Jalatunda, Mojokerto. Peserta dari beberapa kota di Jatim, seperti Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Malang, juga dari Jawa Tengah yaitu Solo, Yogya, Magelang, juga dari Jawa Barat yaiu Sukabumi dan Cirebon, bahkan ada peserta yang berasal dari Jepang, Inggris dan lain-lain. Pada saat inilah Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai salah satu penyelenggara mencanangkan program Konservasi Budaya Panji. Bahkan juga mencanangkan Cerita Panji sebagai ikon budaya provinsi Jawa Timur. Tetapi lantaran saat itu Cerita Panji memang belum populer maka pencanangan ikon budaya itu hilang dihembus angin.

Namun setidaknya Dewan Kesenian Jawa Timur terus menggelindingkan program konservasi Budaya Panji ini dengan cara menggelar Festival Panji di Candi Penataran dan sekaligus Perpustakaan Bung Karno Blitar tahun 2009. Satu tahun kemudian diulang kembali di Candi Penataran dengan fokus seni rupa, dimana saat itu dikerahkan para siswa sejak SD hingga SMA untuk melukis relief Candi Penataran, khususnya relief terkait Panji. Sejumlah pelukis dari beberapa kota juga diundang untuk melukis Candi Penataran agar mereka menjadikannya sumber inspirasi. Sehari sebelumnya dilaksanakan Sarasehan Panji di Museum Penataran dengan pemateri Lydia Kieven. Pada tahun yang sama, 2010, agenda tahunan “Malang Tempo Doeloe” yang digelar di sepanjang Jalan Ijen kota Malang secara khusus mengambil tema “Budaya Panji”. Dalam kaitan ini pula diselenggarakan pula seminar internasional Cerita Panji.

Sejak saat itu berbagai aktivitas terus menggelinding di berbagai tempat. Hasil melukis di Candi Penataran tadi kemudian dipamerkan di Jombang tahun 2011 sebagai bagian dari kampanye memopulerkan Cerita Panji. Seminar dan aktivitas mengenai Budaya Panji digelar di Surabaya, Malang, Mojokerto, Solo, Yogyakarta, Jakarta dan berbagai forum-forum diskusi kecil di Pasuruan, Kediri, Jombang, Candi Sukuh Karanganyar dan juga di Borobudur yang diikuti berbagai kalangan dari mancanegara. Bahkan, Festival Panji Internasional kemudian digelar di Thailand awal tahun 2013. Disusul Festival Topeng Internasional di Solo tahun 2014 yang sebagian besar menampilkan juga Cerita Panji.

PEMETAAN GERAK PANJI

Dari sekian banyak aktivitas terkait Budaya Panji itu dapat dipetakan katagorinya sebagai berikut:
1.Dalam bentuk PERGELARAN seni pertunjukan melalui festival atau semacamnya, selain yang sudah disebutkan di atas, dilangsungkan Festival Panji Internasional di Thailand (Maret 2013), dan Festival Topeng Internasional di Solo (2014). Yang berlangsung rutin dan sudah akan memasuki tahun keempat (2013, 2014, 2015 dan akan 2016) adalah Festival Panji di Blitar yang melibatkan peserta siswa SD, SMP, SMA dan kalangan sanggar seni. Disamping juga beberapa acara yang tidak terkait langsung dengan Panji seperti Karnaval Topeng dan semacamnya (Malang dan Kediri).. Festival Panji Nusantara di bantaran Kali Brantas Kediri (2015). Dan tahun 2016 Kabupaten Kediri mencanangkan tema “Panji Pulang Kampung” dalam memperingati Hari Jadi Kabupaten Kediri ke 1222. Yang menarik di even ini, ada Lomba Melukis Wayang Beber Bertema Panji oleh kalangan pelajar. Hal ini sebetulnya dapat dijadikan event tahunan sebagaimana di Blitar dalam hal seni pertunjukan.

2.SEMINAR atau kajian ilmiah dilakukan di Unmer Malang (2007), Pasamuan Budaya Panji di Trawas (2008), Seminar Internasional di Malang (2010), seminar di Blitar dalam kaitan Festival Panji Nusantara (2011), di Museum Paduraksa Borobudur, ISI Yogyakarta (2014), Perpusnas Jakarta (2014), Balai Soedjatmoko Solo (2014), program Perpusnas di Surabaya (2016) dan banyak sekali diskusi-diskusi kecil di berbagai kota (Malang, Kediri, Sidoarjo, Tulungagung, Blitar, Jombang, Bandung dll). Dalam seminar di Perpusnas (2014) itulah sempat dicetuskan untuk mendaftarkan Cerita Panji Anggraeni ke Unesco sebagai Memory of the World, namun dalam perkembangannya yang didaftarkan adalah semua koleksi Cerita Panji. Pada tanggal 29 Juni 2016 Perpustakaan Nasional bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan Seminar Nasional Panji di Surabaya, yang kemudian menjadi pintu masuk keterlibatan pemerintah pusat dalam program Gerak Panji di Jawa Timur. Dalam Festival Panji Nasional di Kediri (2017) juga diselenggarakan Seminar Sastra Panji oleh Disbudpar Provinsi Jatim, disusul kalangan seniman dan Omah Panji menyelenggarakan Sarasehan Budaya Panji di kompleks kantor Walikota Kediri. Tidak lama kemudian, menumpang acara ASEAN Literary Festival di Jakarta untuk memperingati 50 Tahun ASEAN digelar Seminar Budaya Panji.

3.LITERASI. Penerbitan buku pertama kali terkait Budaya Panji dilakukan Dewan Kesenian Jawa Timur (2009) dengan judul “Konservasi Budaya Panji” (editor Henri Nurcahyo) yang merangkum beberapa makalah dari acara sebelumnya dan prosiding diskusi terbatas di CCCL serta catatan perjalanan Lydia Kieven. Tahun 2014 adalah Tahun Penerbitan Buku Panji yang diterbitkan oleh Depdikbud sebagai prosiding seminar di ISI Yogyakarta (Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara); Buku prosiding seminar Panji di Perpusnas (Cerita Panji sebagai Warisan Dunia); Buku kumpulan artikel berjudul “Topeng Panji. Mengajak Kepada yang Tersembunyi” oleh Balai Soedjatmoko Solo; buku “Menelusuri Figur Bertopi……” yaitu gubahan disertasi Lydia Kieven dan akhirnya “Memahami Budaya Panji” diterbitkan oleh Pusat Konservasi Budaya Panji (ditulis Henri Nurcahyo) yang sudah mengalami cetak ulang ketiga kalinya. Buku yang disebut terakhir inilah satu-satunya buku utuh (bukan antologi makalah) yang memberikan pemahaman dasar bagi kalangan masyarakat umum agar dapat mengenal Budaya Panji. Sayang sekali buku kumpulan makalah seminar internasional di Malang (2010) berjudul Panji Pahlawan Nusantara masih belum berhasil diterbitkan.

Sementara dalam bentuk novel ditulis oleh Damar Shasangka berjudul “Rara Anggraeni” (2016) dan R. Toto Sugiharto dengan judul “Panji Asmarabangun” (2015) yang merupakan gabungan beberapa Cerita Panji. Sebelumnya, Ayip Rosidi pernah menulis novel “Candra Kirana” (2008). Dan jauh sebelumnya lagi Balai Pustaka pernah menerbitkan Panji Sekar (1933), Panji Raras (1933), Panji Dhadhap (1932), semua dalam bahasa dan huruf Jawa, tembang, yang kemudian diterjemahkan dan terbit ulang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Juga pernah ada Serat Panji (Mbedhah Panji Nagari) oleh Soenarko H. Poespito (1979). Dan masih ada sejumlah buku lain yang sayangnya tidak beredar umum dan sulit ditemukan lagi sekarang. Diantara buku-buku tersebut, yang paling populer dan dijadikan rujukan banyak pihak adalah Ceritera Pandji dalam Perbandingan oleh Poerbatjaraka yang berbahasa Belanda dan diterjemahkan bahasa Indonesia tahun 1968 oleh Penerbit Gunung Agung.

Masih ada hubungannya dengan literasi, Dewan Kesenian Jawa Timur pernah menyelenggarakan Lomba Cerpen Berbasis Cerita Panji, dan sudah ada pemenangnya. Sayang sekali janji akan menerbitkan hasil-hasilnya belum terlaksana hingga sekarang ini. Salah satu cuplikan cerpennya dimasukkan dalam buku “Memahami Budaya Panji”.

4.MONUMEN Panji justru dilakukan oleh kota Solo semasa Jokowi menjadi Walikota dalam bentuk memajang dekorasi eksterior Topeng-topeng Panji di Pasar Windu, depan stadion Manahan, bahkan di tepi sungai ada Taman Sekartadji berupa deretan topeng-topeng Panji dan relief serta ruang publik. Bersyukurlah Pemerintah Kota Kediri kemudian menghadiahkan sebuah bangunan yang kemudian diberi nama OMAH PANJI (2016) di kawasan wisata Gua Selomangleng yang dikelola sebagai pusat pengembangan industri kreatif. Sebelumnya di kota Kediri juga ada yang namanya TAMAN SEKARTAJI yang sayangnya hanya sekadar nama belaka, sangat berbeda dengan yang ada di Solo. Beruntunglah akhirnya Pemkot Kediri mendirikan Patung Panji di Jalan Dhoho, jalan utama kota Kediri. Sementara MUSEUM PANJI di Tumpang, Malang, secara swadaya didirikan oleh Dwi Cahyono, pemilik Restoran Inggil dan Museum Malang Tempo Doeloe (September 2016).

5.EKONOMI KREATIF: Narsen Afatara yang pernah membuat KOMIK PANJI dan juga film animasi Panji yang merupakan proyek Depdikbud dengan judul Jaka Kembang Kuning yang merupakan visualisasi Wayang Beber Pacitan. Sebelumnya, RA. Kosasih juga pernah menulis komik beberapa seri bertema Panji Semirang dan sudah dicetak ulang.
Kemudian Nurryna Nisa Irtidyanti, mahasiswi jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) mahasiswa ITS Surabaya membuat tugas akhir film animasi Panji Kuda Semirang. Juga membuat website http://budayapanji.com, membuat digital story dan puluhan item bertema Cerita Panji, mempublikasikan Cerita Panji dalam aplikasi android, serta berbagai merchandize Cerita Panji (cangkir, poster, tas, pembatas ruang, hiasan dinding, kaos, kap lampu, notes mini, gantungan kunci, wayang beber mini dan midi, kalender meja, boneka kayu, wayang karton dan sebagainya).
Sanggar Wayang Topeng Asmarabangun sudah membuat cenderamata Panji dalam bentuk topeng untuk hiasan dinding dan topeng super mini untuk gantungan kunci, kemudian menyusu Kaos Panji. Sedangkan sebuah toko online tokoyogya.net juga menawarkan topeng Panji yang dihias dengan kain batik. Bahkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung Malang pernah melakukan studi excursi untuk membuat alternatif berbagai souvenir berbasis topeng Malang.
Kemendikbud juga pernah membiayai pembuatan film animasi “Panji Semirang” dengan pendekatan anak muda (2015). Tetapi Malaysia sudah pernah membuat film layar lebar berjudul PANJI SEMERANG tahun 1961.

6.KAJIAN AKADEMIS, memang sudah banyak kajian akademis terkait Cerita Panji dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi tetapi hanya Universitas Ciputra Surabaya yang menjadikan Budaya Panji dalam konteks pariwisata sebagai mata kuliah tersendiri selama satu semester sejak tahun 2013. Sementara Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya sebagai satu-satunya perguruan tinggi kesenian di Jawa Timur dan berada di bawah pengelolaan Pemprov Jatim belum memiliki perhatian yang serius terhadap Budaya Panji yang terintegrasi secara akademis. Meskipun dalam banyak pergelaran yang dilakukan atas nama STKW banyak mengambil tema Panji namun hanya berupa pergelaran sporadis belaka.

7.JELAJAH BUDAYA.
(a) Yayasan Pring Woeloeng menyelenggarakan jelajah budaya yang diberi nama “Napas Panji”, dipromotori Yanni Krishnayanni (2015) menjelajah relief candi di Penataran, Gambar Wetan, Mirigambar, Situs Gambyok dan Candi Surowono, dengan narasumber Lydia Kieven.
(b) Pada tahun 2016 Pemkab Kediri dalam kaitan HUT Kediri 1222 juga menyelenggarakan Jelajah Budaya di beberapa candi berelief Panji di Kediri dengan narasumber arkeolog M. Dwi Cahyono.
(c) Mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya juga menjelajah candi-candi berelief Panji sejak Candi Kendalisodo di lereng Penanggungan hingga di Blitar, Tulungagung dan Kediri sebagai tugas akhir mata kuliah Budaya Panji (2015).
(d) Kalangan pemerhati sejarah Mojokerto menelusuri puluhan candi di lereng Penanggungan (2016).
Acara ini sebetulnya dapat dikemas menjadi Wisata Budaya yang edukatif sebagaimana sudah dilakukan oleh Universitas Surabaya (Ubaya) yang menjual wisata petualangan menjelajah candi-candi di lereng Penanggungan.

8. JARINGAN KERJA (NETWORKING)
a. Tahun 2010 diselenggarakan pertemuan antar pelaku Budaya Panji di LSM Kaliandra, Kab. Pasuruan bersamaan dengan kunjungan tahunan Lydia Kieven. Ada upaya untuk membentuk semacam “sekretariat bersama” antar pelaku Budaya Panji dan Kaliandra sebagai pusatnya. Dan itu ternyata memang tidak mudah mewujudkannya, apalagi menjalankan programnya.

b. Setahun kemudian, tahun 2011 pernah dicanangkan Tahun Panji Nusantara. Ini hasil keputusan pertemuan di kantor Lembaga Pendididikan Seni Nusantara (LPSN) Jakarta yang diprakarsai oleh Endo Suanda. Program ini berupa merajut berbagai program berbasis Panji di berbagai daerah, bahkan sampai di negara-negara tetangga. Sayang gagasan besar ini tidak terlaksana sesuai rencana.

c. Tahun 2014, lagi-lagi Lydia Kieven memprakarsai pertemuan para pelaku Panji di Trawas, dilaksanakan selama dua hari, yang kemudian menghasilkan Forum Komunikasi Pelaku Budaya Panji, kemudian lahir website ppanji.org, dan menggagas museum virtual Panji dan menjadikan Yayasan Inggil sebagai pusat sekretariat bersama. Sementara itu Henri Nurcahyo sudah memiliki website budayapanji.com, kemudian lahir grup FB “Sahabat Panji dan Sekartaji” dan juga grup “Pecinta Panji”. Masing-masing berjalan seiring dan saling melengkapi.

d. Lantaran masih belum efektif juga, tahun 2015 diadakan pertemuan lagi di Padepokan Mangundarmo, Tumpang, Malang, bersamaan dengan kedatangan Lydia Kieven dari Jerman. Sayang sekali pertemuan ini juga belum menemukan pola yang tepat sebagai program lanjutannya. Henri Nurcahyo kemudian meluncurkan grup Whatts App “Budaya Panji” sebagai salah satu sarana komunikasi.

e. Sampai kemudian, Prof. Wardiman Djojonegoro menghubungi beberapa pelaku Panji di Jawa Timur, yaitu Jamran (Kediri), Wima Brahmantya (Blitar) dan Henri Nurcahyo (Sidoarjo), yang menginginkan ada kesamaan langkah para pelaku Budaya Panji di Jawa Timur sebelum bertemu dengan Gubernur atau Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pertemuan digelar di Resto Inggil, Malang (26/5/2016), dihadiri pelaku Budaya Panji dari Surabaya, Sidoarjo, Malang, Blitar dan Kediri. Hasilnya, menyusun agenda bersama sepanjang tahun 2016, namun masing-masing acara tetap mandiri (terlampir). Dari pertemuan inilah lahir sebutan Gerak Panji.

f. Tanggal 15 Juni 2016, atas prakarsa Wardiman Djojonegoro, dilakukan audensi dengan Dirjen Kebudayaan di Jakarta, diikuti Henri Nurcahyo, Dwi Cahyono Inggil, Wardiman, Lydia Kieven, Ibu Yusma (staf Dirjen), Abduh Azis (sekjen Koalisi Seni Indonesia, staf khusus Dirjen), Heri Akhmadi (BPPI). Dijanjikan, tahun 2018 akan diadakan Festival Internasional Panji.

g. Dalam kaitan peringatan Hari Perdamaian Dunia di Surabaya (23/9/17) diselenggarakan diskusi mengenai “Budaya Panji dan Perdamaian” yang sekaligus juga menandari pelincuran komunitas yang diberi nama FORUM PEDULI BUDAYA PANJI.

CATATAN PENUTUP
Merujuk pada format wujud kebudayaan, yaitu: 1. Gagasan; 2. Aktivitas dan 3. Hasil Budaya, maka gagasan yang dikobarkan selama ini adalah melakukan revitalisasi dan revival budaya berlandaskan Panji untuk membangkitkan semangat dan jiwa serta jatidiri kepribadian Jawa, demi menghadapi tantangan globalisasi yang dapat mengeliminasi dan memarginalisasi budaya adiluhung. Disamping itu juga perlunya dimunculkan kesadaran bagaimana menyelamatkan, merawat dan mengembangkan Cerita Panji sebagai pusaka bangsa yang sangat berharga.

Gagasan itu kemudian berhasil diwujudkan dalam berbagai kegiatan (bentuk kedua dari kebudayaan) yaitu seminar, sarasehan, pergelaran seni tradisi, lomba fragmen seni pertunjukan dan sebagainya. Sedangkan yang berupa hasil kebudayaan (bentuk ketiga) antara lain mewujud dengan dalam bentuk penerbitan buku, lahirnya karya-karya sastra dan seni rupa berbasis Panji, pembuatan film dokumenter dan film animasi, produksi Batik Panji, lahirnya Museum Panji di Malang, galeri seni kreatif Omah Panji di Kediri, dan juga lahirnya Televisi Panji.

Kesemuanya ini berdampak positif terhadap popularitas Cerita Panji yang mulai dikenal dan sering menjadi bahan perbincangan. Bukan hanya di Jawa Timur melainkan juga menjadi isu penting di sejumlah forum seminar dan festival. Berbagai seni tradisi berbasis Panji seperti Wayang Beber, Wayang Krucil, Wayang Topeng, mendapatkan imbasnya berupa peningkatan frekuensi pergelaran. Demikian pula berbagai dampak positif lainnya, seperti pariwisata berbasis Cerita Panji dan gerakan ekonomi kreatif berbasis Panji.

Mengingat Cerita Panji telah eksis sejak ratusan tahun yang lalu, menyebar ke wilayah yang sangat luas, memiliki kandungan makna yang luar biasa, maka sekarang sedang diproses untuk mengajukan naskah-naskah Panji ke Unesco untuk mendapatkan pengakuan sebagai Ingatan Dunia atau Memory of the World (MoW).

Beberapa catatan penting dari perjalanan Gerak Panji selama ini adalah sebagai berikut:
1.Pemerintah agaknya menjadi variable penting dalam kesuksesan Gerak Panji selama ini. Penyelenggaraan Festival Panji oleh Dewan Kesenian Kabupaten Blitar (DKKB) yang sudah berlangsung rutin setiap tahun sejak 2013, akhirnya berhenti pada tahun ketiga dan tahun 2016 tidak ada lagi Festival Panji. Hal ini karena kebetulan ketua DKKB adalah putera Bupati Blitar yang sedang menjabat. Tetapi begitu sang Bupati turun tahta maka jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) khususnya Dinas Pendidikan yang selama ini memberikan suport menghentikan dukungannya, terutama menyangkut anggaran. Tanpa sengaja ternyata Pemkab Kediri menyelenggarakan acara yang sama, yaitu “Lomba Fragmen Cerita Panji” dalam kaitan acara besar Festival Panji Nasional 2017.

2.Sementara pemerintah Kabupaten Kediri justru sejak tahun 2016 malah mencanangkan “Panji Balik Kampung” sebagai tagline peringatan Hari Jadi Kabupaten Kediri. Pada tahun itu Pemkab Kediri betul-betul bangkit dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait Budaya Panji seperti pameran foto, lomba dongeng, pergelaran, lomba seni lukis Wayang Beber dengan tema Panji, diskusi Panji dan sebagainya. Puncaknya adalah tahun 2017 ketika Pemkab Kediri berkolaborasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur dan mendapatkan dukungan dari Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia dalam acara besar bernama Festival Panji Nasional.

3.Demikian pula Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri yang lebih dari sekali dalam satu tahun menyelenggarakan Festival Panji di kawasan wisata Gua Selomangleng dengan mengundang pengisi acara dari berbagai daerah hingga Bali. Sayangnya dalam acara rutin ini tercium aroma nepotisme sehingga cenderung dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Namun di sisi lain, Pemkot Kediri berbaik hati mengabulkan program seniman untuk mendirikan patung Raden Panji Inu Kertapati persis di ujung jalan dari arah stasiun kereta api menuju Jalan Doho, jalan utama di Kediri.

4.Peran pemerintah di satu sisi memang menjamin ketersediaan anggaran namun pada sisi lain masih kaku ikut juga menentukan konten acara sehingga ada beberapa hal yang menyimpang, misalnya soal kuratorial pengisi acara serta standar artistik sebuah pementasan. Keterlibatan pemerintah sebagai penyedia dana sekaligus sebagai event organiser menimbulkan kerancuan.

5.Sebaliknya, meski memiliki potensi Budaya Panji yang bagus namun karena pemerintahnya tidak mendukung sehingga potensi itu kurang menonjol. Hal ini terjadi di Malang, dimana terdapat dua sanggar kuat yang konsen terhadap Panji, yaitu Padepokan Asmarabangun di Pakisaji dan Padepokan Mangundarmo di Tumpang. Keduanya berjalan sendiri secara swadaya, nyaris tanpa bantuan pemerintah setempat dan seperti menjadi “Museum Hidup”. Tetapi seorang pengusaha yang sangat peduli terhadap budaya Dwi Cahyono Inggil dengan biaya sendiri mendirikan Museum Panji di kawasan Tumpang di atas tanah seluas sekitar 4 hektar.

6.Hal yang sama juga terjadi di Sidoarjo yang selama ini selalu bangga dengan nama Jenggala namun lupa dan tidak mau tahu bahwa tanpa Jenggala tidak akan ada Cerita Panji. Raden Panji Inu Kertapati adalah putera mahkota kerajaan Jenggala yang kemudian diklaim sebagai cikal bakal kabupaten Sidoarjo. Memang sering juga Pemkab Sidoarjo mengirim tim kesenian yang memilih Cerita Panji sebagai temanya, tetapi belum pernah sama sekali Pemkab Sidoarjo mau berbesar hati menjadi tuan rumah dari acara Panji.

7.Dan sekarang, Pemprov Jatim dan Kemendikbud sedang merancang penyelenggaraan Festival Panji Asia yang akan dilangsungkan tahun 2018 mendatang. Hal ini setidaknya dapat menindaklanjuti acara yang sama di Thailand tahun 2013.
Sidoarjo, Oktober 2017

BIODATA:
Henri Nurcahyo lahir di Lamongan, Jawa Timur, 22 Januari 1959, pendidikan formalnya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, namun pendidikan nonformal dan informalnya yang banyak mewarnai perjalanan hidupnya. Sudah aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak tahun 1978, menulis lepas di berbagai media massa dan pernah menjadi wartawan di sejumlah koran dan majalah, kemudian konsentrasi menulis buku hingga menghasilkan 40 judul buku yang sudah diterbitkan. Pernah memenangkan Lomba Karya Tulis sebanyak 10 (sepuluh) kali, dan mendapat Penghargaan Seni Budaya dari Gubernur Jawa Timur sebagai penggerak kesenian bidang penulisan. Aktivitas sebagai pelaku seni budaya dijalani di Lembaga Ekologi Budaya (ELBUD), Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan inisiator Pusat Konservasi Budaya Panji.

Kontak
mobile: 0812 3100 832, email: [email protected]
Blog: henrinurcahyo.wordpress.com, budayapanji.com, brangwetan.wordpress.com

In category:
Related Post
no-img
PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

MALANG: Sebuah kisah Panji yang terbilang langka disajikan oleh Padepokan T...

no-img
CERITA PANJI DARI BANYUWANGI

Cerita Panji yang sering muncul di Banyuwangi dalam pertunjukan seni drama ...

no-img
Topeng Dalang Klaten, Pelakunya Dalang Semua

TOPENG Dalang Klaten adalah seni pertunjukan tradisional yang juga membawak...

no-img
Wangi Indriya dan Toto Amsar Suanda Berbagi Cerita

Cerita Panji juga tumbuh kembang di tanah Sunda, tidak terkecuali di Indram...

no-img
Mengajarkan Gamelan Sebagai Tradisi Lisan

Bagian kedua: Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis Hari ...

no-img
Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis

Kadek dan Christophe tanpa lelah menjadi duta kebudayaan Indonesia di Pranc...