Pergelaran Wayang Beber 18 Dalang Sehari Suntuk
MOJOKERTO: Di halaman dalam SMAN 1 Pacet Mojokerto digelar pertunjukan wayang beber sejak pagi hingga sore hari, Rabu (13/2/19). Memang bukan wayang beber biasa, karena para pelakunya adalah siswa kelas 12 (tingkat akhir) sekolah yang terletak di Jalan Raya Pandan tersebut. Naskahnya berangkat dari novel “Candra Kirana” karya Ajip Rosidi setebal 271 halaman yang dibedah dalam 9 (Sembilan) bagian sesuai dengan jumlah kelas yang masing-masing melukis sendiri dan dibawakannya sendiri secara bergantian.
Semboyannya adalah: Digambar dewe, didalangi dewe, ditabuhi dewe, didelok rame-rame.
Tidak sebagaimana wayang beber konvensional, kali ini posisi dalang duduk di atas sebuah panggung kecil menghadap kelir (layar) atau membelakangi penonton, sambil memegang tongkat untuk menunjuk gambar tokoh yang sedang berbicara. Sementara pergantian jagong (adegan) dilakukan oleh orang lain dari kiri dan kanan layar sambil berdiri.
Adalah Arief Setiawan, guru mata pelajaran Seni Budaya di sekolah itulah yang menggagas acara bagus yang sudah memasuki tahun kedua ini. Tahun lalu malah digelar 33 judul lakon berbagai macam versi, karena masing-masing kelas menggarap 4-6 judul lakon. Mulai dari Joko Kembang Kuning sebagaimana wayang beber Pacitan, dongeng Ande-ande Lumut, cerita Majapahit bahkan juga lakon yang berangkat dari kejadian sehari-hari. Namun kali ini hanya fokus satu lakon yang dibagi menjadi menjadi 9 gulung, masing-masing 4 (empat) jagong, dan dibawakan sekitar 30 menit oleh 2 (dua) dalang sekaligus sehingga memudahkan manakala terjadi dialog. Alhasil, acara yang dimulai pukul 09.00 pagi baru berakhir sekitar pukul 16.00.
“Tahun lalu malah selesai menjelang maghrib, maklum saat itu diselingi hujan deras,” ujar alumnus pendidikan seni rupa Universitas Negeri Malang (UM) lulusan tahun 2003 ini.
Sebagai guru yang berlatarbelakang seni rupa, lelaki kelahiran Banyuwangi tahun 1979 ini menjadikan gelar wayang beber ini sebagai ujian praktek. Meski ada yang memilih dalam bentuk pameran. Dan ternyata ajakannya disambut baik oleh guru mata pelajaran yang lain, yaitu sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, seni musik bahkan juga Bahasa Inggris. Setidaknya sepasang pembawa acara ini sempat bercas-cis-cus dalam Bahasa Inggris ketika membuka acara.
Terobosan ini patut diapresiasi karena berhasil menjadikan pelajaran seni budaya, khususnya kesenian, tidak lagi menjadi pelajaran yang diremehkan. Sudah menjadi rahasia umum manakala menjelang ujian nasional biasanya pelajaran kesenian dianggap tidak penting sehingga jam pelajarannya diganti dengan mata pelajaran yang diujikan.
Melalui pergelaran wayang beber inilah siswa juga belajar sejarah terkait dengan latarbelakang Cerita Panji, juga Bahasa Indonesia dalam menganalisis novel Candrakirana, sementara Bahasa Jawa dalam hal melafalkan dialog dan suluk selama pergelaran. Sedangkan para pemusik dan sinden yang menjadi pengiring, sejatinya mereka juga dinilai sebagai bagian dari ujian praktek seni musik.
Menurut Arief, dalam penggarapan wayang beber ini banyak dibantu oleh Dani Iswardana Wibowo dari Surakarta, pencipta wayang beber kota. Bahkan pihak Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ikut mendukung dalam bentuk mengadakan workshop. Tak pelak hal ini justru membuat siswa SMAN 1 Pacet ini tertarik meneruskan pendidikannya ke ISI Surakarta. Tercatat tahun lalu sudah 10 siswa asal sekolah ini yang sudah menjadi mahasiswa ISI Surakarta belajar tentang fotografi, grafis, keris, batik dan pedalangan. Tahun inipun sejumlah siswa sudah berancang-ancang juga kuliah di ISI Surakarta.
Sebagai pemanis acara, sebelum gelar wayang beber disajikan penampilan tari, ada nyanyian juga di sela-sela pergantian dalang, sementara ketika memasuki babak kedua setelah istirahat siang ada arak-arakan kecil yang menggambarkan suasana zaman kerajaan sambil membawa panji-panji SMAN 1 Pacet Mojokerto. (hnr)