Nama Ludruk Brawijaya Berasal dari Wangsit
MALANG: Genap sepuluh tahun Ludruk Brawijaya berdiri. Penggunaan nama “Brawijaya” itulah yang diyakini membawa berkah berdasarkan wangsit yang didapat dari situs Sumur Upas di Trowulan. “Sebelumnya bernama “Mulya Budaya”, namun selama satu tahun hanya mendapatkan satu tanggapan saja,” jelas Mulyono (50 tahun) pimpinan ludruk yang berpusat di desa Pandan Arum, Pacet, Kabupaten Mojokerto.
Ditemui menjelang pementasannya di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Malang, bapak tiga anak itu menjelaskan panjang lebar asal muasal kelompok ludruk yang dipimpinnya. “Itu semua bermula dari amanah H. Mondro, pimpinan ludruk Bhayangkara,” kisahnya, Sabtu sore (24/3).
Waktu itu, tahun 2006, ada sebuah grup ludruk bernama Bhayangkara dari Surabaya dalam kondisi vakum karena ditinggal lari oleh pengelolanya ketika sedang nobong di Gurah, Kediri. Selama enam bulan tobong tidak terurus, bahkan glodogan gamelan hingga dimangsa rayap.
Sementara itu H. Mondro saat itu sakit-sakitan sehingga kemudian menyerahkan kepada Mulyono sebagai teman baiknya berupa seperangkat gamelan, dekor, panggung ludruk dengan satu pesan agar melanjutkan perjuangan seni ludruk.
Mulyono sendiri memang dikenal sebagai orang ludruk free lance sebagai peran gontok (adegan laga) yang kemudian bergabung di grup Sidik Cs tahun 1987, kemudian pindah ke Ludruk RRI Surabaya dan Ludruk Perdana Pandaan hingga kemudian menjadi peran lepas lagi.
Berangkat dari modal peralatan lengkap itulah Mulyono tahun 2007 mendirikan grup ludruk bernama Mulya Budaya yang ternyata nyaris tidak mendapatkan tanggapan sama sekali. Tak sabar menanti lebih lama, Mulyono kemudian menjalani laku meditasi, memohon petunjuk leluhur di Candi Kedhaton hingga kemudian mendapatkan nama “Brawijaya” untuk kelompok ludruknya. Hingga sekarang pun lambang cakra Majapahit itu selalu melekat dalam satu bagian dengan ludruk, bahkan dilukiskan di pembatas samping (wing) di atas panggung.
Dalam hal keanggotaan, Mulyono mengaku tidak mencari. Namun ibarat ingin mendatangkan burung maka dia memilih memperbaiki sangkarnya. Pengelolaan yang bagus, dekor dan perlengkapan yang menarik dan seringnya tanggapan akhirnya mendatangkan anggotanya sendiri.
Dalam perjalanannya, sejak mengikuti festival tahun 2009, Ludruk Brawijaya sempat meraih penghargaan, antara lain juara ketiga Festival Ludruk di Jombang (2011) dan meraih gelar aktor terbaik dalam Festival Ludruk Jatim di Surabaya (2017). Dalam satu tahun rata-rata tanggapan yang diperolehnya sekitar 45-50 kali pentas di hajatan. Sementara pentas dengan cara nobong pernah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu di Gondang, Mojosari dan Pungging, semuanya di wilayah kabupaten Mojokerto. Namun nampaknya tradisi nobong tidak menguntungkan, terakhir di Kutorejo tahun 2014.
Keberuntungan berpihak pada grup ludruk ini ketika Mulyono bertemu seorang Maecenas tahun 2013 yang terus memberikan saran dan dukungan, terutama finansial, hingga ludruk ini masih terus bertahan.
Soal dekorasi panggung menjadi perhatian tersendiri bagi ludruk Brawijaya. Mulyono yang langsung menentukan desainnya, sesuai dengan setting lokasi yang sering digunakan. Termasuk adanya lambang Cakra Majapahit itu. Mulyono kurang puas kalau hanya pentas di panggung kosongan seperti ring tinju. Bersama dengan perangkat lainnya, peralatan panggung tersebut diangkut dengan truk yang juga sudah menjadi inventaris grup. (hnr)