Agenda

Sendratari Trunojoyo di Taman Candra Wilwatikta

no-img
Sendratari Trunojoyo di Taman Candra Wilwatikta

SURABAYA:  Mahasiswa STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya Sabtu malam ini (21/4) pukul 19.00, menggelar  sendratari kolosal bertajuk “Trunojoyo” di Amphitheatre Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Pasuruan.  Terbuka untuk umum, gratis.

Lakon ini sebetulnya pernah digelar di tempat yang sama  dalam  rangkaian peringatan Dies Natalis STKW ke 37 tahun lalu (13/5/17). Tetapi Abing Santoso selaku sutradara menjanjikan bahwa pergelaran kali ini akan ada yang berbeda dengan sajian sebelumnya. Bagaimanapun sebuah seni pertunjukan tentu tidak sama persis meski dilakukan berulangkali.

“Kelemahan-kelemahan tahun lalu akan kami perbaiki sehingga kali ini akan menjadi lebih bagus,” tegas Abing.

Sebanyak 164 orang tercatat menjadi pendukung, terdiri dari  110 penari,  30 pengrawit dan 24 kru. Mereka  berasal dari mahasiswa jurusan tari, karawitan teater. Bagi para mahasiswa, ini sekaligus ajang uji kemampuan selama mereka menyerap ilmu di kampus. Apalagi, sebagian tidak terlibat dalam pertunjukan tahun lalu.

Jika tahun lalu sebelum pergelaran sendratari diawali dengan tari Topeng Gettak, maka kali ini disuguhkan Tari Glipang yang digarap sebagai tari kolosal.

Pergelaran ini kali ini mengisahkan tiga tokoh  yaitu Pangeran Trunojoyo, Adipati Untung Suropati dan Karaeng Galesong yang bersatu padu melawan penjajahan Belanda.  Ketika Trunojoyo berhasil mengalahkan pasukan Kompeni di Semarang, kemudian bergabung dengan pasukan Kraeng Galesong dari Makassar dan Untung Surapati untuk mengusir Kompeni dari Pasuruan. Hingga akhirnya, Pasuruan yang semula berada dalam cengkeraman Kompeni berhasil direbut kembali berkat kebersatuan tiga tokoh tersebut. Sang Panglima Perang Trunojoyo disambut sorak sorai yang gegap gempita.

Bagaimanapun kemenangan mereka tidak lepas dari peran tokoh lokal, Demang Kapulungan.

Sebuah udarasa pun mengalun dalam suasana itu:

Aku Trunojoyo. Aku lahir di tanah yang gersang dan bergaram. Di sanalah tanah menjadi Ibu. Aku tidak rela jika Ibu mendengar derap langkah sepatu (Belanda). Aku juga tidak rela jika Ibu diinjak-injak oleh bangsa Kompeni. Apapun yang aku lakukan adalah untuk satu kesatuan. Surasudira jayaningrat kang rat swuh brastha teka pingulah darmastuti. (lya)

In category: Agenda
Related Post
no-img
Jangan Sampai Guru Terlambat Tahu Kondisi Siswa

TRAWAS, MOJOKERTO: Para guru wajib mengetahui kemampuan dasar dan kondisi a...

no-img
KUNJUNGAN KASIH SAYANG KE PANTI ASUHAN

Komunitas Seni Budaya BrangWetan akan mengadakan acara Silaturahim ke Panti...

no-img
JELAJAH BUDAYA TIRTAYATRA

 (Wisata Keliling Gunung Penanggungan) PENANGGUNGAN (Pawitra) adalah g...

no-img
WEBINAR PANJI KELANA DI EROPA

SIDOARJO: Komunitas Seni Budaya BrangWetan bekerjasama dengan Asosiasi Trad...

no-img
Panji Pulangjiwa Ludruk Lerok Anyar

MALANG: Lerok Anyar Kabupaten Malang bakal membawakan lakon “Panji Pu...

no-img
Hari Tari Dunia, “Dance of Panji”

Ikut memeriahkan Hari Tari Dunia (World Dance Day) dan menyongsong Festival...