Jangan Umbar Nafsu, Pesan Wayang Thengul
BOJONEGORO: Pergelaran wayang thengul di desa/kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro menyampaikan pesan moral perihal pentingnya mengendalikan nafsu kekuasaan dan nafsu susila. Hal ini disampaikan secara berturut-turut melalui lakon “Bandar Subali” yang dibawakan dalang Trio Bayu Aji (18 tahun) dan Ki Darno Asmoro (54) dengan lakon “Pendeta Ploso Barot Dusta”, Sabtu (12/5) yang berlangsung hingga Minggu dini hari.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro, Taufik Amirullah, menyebutkan bahwa acara ini merupakan pentas seni periodik bulanan yang diselenggarakan oleh secara bergiliran di kecamatan yang berbeda. Kali ini diadakan sekaligus untuk memeriahkan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diisi dengan Jalan Sehat dan pentas kesenian dari siswa sekolah serta paguyuban karawitan ibu-ibu purnawirawan pegawai negeri.
Selama satu jam, Trio yang masih bersekolah kelas 12 SMKN 12 Surabaya itu mengisahkan nafsu kuasa dari Bandar Subali yang melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Untuk mengatasi hal ini maka Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, menggelar sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Bandar Subali akan diberi hadiah setengah kerajaan. Dan ternyata, yang berhasil melakukannya adalah Kebo Marcuet, seorang pertapa berupa manusia berkepala kerbau.
Sedangkan Ki Darno, ayah kandung Trio, memaparkan perihal nafsu susila tak terkendali yang justru dilakukan oleh seorang pemuka agama. Bukan hanya dia yang suka mengumbar nafsu dimana-mana bahkan puteri kandungnya sendiri hamil akibat ulah perbuatan ayahnya, meski tanpa sengaja, katanya. Akibatnya anak haram hasil hubungan inses ini akhirnya berwujud raksasa yang hanya mau minum darah dan makan daging manusia.
Pertunjukan kesenian yang rata-rata berupa tarian itu berlangsung sejak siang, berlanjut malam hari. Penonton membludak memenuhi halaman luas UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Sugihwaras itu. Bahkan ketika pertunjukan berlangsung menjelang tengah malam, masih banyak yang menonton meski mereka kebanyakan hanya duduk lesehan. Namun ketika adegan selingan berupa layanan pesan lagu, ternyata berlangsung terlalu lama, lebih dari dua jam, sehingga tanpa terasa lapangan sudah sepi. Nyaris tidak ada penonton. Hanya beberapa orang panitia, petugas tatasuara, malah kamera video hanya statis dengan petugas yang tidur di bawahnya. Pertunjukan berakhir pukul 03.30 dini hari.
Padahal, pada adegan-adegan setelah selingan itulah banyak dikemukakan dialog-dialog penting oleh dalang perihal ajaran moral mengenai pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Jangankan manusia biasa, tokoh agama yang merupakan representasi moral yang bersih itu saja masih berlaku tidak senonoh dan sulit dimaklumi. Sampai anaknya sendiri dihamili. Dalam pergelaran wayang purwa, saat-saat inilah yang disebut pathet manyura, dimana filosofi kehidupan dipaparkan untuk penonton.
Pegiat budaya Semar Suwito dan Jil Kalaran berkomentar di media sosial, bahwa hal yang sama juga terjadi di Lamongan ketika berlangsung pertunjukan wayang thengul di alun-alun bulan Februari yang lalu. “Mungkin perlu pemadatan pertunjukan, tidak harus berlangsung hingga dini hari,” ujar Semar.
Menurut Suyanto Munyuk, tokoh masyarakat setempat, sepinya penonton ini karena acara diselenggarakan di ruang publik. Sebab ketika digelar dalam acara hajatan dan dilakukan di dekat pemukiman ternyata penonton masih bertahan hingga dini hari, meski memang tidak banyak. Hal ini dibenarkan oleh seniman Arieyoko, dalam kometarnya di media sosial. (hnr)