
Bukan ArtJog, Bukan ArtFair: Ini Artsubs!
Artsubs, pameran senirupa kontemporer itu hadir lagi di Surabaya untuk kedua kalinya. Setelah Oktober tahun lalu diselenggarakan di Post Bloc (Kantor Pos Besar Surabaya), kali ini di kompleks Balai Pemuda. Nirwan Dewanto mengklaim, bahwa Artsubs adalah pameran seni rupa kontemporer paling besar di Indonesia. Bahkan melebihi ArtJog dari sisi luasan areal pamer dan jumlah senimannya. “Jangan bandingkan dengan ArtJakarta yang hanya berupa fair, dan menyewakan booth,” tegas Nirwan didampingi Asmujo Jono Irianto sebagai kurator.
“Artsubs edisi kedua di tahun ini hadir dengan pendekatan yang menggabungkan atmosfer artists fair (bukan art fair) yang dinamis dengan kedalaman konsep ala biennale,” tambahnya.
Tidak ada pembagian tema yang ketat dalam hajatan yang dibuka mulai Sabtu ini (2/8) hingga 7 September 2025. Pameran ini menggabungkan hampir semua area di Balai Pemuda menjadi ruang pamer yang menyatu. Konsepnya dibuat mengalir. Mulai dari pintu masuk Gedung Balai Pemuda di sisi barat yang disekat-sekat secara dinamis, termasuk areal panggungnya, bergeser ke areal plaza yang sudah disulap jadi ruang pameran indoor, mengisi sela-sela sebelah Balai Budaya yang menghubungkan area barat dan timur Balai Pemuda, dan berakhir di area basement yang dikhususkan karya-karya yang menanggapi budaya massa. Sementara di halaman digelar spot-spot pendukung.
Jika tahun lalu memilih tema Ways of Dreaming (berbagai cara bermimpi) kali ini hadir dengan mengusung tema Material Ways (Jalan Ragam Materi) dan menghadirkan 135 seniman. Pilihan tema ini mengedepankan residu sebagai materi karya, dengan makna yang lebih luas dibandingkan limbah. Karena residu cakupan maknanya tidak hanya merujuk pada sampah fisik, namun juga meliputi ekses informasi, jejak digital, hingga kebisingan sosial yang tersisa dari kehidupan modern. Residu bukan hanya sampah plastik atau kaca. Informasi palsu, kebenaran alternatif, dan noise digital juga bagian dari residu zaman.
Melalui tema ini, para seniman menunjukkan bagaimana mereka menggunakan bahan seperti plastik, kaca, kain, limbah industri, video, bahkan kecerdasan buatan (AI) sebagai media untuk bercerita, menyampaikan kritik sosial, dan menanggapi kehidupan modern yang sarat dengan konsumsi dan digitalisasi. Mengajak seniman dan penonton untuk merenungi hubungan manusia dengan dunia material, baik sebagai medium seni, gaya hidup, maupun jejak budaya. Ini bisa dimaknai sebagai eksplorasi terhadap berbagai bahan fisik sekaligus menjadi kritik atas kehidupan modern yang makin digerakkan oleh konsumsi dan teknologi. Di sisi lain, tema ini juga membuka ruang bagi refleksi tentang benda-benda sebagai penanda sejarah, memori, dan identitas kolektif. Dengan demikian, “Material Ways” bukan hanya soal benda, tapi juga tentang bagaimana kita menjalani hidup, membentuk makna, dan menata masa depan melalui material yang kita pilih, warisi, atau pertanyakan.
Dikatakan Asmudjo, seni hari ini bukan hanya soal keindahan, melainkan sudah menjadi cara bagi seniman menghadapi berbagai isu kontemporer, mulai dari krisis lingkungan, budaya populer, hingga ketergantungan pada teknologi. Dalam pameran ini bisa disaksikan berbagai karya eksperimental yang dibuat dari limbah, sampah plastik, hingga instalasi berbasis video dan augmented reality. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana kehidupan manusia saat ini dikelilingi oleh materi, informasi, dan teknologi.
“Artsubs ini tak ubahnya seperti museum seni rupa kontemporer selama 5 minggu,” ujar Asmujo.
Salah satu kekuatan pameran ini adalah kemampuannya menyatukan seni ‘tinggi’ dan budaya ‘populer’. Tidak ada lagi dikotomi antara seni rupa luhur dan handap (populer). Pameran ini bukan hanya visual, tapi juga intelektual. Di tengah banjir produksi dan informasi, karya-karya seni rupa di sini memberi ruang untuk jeda, berpikir, dan mengajukan pertanyaan tentang arah masa depan. Banyak seniman yang mengolah elemen dari budaya massa, media sosial, dan simbol-simbol digital, lalu mengubahnya menjadi karya reflektif. Pendekatan ini membuktikan bahwa seni tidak eksklusif, melainkan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan tema ini dimaksudkan untuk menyajikan kekayaan seni rupa kontemporer Indonesia, tidak lagi sebatas lukisan dan patung, melainkan juga menjelajahi berbagai ruang kehidupan, menjadi semacam “anti-estetika”. Makna dan praktek seni rupa meluas dan mencair, bersaing dengan kebudayaan populer, bukan lagi terkurung oleh lingkaran “borjuis”.
“Kalau toh banyak remaja yang selfie, ya biar saja, itu memang sebuah cara untuk berkomunikasi dengan generasi Z,” ujar Nirwan.
Sebagian kecil nama-nama seniman yang ikut mengisi pameran ini antara lain Nasirun, dengan karya patung kayu Buroq, sebuah lukisan panjang “Semua ingin Duduk di Kursi” dan enam lukisan kecil dengan judul “Membaca Rupa Karya 1-6”. Ada Agus Suwage dengan karya “jus tembakau di atas kertas”, Tara Sosrowardoyo, Galam Zulkifli, Pande Wardina, Ali Aspandi, Wilman Hermana, Apriliana Tri, Ilham Karim, Sumbul Pranov, AC Andre Tanama, Yudi Sulistiyo, Galih Reza Suseno, Naufal Abshar, I Made Widya Diputra, Pupuk D. Purnomo. (Ketika saya melihat persiapan pameran ini Kamis siang, memang masih sedikit yang sudah diberi label, hn).
Dan yang tak boleh dilupakan, hajatan ini terselenggara bukan atas nama dana pemerintah, melainkan tidak lepas dari tangan dingin lelaki bernama Rambat. Sosok ini semula adalah pedagang lukisan alias bakulan. Namun ketika menggandeng Nirwan dan Asmujo menjelma menjadi Maecenas seni yang fanatik dengan menggelar pameran seni rupa kontemporer Artsubs dalam posisi sebagai direktur utama.
Dikatakan Nirwan, “jangan berharap pada pemerintah, berhentilah jadi pengemis, tapi kita harus berani katakan: mau gak pemerintah bekerjasama dengan kita.”
Menurut Rambat, “Artsubs tahun lalu mampu menyedot 37 ribu pengunjung, dengan yang berbayar sebanyak 28 ribu. Padahal dengan durasi pameran selama 5 minggu hanya berani pasang target 10 ribu pengunjung. Transaksi yang terjadi sebanyak 107 karya, mulai yang harga di atas Rp 1 M hingga yang puluhan juta rupiah. Tahun ini ditargetkan menyedot pengunjung sebanyak 50-60 ribu. Karya lukis termahal yang dipamerkan mencapai nilai Rp3 miliar, sementara harga karya lain dimulai dari Rp1 juta.
“Harga tiket Rp 100 ribu untuk umum, pelajar Rp 50 ribu, rombongan sekolah yang membawa surat pengantar dari kepala sekolah gratis,” ujar Rambat. (henri nurcahyo)