Zaman Makin Bebas, Wayang Didera Banyak Masalah
SURABAYA: Pertunjukan wayang kulit konvensional sudah tidak bisa memenuhi tuntutan zaman yang serba cepat dan instan, sementara sifat pertunjukan wayang sendiri yang sudah semakin lentur dan fleksibel untuk diubah dan dieksplorasi. Maka perubahan demi perubahan terjadi tanpa terbendung dan diterima sebagian publik penikmat pertunjukan wayang.
Dalam Sarasehan Seniman Dalang yang berlangsung Kamis malam (31/5) dalang senior Ki Purboasmoro membeber berbagai persoalan yang mendera seni pedalangan. Selain penyampaian makalah yang berjudul “Dalang dan Tantangan di masa depan”, dalam acara yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur ini juga digelar pethilan pertunjukan wayang di pendopo Taman Budaya Jawa Timur oleh Hazel Abi Rama Arrafi dari Tulungagung, pemenang mumpuni Fesival Dalang Bocah belum lama ini. Acara berakhir hingga saat makan sahur.
Menurut dalang kelahiran Pacitan tahun 1961 ini, terkait dengan kemajuan zaman, perubahan dalam seni pedalangan yang terjadi antara lain adalah sajian pakeliran padat pedalangan gaya Surakarta yang ditelorkan oleh ISI Surakarta. Konsep pakeliran padat memberi andil yang sesuai dengan perkembangan zaman yang dapat dipadukan dengan pakeliran semalam dengan segala unsur-unsur estetik seperti Lakon, Sabet, Catur, Iringan.
Perubahan yang juga terjadi adalah, semakin banyaknya bentuk pakeliran yang hingar-bingar, yang menampilkan banyak macam-macam kesenian di atas panggung wayang semalam, seperti masuknya instrumen musik Barat, tari-tarian, pelawak dan bentuk kesenian lainnya.
Kemudian yang menjadi salah satu faktor lain yang menambah permasalahan dunia seni pedalangan adalah tidak tegaknya Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Payung hukum pertunjukan wayang tidak jelas. Peran PEPADI pada era sekarang tidak ditakuti atau tidak dijadikan poros bagi semua dalang karena keadaan sudah sangat berbeda dengan masa orde baru yang kuat satu komando dari pemimpin Negara, sehingga semua tunduk pada aturan. Tetapi pada masa sekarang bentuk pakeliran sudah tidak sama. Sudah banyak bermunculan gaya-gaya pakeliran yang baru yang diciptakan oleh seniman-seniman dalang atau pelaku-pelaku seni itu sendiri.
Dalang yang berdomisili di Surakarta ini juga mengemukakan adanya generation gap yang menyebabkan anak-anak muda tidak menggemari wayang, sementara penonton atau penikmat dan penghayat dahulu sudah lanjut usia dan sebagian sudah meninggal dunia. Banyak faktor yang menjadikan generasi sekarang kurang memahami wayang kulit, diantaranya adalah mereka sudah tidak mengenal bahasa Jawa.
Pada zaman dahulu pertunjukan wayang kulit sering kali mendominasi pada acara-acara bersih desa, atau ritual khusus sedekah bumi yang merupakan wujud rasa terima kasih terhadap Sang Pencipta yang telah memberi bumi yang subur, yang dapat memberi sumber makanan, atau berbagai acara-acara ritual lainnya.
Tetapi seiring perkembangan zaman menyebabkan paradigma masyarakat pedesaan berubah yang dahulu agraris menjadi masyarakat modern dengan segala unsur budaya kehidupan modern. Permasalahan tersebut lantas diperparah dengan faktor munculnya aliran tertentu yang menolak adanya pertunjukan wayang kulit.
Reformasi birokrasi dan tatakelola keuangan di dalam instansi Negara juga ikut andil menjadi faktor perubahan. Intensitas pertunjukan wayang semakin berkurang dengan adanya pengetatan anggaran daerah. Pada masa dahulu sangat mudah didapat namun pada zaman sekarang sangat sulit. Belum lagi kurangnya sosialisasi maupun perhatian dari semua pihak tentang pentingnya seni pertunjukan wayang bagi generasi muda.
Menyikapi berbagai permasalahan tersebut ki Purboasmoro menyerukan hal-hal yang perlu dilakukan oleh dalang sebagai berikut; Kreativitas yang meng-kini; Inovasi yang melihat segmentasi/ melihat kebutuhan; Pembaharuan yang berpijak pada tradisi; Eksplorasi yang masih memegang norma; Garap tontonan yang nyaman; Athikan seimbang dan sesuai porsi pertunjukkan; Bentuk pertunjukan yang tidak Stagnant, dan juga pesan moral yang tergarap.
Pertunjukan wayang yang ideal di masa sekarang dan masa depan, menurut Ki Purbo, harus menguasai konsep, mampu mengaplikasikan, menguasai teknis semua unsur pakeliran, kaya repertoar, dan perangkat pendukung yang memadai. (h)