Pergelaran Wayang: Usaha Kurawa Menghancurkan Pandawa
SURABAYA: Ketika keserakahan merasuki jiwa, sebuah tahta menjadi hal yang harus dipertahankan bagaimana pun caranya. Demi kekuasaan, Kurawa bersiasat dengan memakai segala rumus. Hingga akhirnya cara picik pun dilakukannya dengan bergabung bersama bangsa jin agar dapat memisahkan kekuatan para Pandawa. Sekeras apapun usaha Kurawa memusnahkan Pandawa, Kurawa tidak akan pernah bisa menghancurkan karena para dewa selalu memberikan wahyu dan perlindungan kepada Pandawa.
Begitulah sinopsis dari pergelaran wayang kulit periodik dengan lakon “Wahyu Triloka Eka Bawana” yang disajikan oleh Ki Danang Wikan Carito, dalang muda asal Dawuhan Lor, kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Sabtu (28/7) di pendopo Jayengrono, Taman Budaya Jawa Timur, Gentengkali, Surabaya.
Cerita yang disusun dengan temannya bernama Heru 4 tahun lalu ini pernah dibawakan di Lumajang, Ponorogo, Blitar dan sekitarnya. Pada bagian yang menurutnya monoton, sedikit ia tambahkan inovasi.
Pergelaran ini melibatkan 32 personal, 5 orang sinden dan 27 orang pengrawit. Selain itu dibantu oleh 1 penumping bernama Pak Cipto yang tak lain adalah gurunya dan guru dari almarhum ayahnya (Ki Gatot Triputro) yang mengajari ia mendalang sejak awal berkecimpung di dunia pedalangan tahun 2010.
Danang mengaku awalnya ia merasa asing dengan dunia seni dan tak mengerti mengenai seni pewayangan. Berangkat dari rasa keprihatinan terhadap perlengkapan wayang peninggalan almarhum ayahnya hatinya tergerak untuk mengembangkan potensinya. Sejak lulus dari bangku SMA ia belajar dari almarhum Ki Sugeng di Probolinggo. Tahun 2017 lalu, ia mendapatkan penghargaan sebagai 10 penyaji dalang muda terbaik di Surabaya dan 5 penyaji terbaik dalam Wayang Nusantara di Lumajang.
Alumni mahasiswa STIE Widya Gama Lumajang ini menuturkan, “kali pertama saya memainkan wayang, saya merasakan hal yang berbeda pada diri saya. Setelah itu, saya pun berniat untuk memperdalam seni pewayangan itu. Bagi saya, kalau secara simbolis wayang itu ya berupa kulit dan di situ ada penjiwaan dari seorang dalang, wayang adalah jiwanya dalang juga merupakan simbol kehidupan yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari,” tuturnya.
Meski lulusan sarjana ekonomi dan menjadi seorang dalang hal tersebut tidak begitu merisaukan dirinya sendiri. Menurutnya ia tahu apa yang ia harapkan karena pada dasarnya orang-orang hanya bisa menilai dan menilai.
Dalam menjalani aktivitas pedalangannya, rasa duka pernah dialaminya. Terkadang ia juga mengalami kesulitan untuk mengatur manajemen personal dan mengurus koleksi wayangnya. Bahkan pengalaman pahit tanggapan tak dibayar pun pernah ia rasakan. Dan akhirnya ia harus menanggung rugi atas hal itu. (lya)