Mengajarkan Gamelan Sebagai Tradisi Lisan
Bagian kedua: Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis
Hari Jum’at malam yang lalu (15/12/23) Kadek Puspasari dan Christophe Moure mengudar pengalamannya mengembangkan seni budaya Indonesia di Paris secara daring dalam acara Webinar Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jawa Timur. Acara ini didukung dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube oleh TVPanji, Harian Surya, dan Tribun News Network. Berikut ini laporannya bagian kedua dan yang terakhir.
Sementara Christophe, mengaku tertarik Panji karena sebagai tradisi lisan sehingga terdorong memperkenalkannya di Paris. Sama dengan gamelan, semacam ansamble yang kemudian diperkenalkan secara lisan. Berbeda dengan musik klasik yang harus belajar notasi sekian lama sampai mampu memainkan. Dia tidak menyebutnya orchestra, meski gamelan terdiri dari berbagai alat musik namun tidak bisa dimainkan sendiri, kecuali dalam musik kontemporer. Aspek lisan inilah yang justru menjadi nilai unggul dari kesenian kita yang coba kita kembangkan di Prancis.
Christophe lebih suka mempertahankan mengajarkan gamelan dengan cara-cara tradisi lisan daripada mengikuti alur mengajar musik Barat. Bagaimana memainkan gamelan dengan cara transmisi untuk memperkenalkannya. Perbedaan karakter inilah yang menjadikan seniman musik klasik kelas mahir sekalipun belum tentu dapat memainkan gamelan karena harus mengandalkan memori tanpa partitur. Belajar gamelan di negara asing seperti Prancis ini justru jadi menarik karena berarti belajar budaya baru.
“Tidak banyak orang Indonesia di Prancis. Gamelan di Prancis juga sedikit. Karena itu ketika satu kelas belajar gamelan, rata-rata mereka juga tidak tahu apa itu gamelan. Kami mengenalkan gamelan di Prancis dengan memulainya di universitas,” tutur Christophe.
Belajar gamelan juga berarti belajar kekompakan. Karena dalam pelajaran mereka sehari-hari secara individual. Ketika guru bicara maka hanya anak-anak yang mau mendengar yang akan memahami. Tetapi ada juga mereka yang tidak mau mendengar dan hal ini tidak berdampak pada keberlangsungan pembelajaran. Berbeda dengan belajar gamelan. Ketika ada salah satu yang bermain salah maka otomatis akan berdampak pada yang lainnya. Dia akan menghancurkan keharmonian kelompok. Jadi esensi belajar gamelan adalah meningkatkan kesadaran bahwa bekerja kelompok itu sangat penting.
“Menekuni seni tradisi berarti sekaligus memperkenalkan karakter orang Indonesia, dan kami bangga melakukannya,” ujar Christophe.
Ketika Christophe diajak berkarya dengan tema Panji, dia melihat cerita Panji ada beberapa dimensi. Ada cerita utama, ada cerita turunan seperti Keong Mas, Ande-ande Lumut dan sebagainya. Karena itu dia mencoba eksplorasi dengan gamelan. Seperti gender, saron, rebab, memiliki dimensi realitasnya ketika dimainkan secara benar. Tetapi seperti Panji yang punya realitas yang lain maka dia mencoba menggunakan gender dengan cara yang lain atau digabungkan dengan musik elektronik. Kemudian mencoba bekerjasama dengan seorang komposer dan dia menawarkan akan bermain gender untuk direkam suaranya kemudian dimodifikasi. Tetapi saya maunya lives, tidak mau seperti terkurung oleh musik rekaman. Seperti ketika gamelan dimainkan untuk mengiringi tari atau wayang kulit, ada hubungan antara pengiring dan yang diiringi. Konsep ini tetap saya pertahankan.
Beruntung sejak tahun 2014 ada kesempatan menempatkan gamelan di universitas untuk program workshop selama dua jam seminggu sekali selama satu tahun. Dalam perkembangannya malah hampir tiap hari dengan kelompok lain. Yang menarik, peserta yang ikut itu macam-macam. Selain mahasiswa ada pensiunan, petugas sekuriti, anak-anak yang bermasalah yang tidak bisa ikut di sekolah umum, dan sebagainya. Ini menyenangkan karena situasinya sederajat dan sama-sama belajar sesuatu yang positif untuk pentas gamelan. Ini juga terjadi karena tradisi lisan. Kalau saya pakai cara notasi maka yang ikut hanya mereka yang bisa baca notasi saja. Kalau digabungkan menjadi iringan di gelar wayang kulit misalnya, mereka tidak akan sibuk baca notasi.
Ada yang mengaku belum pernah belajar musik sama sekali. Karena di Prancis itu orang senang membuat kotak-kotak. Misalnya mereka yang belajar musik di konservatori, lantas menganggap mereka yang tidak belajar di konservatori bukan pemusik. Kenyataannya, ternyata mereka yang pinter justru yang tidak belajar di konservatori dan tidak punya latar belakang musik. Mereka malah memiliki daya ingat yang luar biasa.
Program gamelan ini juga dikembangkan di konservatori-konservatori. Mereka punya kurikulum yang sudah basic, seperti musik dan tari klasik, jazz, kontemporer. Tapi tari Indonesia masuk dalam kategori tari dunia itu merupakan undangan khusus selama setahun.
“Sanggar kami merupakan gabungan seniman amatir dan profesional. Ada yang berlatar belakang pemusik klasik, jazz, dan kontemporer. Namun juga banyak masyarakat umum yang tertarik dengan kesenian. Seperti guru fisika, matematika, juga seorang antropolog. Termasuk beberapa orang Indonesia yang mengaku baru belajar gamelan ketika tinggal di Prancis,” tutur Christophe.
Ditambahkan oleh Kadek, ada yang menarik, ketika ada demo Philharmonie yang membawa musik klasik ke tempat-tempat yang tidak memiliki akses seperti biasanya. Kebetulan direkturnya adalah seorang pemain gamelan dan menjadi salah satu pendiri yang membuka kelas gamelan di Philharmonie. Dia justru menggunakan metode pengajaran gamelan untuk para pemusik klasik tanpa notasi.
“Bagi saya ini menarik karena ketika saya mulai tinggal di Prancis, saya tidak bisa bahasa Prancis, mulai nol besar. Tidak kenal orang. Bagaimana saya memulai seni budaya saya di sini. Jadi saya memakai banyak strategi. Saya menemui boss Philharmonie memohon apakah saya dibolehkan datang melakukan observasi untuk melihat semua kelas-kelas kesenian mereka agar saya lebih bisa mengerti dengan anak-anak atau orang profesional, pemusik atau guru lain yang sedang mengajar kesenian untuk masyarakat umum,” kisahnya.
Indonesia Untuk Indonesia
Selama ini karya-karya Kadek dan Christophe tampil di berbagai festival, termasuk di museum paling prestisius untuk musik tradisi di Prancis. Bahkan pernah menggelar Festival Indonesia di Prancis.
“Mimpi saya adalah membuat Festival Panji di Prancis. “Panji perlu dikenalkan sampai ke Eropa, bukan hanya Ramayana dan Mahabarata,” tekadnya.
Hal ini bicarakan dengan sejumlah diaspora yang ada di Paris dan karena keterbatasan maka kemudian mengerucut menjadi satu hari pertunjukan dengan tema Panji yang antara lain menampilkan fragmen Sekartaji gaya Surakarta dengan gamelan Jawa komplit. Juga karya kontemporer Panji, mengundang Eko “Pece” Supriyanto dari Solo yang berkolaborasi dengan Keraton Mangkunegaran dan memberikan dialog tentang Panji sebelum pentas. Waktu itu ingin mengundang Lydia Kieven namun tidak punya nomor kontaknya.
Yang penting, jangan hanya di lingkungan orang Indonesia saja. Hanya Indonesia untuk Indonesia. Padahal budaya Indonesia memiliki nilai-nilai universal yang berlaku untuk masyarakat Prancis atau lainnya. Karena ketika kita mengajak pihak lain bekerjasama maka pertanyaannya adalah, mengapa saya harus ikut mempromosikan budaya Indonesia. Kita harus siap menjawabnya.
Salah satu keterbatasannya adalah banyak orang Prancis yang tidak tahu Indonesia. Ketika kami mengajar tari Indonesia dikira tari Polinesia atau Bollywood. Orang lebih tahu tentang Bali dan Jawa karena lebih spesifik keseniannya. Karena itu kami sering bikin workshop dan semacamnya. Dan yang lebih efektif ketika mengadakan residensi selama satu bulan di sekolah. Publik Prancis juga harus dipersiapkan dulu perihal Panji, termasuk literaturnya, untuk membantu mereka.
Akan lebih baik kalau membuat acara yang lintas disiplin. Tidak hanya seminar saja misalnya, tetapi ada pertunjukan, workshop, dan sebagainya. Begitu pula kalau hanya berupa pertunjukan saja. Jadi bagaimana caranya Panji tidak hanya menjual eksotisme. Di mana yang dibayangkan orang hanya soal romantisme saja.
Kadek cerita, bahwa dia juga mengembangkan Reyog Ponorogo karena tahun lalu ada seniman Ponorogo yang menghibahkan seperangkat lengkap instumen beserta dhadhak meraknya. Kebetulan Kadek sendiri ketika kuliah melakukan KKN di Ponorogo dan mengajar di SMAN 1 untuk bisa tampil di Festival Reyog Nasional dan menjadi juara satu.
Bagi kami, katanya, yang susah adalah menjaga dan mengembangkan itu. Karena dhadhak merak dan topeng-topengnya itu akan kehilangan taksunya kalau tidak dihidupkan. Kami juga dibantu KBRI dan kebetulan juga sudah 8 tahun di universitas sehingga bisa bekerjasama dengan unit kebudayaannya. Di samping itu mendapat bantuan dari Kementerian Kebudayaan Prancis serta kerjasama dengan UNESCO khususnya tiga tahun terakhir dalam program kerjasama pengembangan gamelan, wayang kulit, dan reyog. Kami pingin sekali berikutnya juga ada Panji.
Selama ini KBRI juga support dana untuk beberapa kegiatan. Termasuk kegiatan tentang Panji meski mereka sendiri mengaku tidak banyak tahu Panji. Kebanyakan yang sudah tahu hanya dari kalangan universitas yang pernah studi tentang Jawa atau Indonesia.
Atau, mungkin persoalannya apakah KBRI punya jaringan? Diperlukan kerjasama dengan universitas dan sekolah-sekolah, atau komunitas lokal dan sudah lama menetap di Prancis. Masih ada juga diplomat yang tidak bisa bahasa Prancis. Dalam hal ini Pancha Indra mensupport KBRI untuk membantu mereka membuka jaringan ke sekolah-sekolah. (hnr)