Jelajah Budaya: Waspada, Sidoarjo Simpan Benih Konflik!
Gatot Susanto
Minggu, 06 September 2020 | 11.24 WIB
SIDOARJO (DutaJatim.com) – Kabupaten Sidoarjo ini ibarat menyimpan bara dalam sekam. Di atas permukaan nampaknya aman-aman saja namun sesungguhnya menyimpan benih-benih konflik antar agama atau golongan.
Beberapa peristiwa bom bunuh diri beberapa waktu yang lalu juga melibatkan penduduk dan tinggal di Sidoarjo.
Hal ini disampaikan oleh Dodi Dyauddin, koordinator GUSDURian Sidoarjo 2011-2016, dalam acara “Jelajah Budaya Lintas Agama” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan di Hotel Luminor Sidoarjo Sabtu malam (5/9/2020). Pada kesempatan yang sama juga hadir aktivis perdamaian Alto Labetubun, yang berpengalaman bertahun-tahun di negara-negara konflik di Timur Tengah maupun berbagai daerah di nusantara.
Acara ini sendiri didukung oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia, berlangsung sejak hari Jumat pagi dan berakhir Minggu pagi (6/9/2020) dengan memilih tema: “Merajut Toleransi Antar Umat Beragama Melalui Jalan Budaya.”
Selama itu peserta yang terdiri dari 30 pemuda lintas agama dan penghayat kepercayaan mengunjuni masjid Al Abror, Gereja Katolik Santa Annunciata, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo, Vihara Buddha Dharma Bakti, Klenteng Teng Swie Bio Krian, Pura Margowening di Krembung dan terakhir di sanggar kepercayaan Sapta Darma di Krembung juga. Di masing-masing tempat ibadah tersebut peserta disambut oleh sajian kesenian religi.
Selanjutnya Dodi mengemukakan, salah satu contoh konflik yang pernah terjadi di Sidoarjo adalah pendirian rumah ibadah Gereja Katolik di Krian, dimana lokasi dan puing-puing masih bisa terlihat hingga sekarang. Pembangunan pura di wilayah Prambon juga pernah dipersoalkan meski sekarang sudah jadi. Serta beberapa rumah ibadah yang atas kebutuhan umatnya belum bisa berdiri karena kendala sosial di sekitar lokasi pendirian.
Umat Buddha misalnya, masih belum memiliki vihara, kecuali sebuah rumah pribadi di kawasan Pondok Jati.
Belum lagi banyak macam aliran keagamaan yang hampir semuanya ada di Sidoarjo, termasuk aliran menjadi potensi konflik khususnya dalam agama Islam.
Ada pengungsi Syiah dari Sampang yang bertahun-tahun sampai sekarang masih berada di Jemundo, beserta imigran gelap Afghanistan. Juga ada Ahmadiyah di Gedangan, dan sebagainya.
Paparan tersebut melengkapi Alto Labetubun yang menceritakan pengalamannya dalam penyelesaian konflik di berbagai negara. Menurutnya, tidak ada konflik yang hitam putih, tidak ada perang agama di Timur Tengah, dan selalu ada yang ingin menyelesaikan konflik. Alto mengingatkan agar kaum mayoritas jangan gampang dipecah belah. Bukalah pintu dan jendela eksklusivitas agar tidak memunculkan kecurigaan.
Hari sebelumnya, tampil sebagai pembicara adalah Dr. Rubaidi, M.Ag dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Mashuri, MA, dari Balai Bahasa Jatim serta narasumber tamu Dr. Tjuk K. Sukiadi, aktivis dan ekonom dari Surabaya.
Sebagai komunitas yang bergerak dalam bidang seni budaya, BrangWetan meyakini bahwa seni budaya bukan hanya sebagai sarana rekreasi dan ekspresi artistik belaka melainkan dapat menjadi perekat bagi kerukunan antar-umat yang berbeda beragama.
Karena itu kegiatan ini diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan bangunan-bangunan tempat beribadah sehingga bukan hanya memiliki fungsi sebagai sarana ritual beragama belaka melainkan sebagai tujuan wisata dan aktivitas seni budaya, bahkan bagi pemeluk agama lainnya.
Juga dapat terciptanya pemahaman bahwa seni budaya dapat menjadi sarana perekat jaringan komunitas generasi muda lintas-agama. (gas)
Sumber: https://www.dutajatim.com/2020/09/waspada-sidoarjo-simpan-benih-konflik.html