Malang (Juga) Kota Panji

no-img
Malang (Juga) Kota Panji

Catatan Henri Nurcahyo

 

SELAMA ini orang mengenal Cerita Panji berasal dari Kediri. Bahkan Kota Kediri kemudian mengklaim sebagai “Kota Panji” sedangkan Kabupaten Kediri mengibarkan ikon “Bumi Panji.” Hal ini sah-sah saja dan harus dimaknai secara positif bahwa ternyata pusaka budaya Panji telah dijadikan kebanggaan oleh Kota dan Kabupaten Kediri. Namun satu hal yang dilupakan adalah, bahwa Cerita Panji sesungguhnya berasal dari Kerajaan Kadiri (Ka, dengan huruf A), bukan kota atau kabupaten Kediri saja. Yang namanya Kerajaan Kadiri atau Panjalu pada masa itu antara lain meliputi wilayah Kediri yang sekarang ini, Tulungagung, Blitar, dan juga termasuk kawasan Malang Raya saat ini.

Hanya satu kebetulan belaka bahwa kota dan kabupaten Kediri memiliki nama yang (nyaris) sama dengan nama kerajaan Kadiri. Tetapi bahwa Malang Raya adalah juga bagian dari wilayah kerajaan Kadiri pada tempo doeloe, itu yang harus digarisbawahi. Sekadar mengingatkan, bahwa sebelum kerajaan Singhasari berdiri (1222 – 1292 M), kawasan Malang menjadi bagian dari kerajaan Kadiri. Dengan demikian, kalau sekarang orang menyebut Cerita Panji berasal dari Kediri, sekali lagi, harus ditegaskan bahwa yang dimaksudkan Kediri adalah Kadiri sebagai kerajaan pada masa lampau.

Barangkali klaim itu hanya soal teknis administratif. Karena yang jauh lebih penting adalah bagaimana memperlakukan terhadap khasanah budaya Panji itu sendiri. Sebagaimana dulu Surabaya mengklaim sebagai Kota Ludruk, namun kalau dalam prakteknya ternyata Mojokerto dan Jombang yang lebih intens memelihara ludruk, maka sebutan itu tak ada maknanya apa-apa. Demikian pula dengan sekian banyak slogan-slogan yang dikibarkan oleh berbagai kota, misalnya sebutan Kota Festival, namun kenyataannya tidak ada festival apapun yang diselenggarakan dan menjadi agenda rutin. Pengibaran slogan kota itu semakin melengkapi slogan-slogan beraroma birokratis seperti Berseri, Bersih Hatinya, Beriman, Bersujud, dan banyak lagi.

Bahwasanya sebutan Kota Panji sudah dikibarkan oleh Kota Kediri, ya biar sajalah. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana melakukan Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan terhadap khasanah budaya Panji. Empat hal itulah yang sudah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan kata lain, melestarikan budaya saja itu tidak cukup. Apalah artinya pusaka seni budaya lestari kalau tidak berkembang, tidak bermanfaat dan tidak memberikan nilai tambah bagi para pelakunya. Demikian pula halnya dengan Budaya Panji.

Jadi masyarakatlah yang nantinya akan menilai, kota manakah yang betul-betul melaksanakan 4 (empat) amanat UU Pemajuan Kebudayaan itu, dan kota mana yang hanya menjadikan Panji hanya sebagai slogan belaka. Mengutip bahasa hukum, penetapan slogan adalah sebuah fakta de jure, sedangkan pelaksanaannya adalah de facto. Akan jauh lebih baik kalau pengibaran slogan juga disertai dengan pelaksanaan empat amanat tersebut, sebagaimana yang sudah dilakukan Kota dan Kabupaten Kediri.

Sekadar membuat komparasi, memang di Kabupaten Kediri terdapat situs Gambyok di desa Grogol berupa sebuah panel relief dengan Cerita Panji. Panel relief inilah yang menjadi dasar Poerbatjaraka meyakini bahwa Cerita Panji berkembang pada masa Majapahit. Selain itu juga terdapat relief Panji di candi Tegowangi, Pare, serta juga candi Surowono, yang menyertai relief dongeng Sri Tanjung. Beberapa peninggalan artefak itulah yang menguatkan klaim Kabupaten Kediri sebagai Bumi Panji.

Panel yang diduga merupakan satu rangkaian dengan Situs Gambyok juga terdapat di Museum Airlangga, Kota Kediri, yang terletak di kawasan objek wisata Goa Selomangleng. Goa di lereng Gunung atau Bukit Klothok itu sendiri dipercaya sebagai tempat pertapaan Dewi Kilisuci sebagaimana terdapat dalam khasanah tradisi lisan. Sedangkan di Gunung Klotok konon juga merupakan tempat bertapa Bubuksah dan Gagangaking seperti dikisahkan dalam tradisi lisan yang terkait dengan budaya Panji.

Selain berupa artefak, Kota Kediri juga beruntung memiliki warisan budaya berupa khasanah cerita rakyat Panji. Seperti dongeng Ande-ande Lumut misalnya, merupakan salah satu contoh dongeng Panji yang sangat terkenal. Dan masyarakat Kediri percaya bahwa Sungai Brantas yang membelah Kota Kediri itulah yang dimaksudkan dalam dongeng itu. Bahkan di Kediri juga ada situs yang dipercaya sebagai Makam Mbok Rondo Dadapan, ibu angkat Ande-ande Lumut, yang tak lain merupakan penyamaran Raden Panji Asmarabangun. Makam itu terletak di desa Dadapan kecamatan Pesantren, yang diyakini sebagai tempat tinggal Mbok Rondho Dhadapan. Sementara di kelurahan Bandar ada situs yang dipercaya sebagai makam Kleting Kuning. Tak heran kota Kediri lantas menjadikan dongeng Ande-ande Lumut sebagai landmark-nya.

Sementara wilayah Kabupaten Blitar terdapat candi Penataran yang menyimpan relief dengan tema Panji, tepatnya di dinding candi Teras Pendopo yang terletak di bagian depan kompleks Candi Penataran. Inilah satu-satunya relief Cerita Panji yang paling lengkap dibanding relief Panji yang terdapat di belasan candi lainnya. Sebagaimana dituturkan oleh Suleiman Satyawati (1978) dan Lydia Kieven bahwa kebanyakan relief menggambarkan cerita-cerita Panji. Lydia menghitung ada lima cerita berbeda-beda. Sedangkan dalam bentuk sastra ada banyak varian cerita Panji yang berbeda-beda yang dicerminkan dalam berbagai varian penggambaran visual.

Masih di wilayah kabupaten Blitar, juga terdapat relief Panji di candi Gambar Wetan. Namun hal ini baru diketahui kemudian lantaran candi ini dalam kondisi tertimbun yang secara bertahap diekskavasi. Dengan demikian keberadaan relief Panji di candi ini luput dari kajian Lydia Kieven dalam disertasinya perihal “Figur Bertopi dalam Relief Candi”.

Di Tulungagung ada candi Mirigambar yang memiliki relief Cerita Panji Wasengsari. Ini cerita Panji yang memang kurang populer, dimana antara lain dikisahkan Raden Panji sempat dibunuh dengan cara diikat dengan tali dan ditenggelamkan ke sungai. Namun nasib baik masih berpihak padanya sehingga ada yang menolongnya dan selamat. Di candi yang sama juga terdapat relief Angling Darmo yang diklaim oleh Bojonegoro sebagai khasanah cerita rakyat miliknya.

Lantas, Malang punya apa? Sepertinya sangat sulit menemukan artefak terkait dengan Cerita Panji yang ada di Malang. Kalau toh di Candi Jago ada relief figur bertopi, seperti yang disebutkan oleh Lydia Kieven sebagai ciri khas Panji, namun relief figur bertopi di Candi Jago bukanlah sosok Panji. Di Candi Jago para tokoh ber-tekes yang termasuk rakyat jelata dan penjaga neraka semua digambarkan di bagian barat /depan, sedangkan tokoh bertekes yang berstatus lebih tinggi di bagian selatan, timur atau utara.[2] Dengan kata lain, menurut Lydia, ciri khas sosok Panji adalah figur bertopi namun tidak semua figur bertopi menggambarkan figur Panji.

Budaya Panji yang ada di Malang mewujud dalam Wayang Topeng Malangan. Kesenian tradisional yang menjadi ciri khas Malang inilah yang masih konsisten membawakan cerita-cerita Panji, bahkan mengembangkannya dengan cerita-cerita Panji yang baru hasil karangan sendiri. Dalam sejarahnya keberadaan Wayang Topeng Malangan ini menyebar di seluruh wilayah yang sekarang disebut Malang Raya, bahkan melebar mulai dari lereng gunung Semeru di timur hingga ke arah lereng Gunung Kawi yang akan di arah barat. Namun sekarang keberadaan kesenian rakyat ini nampaknya mengalami kondisi yang mengkhawatirkan dengan meninggalnya sejumlah maestro dan tutupnya sanggar-sanggar. Beruntung masih ada Padepokan Panji Asmarabangun di Pakisaji dan Padepokan Mangundarmo di Tulus Besar, Tumpang. Beberapa sanggar wayang topeng yang masih ada kebanyakan bergerak di akar rumput dan miskin sentuhan publikasi sehingga tidak dikenal publik.

Dalam perkembangannya Wayang Topeng Malangan ini lantas banyak ditampilkan dalam bentuk Tari Topeng yang juga membawakan tema Panji. Memang selama ini Panji seolah-olah identik dengan topeng, meski sebetulnya tidak selalu begitu. Banyak seni pertunjukan bertema Panji namun tanpa mengenakan topeng sama sekali. Hanya saja, antara topeng dan Panji ini memiliki kaitan tersendiri. Topeng adalah sebuah properti untuk melakukan penyamaran. Siapapun bisa menjadi tokoh apapun berdasarkan topeng yang dikenakannya. Dan penyamaran merupakan tema utama dalam banyak versi Cerita Panji. Penyamaran dilakukan bukan saja oleh tokoh utama yaitu Raden Panji dan Dewi Sekartaji, melainkan juga para punakawan dan kerabat-kerabat Panji serta tokoh-tokoh lainnya. Raden Panji adalah putera mahkota, seorang bangsawan, namun dalam banyak cerita digambarkan menyamar sebagai pengamen, petani, rakyat biasa dan sebagainya. Artinya, Cerita Panji mengajarkan kesederajatan, atau tanpa diskriminasi. Pesan filosofisnya adalah, janganlah membeda-bedakan orang hanya berdasarkan penampilannya belaka.  Pepatah Inggris mengatakan, Don’t Judge a Book by its Cover yang maknanya kurang lebih,  jangan menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya semata. Itulah esensi dari Cerita Panji.

Selain Wayang Topeng Malangan, di Malang juga ada kesenian tradisional berupa Wayang Krucil. Menurut sejarawan dan arkelog M. Dwi Cahyono, di Malang sendiri sebelum masa kemerdekaan jumlah wayang krucil cukup banyak, terpusat di kawasan timur, yaitu Tumpang ke selatan atau yang disebut Wayang Krucil Tengger-Semeruan. Jejaknya tersisa di kawasan Turen, desa Gedog Wetan, yang sayangnya sekarang ini hanya ada wayangnya tanpa dalang. Sentra lainnya di wilayah barat yaitu Wayang Krucil Gunung Kawian, yang masih tersisa di Wiloso, desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, sekarang ini.

Wayang krucil Wiloso memiliki makna kelangkaan, karena sekarang menjadi satu-satunya wayang krucil di wilayah Malang Raya (Kabupaten, Kota Malang dan Batu) yang masih bertahan dan tetap aktif dipergelarkan. Beruntung setelah tiarap selama satu generasi pasca tahun 65-an, sekarang sudah hidup lagi, minimal pentas rutin dalam ritual Syawalan. Sementara banyak kesenian rakyat lainnya mati terkubur dalam pergolakan politik negara.

Konsistensi wayang krucil Wiloso mengangkat cerita Panji, menurut M. Dwi Cahyono, dapat menjadi spesifikasi wayang krucil Malangan, disamping musiknya sudah jelas-jelas musik Malangan sehingga dapat menjadi ikon wayang krucil pedalaman dan khususnya wayang krucil etanan atau Brang Wetan. Hal ini sekaligus melengkapi khasanah Wayang Panji yang dimiliki oleh Malang, yaitu Wayang Topeng. Tidak salah untuk menyebut bahwa Malang adalah juga basis Cerita Panji, yang terekspresikan di wayang krucil dan wayang topeng.[3]

Hanya sayangnya, dalam perkembangannya Cerita Panji tidak lagi menjadi lakon utama Wayang Krucil Malangan di Desa Gondowangi, Wagir, karena pergantian dalang yang ternyata juga membawakan lakon-lakon keislaman.

Lantas, apa yang bisa dilakukan sekarang ini? Tanpa harus mengibarkan slogan Kota Panji maka sudah selayaknya Kota Malang melakukan Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan terhadap khasanah budaya Panji yang dimiliki. Keberadaan wayang topeng dan wayang krucil layak dieksplorasi sedemikian rupa sehingga menjadi landmark dan kebanggaan Kota Malang.

Asal tahu saja, bahwa kota Surakarta (Solo) yang selama ini tidak pernah disebut-sebut dalam perbincangan terkait dengan budaya Panji ternyata diam-diam sudah menjadikan Panji sebagai landmark-nya.  Di halaman Pasar Windu Solo terpajang topeng-topeng besar Panji sebagai elemen dekorasi. Topeng-topeng besar Panji juga ditemui di dekat stadion Manahan, dan juga di tepi sungai dekat kawasan Mojosongo. Di situ ada beberapa topeng besar tokoh-tokoh Panji. Di bawahnya ada relief adegan Cerita Panji di Taman Sekartaji. Belum lagi banyak topeng-topeng Panji yang menghias dinding-dinding kota Solo. Ternyata, ini semua ide Jokowi ketika menjabat sebagai Walikota Solo (2005 – 2012). Mengapa Jokowi lebih memilih Panji ketimbang Mahabarata atau Ramayana Bukankah di Prambanan sudah dikenal dengan agenda rutin Sendratari Ramayana? Menyimak kesemuanya ini maka  sebetulnya Solo lebih layak disebut sebagai Kota Panji.

Tidak ada salahnya meniru hal yang baik, meski seharusnya jangan asal meniru, melainkan harus dikreasi dan dimodifikasi. Kalau Solo sudah memajang topeng-topeng besar bertema Panji di beberapa lokasi maka tidak ada salahnya Kota Malang melakukan hal yang sama. Bukan hanya topeng tapi juga wayang krucil. Misalnya memajang topeng besar dan wayang krucil di pintu masuk Kota Malang, di halaman Balai Kota dan DPRD, halaman stasiun kereta api, terminal bus Arjosari, serta sejumlah kantor instansi pemerintahan. Tentu saja dipilih topeng Panji yang biasa dimainkan di Wayang Topeng Malangan dan wayang Krucil Malangan juga. Pastikan juga, ada gerai khusus yang menjual topeng dan wayang krucil sebagai cenderamata kota Malang. Nah soal cenderamata ini, mengapa tidak menjadikan topeng dan wayang krucil sebagai cenderamata? Bisa dikemas khusus sehingga mudah dibawa untuk dipajang di dinding atau dipajang di rak hias.

Selain wayang topeng dan wayang krucil, sebetulnya ada juga cerita Panji Margasmara yang “Malang banget” karena seluruh setting ceritanya mengambil lokasi di Malang. Sejarawan asal Inggris, Nigel Bullogh (yang berganti nama menjadi Hadi Sidomulyo) pernah melakukan napak tilas lokasi-lokasi yang disebutkan dalam cerita Panji Margasmara tersebut. Dan ternyata hampir semuanya masih dapat ditemukan hingga sekarang ini. Karena itu Hadi Sidomulyo berpendapat bahwa cerita Panji Margasmara itu ditulis oleh orang yang betul-betul mengenal kawasan Malang. Atau, duga Hadi, jangan-jangan kisah Panji Margasmara merupakan kisah nyata. Sayang sekali versi Panji Margasmara ini kurang populer dan bahkan tidak (belum) pernah dilakonkan dalam Wayang Topeng atau Wayang Krucil Malangan.

Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Malang dengan menyelenggarakan Festival Panji Nusantara ini sudah merupakan langkah yang layak diapresiasi. Pameran, Pergelaran dan Seminar terkait budaya Panji sudah diselenggarakan tanggal 27 –  28 November 2020 di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Jalan Sukarno Hatta, Kota Malang, dengan tema “Literasi dan Visualisasi Budaya Panji.”  Sebagaimana disampaikan oleh Dra. Zubaidah, MM, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, bahwa acara ini merupakan upaya untuk mengimplementasikan dan mewujudkan visi misi Kemendikbud yaitu memajukan pendidikan dan melestarikan kebudayaan. Dinas Dikbud Kota Malang sendiri tahun 2021 menganggarkan  Festival Panji meskipun tidak harus diselengarakan di Taman Krida Budaya Jatim seperti selama ini.

Hajatan di masa pandemi Covid 19 ini juga mendatangkan pujian dari pihak Kemendikbud. Festival Panji Nusantara 2020 dapat diselenggarakan di kota Malang secara daring (online) dan sekaligus luring (offline), sehingga diharapkan dapat menjadi imun (daya tahan) agar masyarakat tetap sehat di era pandemi ini.  Kota Malang adalah salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang masih menyelenggarakan festival budaya ada era pandemi sekarang ini. (*)

Catatan:

  1. Artikel ini pernah dimuat di buku katalog “Festival Panji Nusantara 2020” di Malang, dengan sedikit revisi.
  2. Henri Nurcahyo. Pendiri Pusat Konservasi Budaya Panji, Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan.

Kontak: 08123100832 – [email protected], www.budayapanji.com, www.brangwetan.id

 

[2] opcit

[3] https://henrinurcahyo.wordpress.com/2015/10/12/wayang-krucil-malangan-bakal-digilas-zaman/

In category:
Related Post
no-img
PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

MALANG: Sebuah kisah Panji yang terbilang langka disajikan oleh Padepokan T...

no-img
CERITA PANJI DARI BANYUWANGI

Cerita Panji yang sering muncul di Banyuwangi dalam pertunjukan seni drama ...

no-img
Topeng Dalang Klaten, Pelakunya Dalang Semua

TOPENG Dalang Klaten adalah seni pertunjukan tradisional yang juga membawak...

no-img
Wangi Indriya dan Toto Amsar Suanda Berbagi Cerita

Cerita Panji juga tumbuh kembang di tanah Sunda, tidak terkecuali di Indram...

no-img
Mengajarkan Gamelan Sebagai Tradisi Lisan

Bagian kedua: Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis Hari ...

no-img
Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis

Kadek dan Christophe tanpa lelah menjadi duta kebudayaan Indonesia di Pranc...