CERITA PANJI RAMAH ANAK

no-img
CERITA PANJI RAMAH ANAK

Pemanfaatan Tradisi Lisan sebagai Materi Pembelajaran pada Generasi Muda

Oleh Henri Nurcahyo

 

PROLOG[1]

Apakah yang disebut Cerita Panji? Secara garis besar Cerita Panji dimaknai sebagai kisah cinta Pangeran Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji yang dijodohkan sejak kecil dengan tujuan untuk mempersatukan kerajaan Janggala dan Kadiri atau Panjalu. Pada mulanya Janggala (Jenggala) dan Panjalu berasal dari satu kerajaan yang sama di bawah kepemimpinan Raja Airlangga (1019-1042 M). Pemisahan dua kerajaan ini terjadi akibat Airlangga kesulitan mewariskan kerajaannya lantaran putri sulungnya menolak meneruskan menerima warisan kerajaan dari ayahnya tapi lebih memilih menjadi Bhiksuni. Nama putri itu adalah Sanggramawijaya Tunggadewi yang dalam cerita lisan sering dikenal dengan nama Dewi Kilisuci.

Akibatnya, hak waris itu jatuh kepada dua putra Airlangga yang sama-sama merasa berhak menjadi pewaris kerajaan.[2] Karena dua putra tersebut tidak mau mengalah maka Airlangga membelah kerajaannya menjadi dua.

Disebutkan dalam Prasasti Pamwatan bahwa menjelang akhir pemerintahannya, Raja Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke Daha (Kediri). Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu. Jadi kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan oleh Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.[3] Kerajaan barat di daerah Panjalu berpusat di ibukota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur di daerah Janggala berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Sejak berdiri tahun 1042 M, Kerajaan Panjalu dan Janggala selalu terlibat perang saudara. Demikian pula ketika kerajaan Kadiri berada di bawah pemerintahan raja Sri Bameswara (1117-1135). Raja berikutnya adalah Jayabaya yang memerintah sekitar tahun 1135–1157 M. Pada masa Jayabaya inilah, tahun 1135 M Kadiri berhasil menaklukkan Janggala. Berdasarkan Prasasti Ngantang kemenangan ini dikenal dengan semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kediri menang.

Sejak itulah Janggala dan Panjalu sudah menyatu menjadi satu kerajaan sebagaimana asal mulanya ketika masih dipimpin oleh Airlangga. Hingga kemudian pada masa pemerintahan Sri Kameswara, raja Kerajaan Panjalu (1182-1194 M) lahirlah kitab Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja.  Kitab ini menceritakan tentang sepasang suami istri, Smara dan Rati, menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati akhirnya terkena kutukan dan mati terbakar oleh api (dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Mereka kemudian dihidupkan kembali dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, putri Janggala.  Kameshwara disebut sebagai Raden Inu (Hino) Kertapati, sedangkan permaisurinya Sri Kirana disebut sebagai Dewi Sekartaji.

Menurut Poerbatjaraka, kisah cinta Kameswara dan Sri Kirana inilah yang kemudian mengilhami lahirnya Cerita Panji. Hanya saja sebagai karya fiksi posisi mereka berkebalikan,  Raden Panji disebutkan sebagai putra mahkota kerajaan Jenggala sedangkan Dewi Sekartaji adalah putri mahkota kerajaan Panjalu atau Kadiri. Namun dari sekian banyak versi Cerita Panji ada juga beberapa versi yang tetap menyebutkan Raden Panji dari Kadiri dan Dewi Sekartaji dari Jenggala.  Cerita Panji lantas menjadi semacam memori kolektif rakyat Kadiri pada masa itu untuk mengenang kebersatuan kerajaan Janggala dan Kadiri semasa berada di bawah kepemimpinan Raja Airlangga.

Tetapi asal mula Cerita Panji ternyata berbeda-beda menurut para ahli. Agus Aris Munandar menyebut asal mula Cerita Panji berasal dari masa Majapahit, di mana cerita-cerita Panji terinspirasi oleh beberapa peristiwa sejarah masa Majapahit. Namun perbedaan pendapat mengenai asal mula Cerita Panji ini tidak dibahas dalam tulisan ini.

Yang jelas Cerita Panji berkembang pesat pada masa Majapahit sebagai cerita lisan, dituliskan dalam naskah, menjadi lakon seni pertunjukan, sebagai motif batik, maupun diabadikan dalam belasan relief di candi-candi. Cerita Panji juga menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, seluruh pulau Sumatra, menyeberang ke Malaysia, Laos, Kamboja, Myanmar, hingga Thailand. Persebaran ini menjadikan cerita Panji dituliskan dalam berbagai aksara dan bahasa, serta mengalami penyesuaian dengan budaya setempat, termasuk yang mewujud dalam berbagai seni pertunjukan di masing-masing daerah atau negara.

Ketersebaran naskah-naskah Cerita Panji di berbagai negara itulah yang kemudian diakui oleh UNESCO sebagai Memory of the World (MoW) yang diajukan secara bersama-sama oleh Indonesia, Malaysia, Kamboja, Belanda dan Inggris. Di perpustakaan negara-negara itulah ratusan naskah Cerita Panji tersimpan dengan rapi.

 

CIRI-CIRI CERITA PANJI

Lantaran berasal dari cerita lisan maka ketika kemudian Cerita Panji berkembang dan menyebar ke berbagai tempat menimbulkan banyak sekali versi.  Jadi Cerita Panji adalah nama sekumpulan cerita yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Ciri utama dari Cerita Panji adalah semangat penyatuan dua belah pihak, yang dalam hal ini disimbolkan dengan penyatuan kerajaan Janggala dan Panjalu, antara Raden Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji. Raden Panji dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, sedangkan Dewi Sekartaji sebagai titisan dari Dewi Sri. Penyatuan Panji dan Sekartaji adalah bentuk penyatuan pria dan wanita yang menghasilkan kesuburan atau keturunan yang kemudian disimbolkan dalam kesuburan padi. Hal ini dapat dimaknai bahwasanya cinta kasih itu dapat mempersatukan. Namun pakar sastra dari Malaysia, Noriah Mohammed mengingatkan, bahwa kita harus dapat menangkap makna yang tersirat dan makna yang tersurat. Gagasan penyatuan dalam Cerita Panji bukan sekadar bersatunya dua belah pihak belaka melainkan juga kebersatuan dengan Sang Maha Pencipta dan makhluknya (Manunggaling Kawula lan Gusti). Karena Cerita Panji selalu berhubungan dengan Dewa-dewa. Apapun yang terjadi selalu dikatakan: “ini semua sudah kehendak Dewa.”
  2. Cerita Panji mengajarkan hakekat cinta kasih dan cinta sejati. Sebagaimana kata Sujiwo Tejo: “Mencintai itu takdir, Menikah itu Nasib.” Dalam serial Panji Angreni, siapakah cinta sejati Raden Panji? Anggraini ataukah Sekartaji? Sekartaji akhirnya menikah dengan Raden Panji karena sudah dijodohkan orangtua mereka. Sedangkan Angreni (Anggraini) adalah cinta pertama Raden Panji. Haruskah Angreni mati sebagai tumbal agar perjodohan dapat dilangsungkan? Sebagaimana halnya Rahwana yang menganggap Dewi Sinta adalah cinta sejatinya yang sudah digariskan oleh semesta. Rahwana sanggup mengubah perilaku jahatnya menjadi lelaki yang sangat baik demi Sinta agar mau menerima cintanya. Sedangkan Rama, dia beristrikan Dewi Sinta lantaran menang sayembara. Sinta adalah hadiah bagi pemenang.
  3. Sesungguhnya Cerita Panji bukan hanya bercerita mengenai kisah percintaan belaka. Filosofi Cerita Panji adalah mengenai “mencari dan menemukan”, seperti kisah tentang rembulan dan matahari yang digambarkan bagaikan sepasang kekasih. Bulan adalah lambang kesetiaan dan ketulusan cinta. Janji bulan untuk tetap setia pada matahari.   Berbagai varian Cerita Panji selalu mengisahkan upaya pencarian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh dengan halang rintang, termasuk harus melakukan penyamaran. Namun usaha keras itu akhirnya tidak sia-sia. Cerita Panji mengajarkan perihal kesetiaan dan usaha keras untuk menjaganya, meski pada saat yang sama kesetiaan itu sendiri memiliki tafsir yang berbeda.
  4. Cerita Panji selalu menggambarkan perjuangan tak kenal menyerah, meski melalui berbagai halangan dan rintangan hingga peperangan. Perjuangan tokoh dalam cerita ini seringkali harus melalui jalan berliku dan sangat panjang sampai dengan kemudian mencapai tujuan. Cerita Panji adalah kisah kepahlawanan dan kekesatriaan.
  5. Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji adalah sama-sama putra/putri mahkota, anak-anak raja. Namun hampir semua Cerita Panji mengisahkan petualangan mereka ketika berada di luar dinding keraton. Panji menyamar menjadi rakyat biasa, menjadi pengamen (dalam lakon Jaka Kembang Kuning), Kelana Edan (Panji Angreni), petani yang buruk rupa (Enthit). Semua Cerita Panji selalu diwarnai dengan adanya penyamaran. Baik tokoh utama Raden Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji, maupun para kadeyan (pengawal setia) dan tokoh-tokoh lainnya. Dewi Sekartaji menyamar jadi keong emas, menjadi Timun Mas, Klething Kuning, perampok budiman (Panji Semirang), dan juga menjadi pemusik Gambuh Asmarandana. Penyamaran ini dapat dimaknai bahwasanya Cerita Panji mengajarkan kesetaraan dalam kehidupan. Jangan suka menghargai sesama manusia hanya karena pakaiannya (ajining raga saka busana), karena wajahnya, pangkatnya, kekayaannya, kepinterannya. Semua manusia itu sama saja. Perilaku baik dan buruklah yang membedakannya.
  6. Hampir semua versi Cerita Panji selalu berakhir bahagia (happy ending). Bandingkan dengan Romeo Yuliet, Bangsacara Ragapadmi (Madura), Pranacitra Layonsari (Bali), Sangkuriang (Jawa Barat), Roro Mendut (Jawa Tengah) dan semua kisah cinta yang rata-rata sad ending (berakhir tragis). Hal ini dapat dimaknai bahwa Cerita Panji mengajarkan optimisme. Jangan mudah menyerah, karena ujung perjalanan adalah kebahagiaan. Hakekat Perkawinan adalah: Akhir dari sebuah awal, dan awal dari sebuah akhir. Penikahan ibarat sebuah terminal atau stasiun: Tempat orang mengakhiri dan sekaligus memulai perjalanan. Tidak ada awal yang abadi. Tidak ada akhir yang abadi.
  7. Berbeda dengan Mahabarata dan Ramayana, Cerita Panji adalah ratusan jenis kisah yang tidak berhubungan satu cerita dengan cerita lainnya. Secara garis besar semuanya memiliki pola yang sama, yaitu (mengutip istilah M. Dwi Cahyono): Integrasi – Disintegrasi – Reintegrasi. Karena itu Cerita Panji disebut dalam genre “cerita siklus” sebab selalu berulang-ulang dalam satu cerita dengan cerita yang lain. Setiap manusia juga mengalami siklus perjalanan hidupnya, sejak berada dalam kandungan ibu, lahir sebagai bayi, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, menikah, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia. Siklus tersebut dilanjutkan oleh anaknya, lahir hingga dewasa dan meninggal dunia kemudian dilanjutkan oleh cucunya. James Danandjaja menyebut Cerita Panji menggolongkannya dalam legenda siklus yang diartikan sebagai sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu keadaan tertentu.[4]
  8. Meski terdapat banyak sekali Cerita Panji namun selalu saja tidak ada yang menceritakan Raden Panji – Dewi Sekartaji memiliki anak, cucu, dan seterusnya sebagaimana dalam Mahabarata. Hanya ada satu dua Cerita Panji yang menyebutkan Panji – Sekartaji memiliki anak, misalnya Panji Laras dan Joko Sumilir, namun secara umum cerita berakhir ketika mereka menikah.
  9. Cerita Panji selalu anonim, tidak jelas siapa yang menuliskannya. Kalau toh disebut ada nama penulis biasanya itu hanya sebatas penggubah.

TIDAK COCOK UNTUK ANAK?

Seringkali orang mengaku tidak tahu Cerita Panji namun sebetulnya mereka sudah lama mengetahui namun tidak tahu bahwa mereka tahu. Contoh yang populer adalah dongeng “Ande-ande Lumut,” Keong Mas, Panji Laras / Cinde Laras, Golek Kencana, Enthit, dan juga Timun Mas. Khusus untuk Timun Mas ternyata terdapat banyak versi yang hanya salah satu versinya saja yang dapat digolongkan dalam rumpun Cerita Panji.

Dalam prakteknya ketika disosialisasikan ke masyarakat, terutama kalangan pendidikan, banyak yang menangkap Cerita Panji hanya dari sisi kisah cintanya belaka. Hal ini penulis alami ketika mengajak kalangan guru untuk lebih memperkenalkan Cerita Panji kepada para siswanya. Mereka menolak mengajarkan Cerita Panji ke anak didiknya karena dianggap “mengajarkan anak-anak bercinta” pada anak didiknya yang masih belum cukup umur.

Padahal dalam banyak dongeng anak-anak sebetulnya kisah semacam itu sudah populer dan tidak dipermasalahkan. Contoh dongeng dari mancanegara yang terkenal yaitu: Putri Cinderela dan Sepatu Kaca. Dongeng ini memiliki struktur yang sama dengan Cerita Panji. Cinderela yang dirundung oleh saudara tirinya akhirnya menemukan kebahagiaan karena ada pangeran yang menyuntingnya. Kisah perundungan ini juga dialami oleh tokoh Klething Kuning dalam dongeng Ande-ande Lumut. Akhir kisahnya pun sama dengan Cerita Panji yaitu berakhir bahagia.

Contoh lainnya adalah “Pangeran Kodok dan Putri Bungsu yang Cantik.” Dongeng ini sama-sama berasal dari budaya Barat,  yang diceritakan di Indonesia sudah sejak lama.[5] Dalam versi Indonesia antara lain terdapat di Karangasem, Bali, dengan judul “Pangeran Katak.”   James Danandja menggolongkan cerita ini dalam rumpun Cerita Panji karena merupakan bagian dari siklus legenda “Galuh Daha” (Putri Daha) dan “Mantri Kuripan” (Putra Mahkota Kuripan) yang sangat populer di Bali. Walaupun isinya berlainan namun jika diabstraksikan adalah sama, yaitu bertemakan perpisahan di antara dua tokoh yang pada akhirnya pasti akan bertemu pula.[6]

Dongeng Cinderella dan Pangeran Kodok jelas-jelas disebut sebagai “dongeng untuk anak-anak.” Lantas apakah dongeng-dongeng tersebut tidak pantas diceritakan kepada murid sekolah lantaran mengisahkan percintaan dua anak manusia? Apakah anak-anak dianggap tidak pantas membaca (mendengar atau menonton) dongeng yang berakhir dengan perkawinan? Seolah-olah dunia anak hanya berurusan dengan permainan petak umpet, mobil-mobilan, boneka, bermain lego, dan semacamnya.

Periode masa kanak-kanak adalah periode meniru. Apa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya cenderung ditirukannya ketika mereka bermain bersama teman-teman sebayanya. Mereka bermain “pasar-pasaran,” saling berbagi peran sebagai penjual dan pembeli misalnya, itu juga karena meniru aktivitas kedua orangtuanya, khususnya dari pihak ibu. Bahwasanya dunia anak-anak itu adalah juga mencerminkan apa yang dilihatnya dari lingkungan terdekatnya. Ketika mereka melihat ayah dan ibunya maka saat bermain bersama teman-temannya mereka lantas memainkan peran menjadi ayah, menjadi ibu, dan ada teman yang berperan menjadi anaknya. Dia yang berperan menjadi ibu akan menirukan apa yang dilihat di rumahnya, misalnya memasak, menjahit, atau mengasuh bayi. Dia yang berperan menjadi ayah akan menirukan ayahnya yang asyik membaca koran sambil mengenakan kacamata. Dia yang berperan menjadi anak akan menirukan teman sebayanya atau mengulangi perannya dalam keseharian ketika berpamitan berangkat sekolah, dan seterusnya.

Pertanyaannya, ketika anak-anak sedang bermain peran menjadi orang tua apakah lantas dapat dianggap melampaui kodrat mereka sebagai anak? Apakah dengan memainkan sosiodrama seperti itu lantas bisa diartikan anak-anak masih belum cukup umur untuk memerankan persoalan orang dewasa?   Demikian pula ketika anak-anak bermain drama di atas panggung yang membawakan Cerita Panji misalnya, di mana ada adegan percintaan hingga penikahan. Apakah anak-anak tidak boleh memainkan adegan seperti itu?

Dengan kata lain, mempermasalahkan Cerita Panji yang dianggap “tidak cocok untuk anak-anak” karena berisi kisah percintaan yang kemudian berakhir dengan pernikahan tidak relevan sama sekali. Kalau toh mau mempermasalahkan maka yang bisa dipersoalkan adalah adanya adegan pembunuhan sebagaimana Cerita Panji Angreni. Tetapi adegan pembunuhan ini sebetulnya dapat disiasati oleh pendongengnya, atau kreatornya ketika disajikan dalam seni pertunjukan.

Memang sulit menemukan Cerita Panji yang tidak berakhir dengan penikahan. Sebab salah satu ciri Cerita Panji memang berakhir dengan jenjang pernikahan. Hampir semua Cerita Panji selalu berakhir dengan pernikahan antara Raden Panji Inu Kertapati dengan Dewi Sekartaji (happy ending). Sebetulnya pernikahan dalam dongeng anak-anak adalah hal yang biasa saja karena dunia anak-anak sesungguhnya adalah dunia bermain. Tidak terkecuali ketika mereka memainkan peran menjadi sepasang kekasih yang kemudian menikah. Bahkan dalam banyak dongeng anak-anak pun seringkali diakhiri dengan adegan pernikahan karena pernikahan adalah lambang kebahagiaan. Bukan salah dongengnya melainkan bagaimana mengisahkan dan visualisasinya.

MENYIASATI CERITA PANJI

Sebagaimana terdapat dalam banyak kisah, selalu saja ada tokoh antagonis dan protagonis. Kebaikan melawan keburukan. Orang jahat melawan orang baik. Ada hukum karma atas setiap perbuatan yang dilakukan setiap orang. Siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebahagiaan. Siapa menabur angin akan menuai badai. Nah pesan moral inilah yang mustinya lebih dikedepankan dalam sosialisasi Cerita Panji kepada kalangan anak-anak, bukan malah membesar-besarkan adanya adegan cinta kasih yang berujung pernikahan.

Keong Emas dan Panji Laras (Cinde Laras) adalah  contoh Dongeng Panji yang dapat dijadikan sarana edukasi untuk anak-anak. Demikian pula Utheg-utheg Ugel yang sebenarnya merupakan variasi lain dari dongeng Panji Laras.

Sedangkan dongeng Timun Mas (Versi Panji) tidak banyak dikenal lantaran tenggelam oleh dongeng mainstream versi Jawa Tengah. Dalam dongeng Timun Mas versi Cerita Panji ini sama sekali tidak ada danau lumpur. Ketika Timun Mas dikejar raksasa, dia ditolong oleh seorang pemuda petani yang tidak lain adalah Raden Panji yang sedang menyamar.

Diperlukan sikap bijak tersendiri untuk menyampaikan dongeng terhadap anak-anak agar tidak kontra produktif dengan tujuan penyampaian dongeng itu sendiri. Tidak semua bagian dalam dongeng harus diceritakan apa adanya kepada anak-anak. “Hindari cerita yang memuat kekerasan, baik dalam bentuk ancaman, perkelahian, pembunuhan, maupun perang. Juga, jangan memilih cerita dengan muatan konten dewasa, seperti pacaran maupun perkawinan paksa,” ujar Paman Gery (Gery Saleh), professional storyteller dalam webinar “Kelas Dongeng: Mengangkat Literasi Lewat Dongeng” inisiasi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Sabtu, 23 Oktober 2021.[7]

Hal senada disampaikan oleh Dr Murti Bunanta, pakar bacaan anak dalam webinar Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur dan Komunitas Seni Budaya BrangWetan, 19 November 2020. Menurut Ketua Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA) itu, dalam menceritakan Kisah Panji sebagai bacaan anak sebaiknya tidak mengekspos atau berkutat dan menggarap masalah dengan berlebihan. Misal, pada cerita Cindelaras, ada pengarang yang terus mempersoalkan mengapa ayah Cindelaras, Raden Putra, meninggalkan ibunya. Kedua, secara umum hindari menuliskan unsur kekerasan dalam cerita rakyat secara berlebihan dan membuat terlalu dramatis.

“Cerita Indonesia itu banyak “sumpah ke anak, kekerasan, erotisme”, itu sebenarnya bukan kesalahan materinya atau budayanya, itu merupakan kesalahan yang bercerita. Menurut saya sejauh cerita kekerasan itu tidak ditambah-tambahi dengan berlebihan, maka masih wajar saja,” tambah Murti.

Untuk menghilangkan adegan pembunuhan yang terdapat dalam Cerita Panji Angreni, Rini Kurniasih dan U. Syahbudin menulis ulang dengan judul cerita Dewi Candra Kirana. Adegan pembunuhan, dihaluskan, atau diganti dengan meninggal dunia karena sakit.[8]

Penyiasatan Cerita Panji agar cocok untuk anak-anak juga dapat dilakukan dengan cara memotong sebagian cerita menjadi sebuah fragmen sebagaimana dalam cerita Golek Kencana. Pemenggalan cerita panjang hanya dihadirkan sebagai potongan (fragmen) ini adalah juga salah satu cara agar Cerita Panji tidak hanya berpusat pada pernikahan sebagai ending-nya. Meskipun, hal itu sebenarnya bukan hal yang tabu.

Sebuah inovasi yang cerdas dilakukan oleh Gunawan Maryanto dalam cerita pendek berjudul Panji Laras.  Adegan sabung ayam diganti dengan pertandingan sepak bola. Panji Laras adalah nama kapten kesebelasan klub sepakbola amatir dari kampung Krendha Bawana. PS (Persatuan Sepakbola) Cinde Laras yang sanggup melaju ke babak final Turnamen Piala Jenggala berhadapan dengan sang juara bertahan, PS Wadal Werdi. Ini adalah klub elit binaan Raja Suryawasesa, yang di masa mudanya bernama Panji Asmarabangun. Panji Laras adalah anak Timun Mas, perempuan yang pernah tersia-sia di hutan belantara dalam kondisi mengandung sehingga kemudian diangkat anak oleh Naya Genggong.

Gunawan dengan sangat bagus menceritakan jalannya pertandingan sepakbola bagaikan reportase langsung dari lapangan.  Hingga suatu ketika  terbukalah kedok Sang Ratu yang ternyata adalah seorang raksasa yang menyamar menjadi Dewi Sekartaji. Jatidiri aslinya adalah Wadal Werdi. Justru Timun Mas-lah Dewi Sekartaji yang sejati. Maka raksasa jahat itupun dikeroyok penonton satu stadion sepakbola bagaikan pencopet yang tertangkap di pasar malam.

Raden Mas Panji Sosrokartono memiliki ajaran yang sangat relevan untuk mengkreasi Cerita Panji Nonkonvensional. Kalimat mutiaranya yang terkenal yaitu: Sugih tanpa banda bermakna menjadi kaya tidak harus memiliki banyak harta. Digdaya tanpa aji bermakna bahwasanya kekuasaan itu seringkali tercipta karena suatu kemenangan fisik, kemenangan mental.  Nglurug tanpa bala, memiliki arti bahwa kita haruslah menjadi orang yang berani bertanggungjawab, berani untuk beraksi walaupun terkadang tinggal kita sendiri.  Menang tanpa ngasorake bermakna bahwa menjadi pemenang itu tidak harus ngasorake atau merendahkan pihak yang kalah. Keempat ungkapan tersebut di atas sangat Panji banget. Memang seperti itulah sifat-sifat Raden Panji sebagaimana yang digambarkan dalam banyak Cerita Panji. Dan ternyata, nama lengkap Sosrokartono itu sendiri adalah Raden Mas Panji (R.M.P.) Sosrokartono. Jadi, keempat ajaran RMP Sosrokartono tersebut di atas dapat dijadikan tema dalam menuliskan Cerita Panji yang baru.

Ada banyak tema Cerita Panji yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan Cerita Panji yang baru. Cerita Panji juga mengandung spirit pengelanaan, dimana Panji adalah sosok yang suka melakukan perjalanan. Hal ini dapat dikreasi menjadi cerita petualangan saat liburan sekolah ke banyak daerah untuk mengenal keberagaman budaya bangsa. Panji juga Suka Menolong.   Panji juga digambarkan Menguasai banyak cabang kesenian. Hal ini dapat mendorong anak-anak belajar berbagai seni tradisi secara menyeluruh, menguasai banyak alat kesenian.

Panji Panglima Perang. Anak-anak suka beladiri Nusantara, Pencak Silat, juara, filosofi pencak silat. Bukankah hal ini senafas dengan Cerita Panji? Panji sangat menghormati kedua orang tuanya. Bisa dicontohkan dalam keseharian. Panji cinta alam dan lingkungan, seperti dalam dongeng Enthit, mendorong sistem pertanian organik.

 

SIMPULAN

  1. Cerita Panji tidak terikat dengan konsep pakem yang ketat. Selama substansinya masih berada dalam koridor nilai-nilai Cerita Panji maka sah-sah saja memenggal menjadi fragmen, mengubah jalan cerita, mengganti tokoh dan tempatnya, atau mengubah sebagian adegannya. Seperti mengganti adegan mati dibunuh menjadi meninggal dunia karena sakit.
  2. Diperlukan upaya untuk menafsirkan simbol-simbol dalam dongeng agar dapat dipahami oleh anak-anak dan sekaligus memberikan pendidikan moral. Misalnya saja, sosok raksasa jahat (Buto Ijo) dalam dongeng Timun Mas bukanlah raksasa dalam arti sesungguhnya karena memang tidak ada dalam dunia nyata. Raksasa adalah lambang dari orang jahat yang berkuasa (disimbolkan tubuhnya yang besar), sifatnya sangat kejam (memiliki taring), suka marah-marah (matanya melotot), dan menindas yang lemah (dalam hal ini gadis bernama Timun Mas).
  3. Diperlukan upaya untuk melakukan sosialisasi Cerita Panji yang tidak hanya mengedepankan kisah cintanya belaka melainkan lebih memperkenalkan substansinya.
  4. Selain memperkenalkan beberapa Cerita Panji yang memang cocok untuk konsumsi anak-anak maka perlu dikreasi versi-versi baru Cerita Panji yang Ramah Anak dengan bertolak dari sejumlah substansi tadi sebagai topiknya. Dengan demikian maka Cerita Panji sesungguhnya bukan hanya dipahami sebagai kisah cinta belaka melainkan sebagai materi pembelajaran pada generasi muda.
  5. Bagaimana cara menyajikan lakon Panji ini tanpa harus ada adegan cinta-cintaan yang katanya tidak sesuai dengan dunia pendidikan itu? Jawabannya adalah pada how to create, bagaimana mengkreasi Cerita Panji sedemikian rupa sehingga adegan yang katanya “tabu” itu ditampilkan secara artistik, bukan tampil verbal. Ini memang menjadi ranah sutradara atau koreografer pertunjukan, agar tidak secara wantah memindahkan Cerita Panji begitu saja tanpa ada upaya stilisasi (penghalusan).
  6. Berangkat dari spirit penyatuan dalam Cerita Panji, bisa dikreasi sebuah pertunjukan yang menyajikan perseteruan dua keluarga namun anak masing-masing keluarga itu malah berteman baik. Kedua keluarga itu akhirnya rujuk kembali, bersatu dalam kekerabatan ketika anak-anak mereka berhasil menjadi pasangan juara dalam sebuah lomba. Proses menuju penyatuan itupun dapat diselipkan berbagai variasi untuk menunjukkan bahwa mewujudkan niat yang mulia itu memang tidak mudah. Ada perjuangan, kesabaran, ketekunan, bahkan bisa jadi ada pengkhianatan, kecemburuan dan sebagainya.
  7. Diperlukan transformasi (perubahan) dalam hal bentuk (format), waktu, pelaku, setting dan jalan cerita serta penafsirannya, dengan tetap mengacu ada substansi Cerita Panji. Misalnya berupa cerita pendek modern berbasis Cerita Panji. Bahwa Cerita Panji tidaklah harus terkait dengan masa lalu dan menjadi klangenan Cerita Panji juga dapat ditransformasi menjadi kekinian. (*)

 

PUSTAKA

Danandjaja, James: “Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain” Grafiti, cetakan IV, 1994

Mashuri (ed): “Metanarasi Panji. Antologi Cerpen Berbasis Cerita Panji” Penerbit Komunitas Seni Budaya BrangWetan, 2019

Nurcahyo, Henri . “Cerita Panji Sebagai Media Edukasi” makalah yang disampaikan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan di Makassar, 23 Oktober 2019.

Nurcahyo, Henri : “Seratus Satu Cerita Panji.” Penerbit Komunitas Seni Budaya BrangWetan, 2022

Rini Kurniasih, U. Syahbudin. Cerita Rakyat Jawa Timur “Dewi Candra Kirana”, penerbit Pustaka Setia Bandung, 2005

Supriyanto, Henri (ed): Panji Pahlawan Nusantara. Komunitas Seni Budaya BrangWetan, cetakan kedua, 2021

 

INTERNET

http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html

https://dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-pangeran-kodok/,

https://kumparan.com/mama-rempong/cerita-dongeng-anak-cinderella-1vsIwV6B2bw/full

https://www.bilibili.tv/id/video/2001256217

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4691867/jenis-cerita-dongeng-untuk-anak-yang-sebaiknya-dihindar

 

BIODATA

Henri Nurcahyo, lahir di Lamongan, 22 Januari 1959, pernah sekolah di Universitas Gadjah Mada (UGM) namun tidak diselesaikan dan belajar sendiri secara otodidak perihal seni budaya dan lingkungan hidup. Mulai menulis di media massa tahun 1979, menjadi penulis lepas dan wartawan di sejumlah media massa (Memorandum, Surabaya Post, Jakarta-Jakarta, Agrobis, Koran Metro), beberapa kali mendirikan media sendiri, hingga akhirnya mengkhususkan diri menulis buku berbagai topik, baik pesanan maupun inisiatif sendiri. Pernah memenangkan lomba karya tulis jurnalistik sebanyak 10 (sepuluh) kali dan mendapatkan Penghargaan Seni Budaya dari Gubernur Jawa Timur sebagai Penggerak Kesenian Bidang Penulisan (2001).

Pernah aktif di Dewan Kesenian Jatim (DK Jatim) dan Sidoarjo (Dekesda), sekarang aktif di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jawa Timur sebagai Wakil Ketua, Ketua Komunitas Seni Budaya BranGWetaN dan inisiator Pusat Konservasi Budaya Panji, menjadi dosen luar biasa matakuliah Kajian Panji (Antropologi Sastra) di Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya, serta Pengelola Tradisi Lisan Tingkat Dasar (Sertifikasi BNSP).

Kontak:

–        Email: [email protected]

–        Website: www.brangwetan.idwww.sandhya-citralekha.org

[1] Naskah ini merupakan pengayaan dari makalah uang pernah disampaikan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan di Makassar, 23 Oktober 2019, dengan judul “Cerita Panji Sebagai Media Edukasi”

[2] Sebuah versi yang lain menyatakan, bahwa salah satu dari dua pewaris tersebut bukan putra kandung Airlangga melainkan putra dari Dharmawangsa, mertua yang sekaligus paman Airlangga

[3] http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html

[4] James Danandjaja: “Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain” Grafiti, cetakan IV, 1994

[5] https://dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-pangeran-kodok/, diakses tanggal 2 Mei 2023

[6] James Danandjaja, ibid hal 112

[7] https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4691867/jenis-cerita-dongeng-untuk-anak-yang-sebaiknya-dihindari, diakses tanggal 4 Mei 2023

[8] Rini Kurniasih, U. Syahbudin. Cerita Rakyat Jawa Timur “Dewi Candra Kirana”, penerbit Pustaka Setia Bandung, 2005

In category:
Related Post
no-img
PANJI SEBAGAI AHLI PENGOBATAN DALAM WAYANG TOPENG

MALANG: Sebuah kisah Panji yang terbilang langka disajikan oleh Padepokan T...

no-img
CERITA PANJI DARI BANYUWANGI

Cerita Panji yang sering muncul di Banyuwangi dalam pertunjukan seni drama ...

no-img
Topeng Dalang Klaten, Pelakunya Dalang Semua

TOPENG Dalang Klaten adalah seni pertunjukan tradisional yang juga membawak...

no-img
Wangi Indriya dan Toto Amsar Suanda Berbagi Cerita

Cerita Panji juga tumbuh kembang di tanah Sunda, tidak terkecuali di Indram...

no-img
Mengajarkan Gamelan Sebagai Tradisi Lisan

Bagian kedua: Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis Hari ...

no-img
Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis

Kadek dan Christophe tanpa lelah menjadi duta kebudayaan Indonesia di Pranc...