Menyiasati Cerita Panji agar Cocok untuk Anak
Pengantar Buku: “Cerita Panji Ramah Anak”
SUATU ketika sejumlah guru mengajukan kom-plain, tidak mau mengajarkan Cerita Panji kepada para siswanya yang masih SMP karena Cerita Panji dianggap hanya cocok untuk orang dewasa. Substansi Cerita Panji adalah mengenai percintaan, katanya. Apalagi ada adegan pembunuhan yang sangat tidak sesuai dikonsumsi anak-anak. Benarkah demikian?
Terhadap komplain ini saya hanya menjawab (tapi dalam hati) bahwa mereka kurang jauh mainnya. Kurang kental kopinya, dan kurang malam bega-dangnya. Mereka nampaknya hanya memahami Cerita Panji sebatas permukaan belaka. Mereka hanya mengenal Cerita Panji hanya satu-dua saja di antara ratusan versi Cerita Panji. Di samping itu, nampaknya ada kekhawatiran bahwa Cerita Panji memberikan dampak negatif terhadap psikologi anak-anak.
Padahal, kalau bicara percintaan maka banyak juga terdapat dalam dongeng anak lainnya. Jadi mengapa hal yang sama dijadikan alasan untuk menolak Cerita Panji? Bukankah kisah percintaan dan perni-kahan itu sudah biasa di dalam banyak dongeng anak-anak? Lagi pula, sudah biasa pula anak-anak bermain peran menjadi ayah dan ibu lantaran menirukan orang tua mereka. Jadi, sekali lagi, hal itu sangat tidak layak dijadikan alasan menolak Cerita Panji.
Lantas, bagaimana dengan adanya adegan pembunuhan? Sebetulnya ini juga sama saja dengan percintaan dan pernikahan. Persoalannya bukan pada ada atau tidaknya adegan pembunuhan (juga percintaan) tetapi pada bagaimana peristiwa percintaan dan pembunuhan itu dihadirkan. Ketika didongengkan maka tergantung bagaimana cara mendongengkannya. Ketika dituliskan untuk konsumsi anak-anak juga tergantung bagaimana redaksionalnya. Apalagi manakala Cerita Panji diangkat menjadi karya seni pertunjukan, maka tugas sutradaralah yang melakukan kreativitas menyiasatinya sehingga adegan tersebut tidak tampil vulgar.
Maka dalam buku inilah dipaparkan beberapa contoh Cerita Panji yang memang sudah “ramah anak” sejak awalnya meski memang tidak banyak. Juga beberapa contoh Cerita Panji yang umum selama ini. Dan yang penting adalah memahami apa substansi Cerita Panji itu sendiri. Karena dengan mengenal substansi tersebut dapat menjadi modal untuk mengkreasi tanpa kehilangan rohnya.
Pada bagian awal memang banyak mengutip buku “Memahami Budaya Panji” yang sudah cetak ulang beberapa kali sebagai landasan awal untuk memahami Cerita Panji itu sendiri. Ada banyak disebutkan poin-poin substansi Cerita Panji sehingga tidak lantas hanya dimaknai sebagai kisah percintaan antara Raden Panji dan Dewi Sekartaji belaka. Anggapan yang seperti itulah yang menjadi penyebab Cerita Panji hanya dianggap sebagai kisah percintaan secara sempit.
Dalam versi singkat buku ini sudah dipresentasikan sebagai makalah dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 12 – 14 Juni 2023 dengan judul yang sama.
Dan akhirnya, semoga buku ini dapat membuka wawasan masyarakat, khususnya para penulis atau sastrawan, agar mereka dapat melahirkan karya-karya baru berbasis Cerita Panji tanpa harus terjebak dalam kisah kasih yang klise. Bahwasanya, inilah bagian pentingnya, Raden Panji dan Sekartaji itu hanyalah simbol. Demikian pula nama kerajaan Janggala dan Panjalu. Begitulah. Selamat membaca.
Sidoarjo, 10 November 2023
Henri Nurcahyo