CERITA PANJI DARI BANYUWANGI
Penyunting : Eivon Radnaksi
Rancang Sampul : Fajar Ekashakti
Tata Letak : Henri Nurcahyo
Penerbit : Komunitas Seni Budaya BrangWetan
www.brangwetan.com
Cetakan Pertama, September 2024
Percetakan : GBW Yogyakarta
ISBN :
Cerita Panji adalah sebuah kisah romansa dua anak manusia yang penuh dengan lika-liku. Perpisahan, pencarian, penyamaran, petualangan, peperangan, hingga akhirnya terjadi pertemuan kembali. Substansi Cerita Panji adalah penyatuan kedua belah pihak: Antara laki-laki dan perempuan, antara Janggala dan Kadiri, siang dan malam, rembulan dan matahari, langit dan bumi, sungai dan laut, bahkan penyatuan antara makhluk dan khaliknya (manunggaling kawula lan Gusti).
Cerita Panji mengajarkan bahwa tidak ada perpisahan yang abadi namun sekaligus juga mengingatkan bahwa tidak ada pertemuan yang kekal. Bahwasanya yang disebut awal itu adalah sebuah akhir dan yang akhir adalah awal. Cerita Panji tidak bisa dipahami hanya melihat di permukaan saja karena sesungguhnya Cerita Panji penuh dengan simbol-simbol yang sarat makna. Termasuk juga, mengapa banyak sekali versi Cerita Panji yang menyebar ke seluruh nusantara, beradaptasi dengan budaya daerah atau negara setempat, rata-rata kesemuanya selalu berakhir bahagia, seringkali divisualkan dengan topeng dalam kesenian, bahkan jalan ceritanya cenderung monoton. Pertemuan, perpisahan, pertemuan kembali. Sesungguhnya tidak sesederhana itu. Karena monotonitas itu merupakan sesuatu yang amat sangat dekat dengan ke-hidupan keseharian semua makhluk bahkan juga alam semesta.
Demikian pula halnya Cerita Panji dari Banyuwangi. Tidak ada nama Raden Panji Asmarabangun dan Candrakirana, tidak ada Janggala atau Kadiri, ceritanya juga tidak selalu berakhir bahagia. Dongeng Sri Tanjung yang sering diklaim menjadi dasar asal-usul lahirnya kota Banyuwangi itu sebenarnya juga tergolong varian Cerita Panji. Menurut Th Pigeaud dongeng Sri Tanjung tergolong Cerita Panji Minor karena tidak ada tokoh Raden Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji, sedangkan setting ceritanya juga tidak menyebut Janggala dan Panjalu. Berbeda dengan Cerita Panji mainstream (arus utama).
Bukan hanya itu, jejak-jejak Cerita Panji di Banyuwangi juga ditemukan dalam cerita rakyat Banterang Surati, Panji Sumirah, Paman Iris dan Jakripah, Panji Gimawang, bahkan kisah yang ditulis dalam Lontar Juwarsah itu ternyata sangat Panji. Bisa jadi orang Banyuwangi sendiri barangkali tidak ba-nyak yang menyadari bahwa kisah romansa Juwarsah dan Sarawulan ini bagaikan Raden Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Padahal kisah dalam Lontar Juwarsah ini bisa dipastikan nyaris tidak berbeda dengan Cerita Panji mainstream.
Lontar Juwarsah adalah salah satu strategi yang dilakukan oleh para ulama untuk dakwah ketika Majapahit menjelang runtuh. Lontar Juwarsah ini merupakan percampuran antara Hikayat Amir Hamzah dari Melayu yang kejadiannya di Timur Tengah dengan Kisah Panji. Namun konten cerita Lontar Juwarsah ternyata bukan hanya ditemukan di Bali melainkan menyebar di pantai utara Jawa hingga ke Bali dan Lombok. Sementara di Tuban menjadi cerita tutur dalam kesenian kentrung dengan nama lakon “Sarahwulan.” (hn)