BUNGURASIH DESA KUNO
Penulis : Henri Nurcahyo
Pengantar : Prof Dr Purnawan Basundoro, SS, MHum
Narasumber:
- M Dwi Cahyono, arkeolog
- Gunawan Sambodo, epigraf
- dr Sudi Haryanto, ketua Komunitas Sidoardjo Masa Kuno
- Tri Priyono (TP) Wijoyo, Komunitas Begandring Surabaya
- Mashuri, BRIN Jawa Timur
- Satriagama Rakantaseta, Rumah Budaya Malik Ibrahim
Editor : Teguh Wahyu Utomo
Cover : Foto Henri Nurcahyo
Tataletak dan Grafis : Frida Erli – Bahar
Penerbit : Komunitas Seni Budaya BrangWetan
Jl. Bungurasih Timur 40, Sidoarjo
Email: [email protected]
Website: www.brangwetan.com
Percetakan : GBW Yogyakarta – det@il adv
ISBN : 978-623-89463-0-3
BUNGURASIH adalah desa kuno. Itulah kesimpulan yang bisa didapat dari buku ini. Kekunoan itu antara lain ditandai banyaknya pohon sawo di berbagai penjuru desa. Meski sekarang pohon sawo sudah nyaris punah namun sejarah mencatat bahwa pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro. Kalimat Sawwuu shufuufakum fainna tashwiyata shufuufi min tamaami sholat yang biasa disampaikan imam sebelum sholat berjamaah, ternyata berasal dari Sawwuu shufuufakum fainna tashwiyata shufuufi min tamaami harakah (rapatkan barisan karena merapatkan barisan prasyarat bagi suksesnya perjuangan). Itu adalah amanat kepada pengikutnya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Mengacu pada peristiwa Perang Diponegoro tahun 1825 – 1830 maka desa Bungurasih memang sudah ada pada tahun-tahun tersebut.
Tetapi menurut cerita rakyat yang beredar bahwa desa Bungurasih sudah ada jauh sebelumnya, pada abad ke-15, ketika Mbah Bungur melakukan Islamisasi ke daerah ini. Menurut perkiraan, Mbah Bungur meninggal dunia tahun 1497 M yang berarti sudah 527 tahun yang lalu. Menurut cerita rakyat juga, sebelum ada Mbah Bungur ada yang namanya Mbah Bongoh alias Kek Gede Kasiani yang makamnya ada di tengah-tengah makam umum desa Bungurasih.
Namun kemudian ditemukan data sejarah bahwa ternyata nama desa Bungur Lor sudah disebut dalam Prasasti Kancana atau Prasasti Gedangan pada tahun 860 Masehi. Nah, sangat jauh lebih tua lagi usia desa Bungurasih. Kalau dihitung dari tahun 2024 ini berarti desa Bungurasih sudah ber-usia 1.164 (baca: seribu seratus enam puluh empat) tahun. Jauh lebih tua dibanding kota Surabaya dan Majapahit (1293 M), lebih tua dari kerajaan Airlangga (tahun 1019 M), bahkan lebih dulu ada sebelum Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah (sebutan sekarang) ke Jawa Timur tahun 929 M.
Sejarawan Purnawan Basundoro menyebutkan, buku ini merupakan rintisan awal untuk penulisan sejarah desa, dan merupakan dokumen yang sangat penting yang mendokumentasikan berbagai tradisi lisan yang berkembang yang mendasari sejarah Desa Bungurasih. Melalui buku ini maka masyarakat menjadi tahu identitas apa yang melekat dalam desa yang berada di perbatasan itu. Masyarakat desa setempat tentu saja menjadi bangga karena melalui buku ini bisa diketahui siapa sejatinya leluhur mereka, serta bagaimana para leluhur berjuang membangun Desa Bungurasih sehingga menjadi desa yang maju seperti sekarang ini.
Apa yang telah dilakukan oleh Henri Nurcahyo untuk meneliti sejarah Desa Bungurasih bisa dijadikan contoh baik (best practice) untuk desa yang lain. Selama ini salah satu alasan untuk penelitian sejarah desa adalah sulitnya sumber yang bisa dimanfaatkan. Ternyata Henri Nurcahyo telah mencontohkan bahwa kesulitan terkait sumber sejarah bisa diatasi dengan cara lain. Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat kepada Desa Bungurasih yang telah memiliki buku sejarah desa, serta kepada Henri Nurcahyo yang telah berhasil melahirkan karya yang luar biasa ini. (*)