PenerbitanTerkini

SUNGAI LUKA AKU MATI, Antologi Puisi Fitri Sei Getas

no-img
SUNGAI LUKA AKU MATI, Antologi Puisi Fitri Sei Getas

Judul Buku : Sungai Luka Aku Mati, Antologi Puisi Fitri Sei Getas

Penulis : Fitri SeiG

Editor : Henri Nurcahyo

Tebal Buku : 166 halaman

Penerbit : Komunitas Seni Budaya BrangWetan

 

NAMANYA Fitriani, panggilannya Fitri, namanya sering ditulis Fitri Sei Getas, atau cukup Fitri SeiG. Sei Getas adalah nama sebuah kampung di Kelurahan Lepasan, Kecamatan Bakumpai, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini memang dilahirkan di kampung tepi sungai itu. Meski sekarang tinggal di Banjarmasin namun alumnus IAIN Antasari (sekarang UIN) itu tak melepaskan tanah kelahirannya sama sekali, sebagaimana dituliskan dalam namanya. Dalam kepengurusan lembaga adat Papikat di Bakumpai, Fitri duduk sebagai sekretaris umum. Keterkaitan dengan tanah kelahirannya itulah yang banyak diungkapkan melalui karya-karya puisinya dalam buku ini. Dia banyak bercerita tentang  Sungai Barito yang menghampar di depan rumah orangtuanya, tentang ritual adat yang masih dilakoninya, tentang keluarganya, juga perihal hutan dan lingkungan hidup.

Sebagai putri daerah, Fitri dengan fasih mengisahkan bagaimana interaksinya dengan (dan sebagai bagian dari) etnis Bakumpai, lengkap dengan istilah-istilah lokal yang kadang tak mudah mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahkan sebetulnya banyak puisinya dalam bahasa Bakumpai yang nantinya bisa diterbitkan dalam antologi tersendiri. Melalui puisinya Fitri mengungkapkan bagaimana perasaannya yang galau terhadap pencemaran sungai, perusakan hutan, konflik sosial, keterbatasan pendidikan, termasuk juga kerisauannya terhadap sungai Barito itu sendiri. Bahwasanya sungai terpanjang kedua di Kalimantan setelah Sungai Kapuas itu tidaklah seromantis sebagaimana bayangan orang kota. Barito telah tercemar, lalu-lalang kapal pengangkut emas hitam (lengkap dengan polusinya), sampah serta limbah yang diberikan oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab kepada Barito mengambang tanpa henti menjadikan Barito terluka. Padahal di sungai itulah masyarakat setempat mendapatkan penghasilan buat kehidupan. Barito tidak lagi menjadi jalur transportasi sungai seperti dulu. Banyak rumah yang kemudian berpindah ke tepi jalan raya, yang menjadi akses utama, meninggalkan sungai.  Kemenyatuannya dengan sungai itu ibarat bisa membuatnya mati ketika sungai terluka.

Meski demikian toh Barito tidak sepenuhnya luka. Menikmati sunset dari arah Bakumpai menawarkan keindahan yang sangat menakjubkan. Matahari merah di langit jingga, perlahan tenggelam dalam tubuh bumi, hingga gelap menyapa dan keheningan menyergap malam. Ketika malam hampir menghilang, seberangilah Barito dengan perahu, menuju Marabahan, tunggulah saat-saat matahari dengan malu-malu menampakkan diri. Itu juga sebuah keindahan yang sangat mengesankan. Apakah hal ini hanya menjadi romantisme orang kota belaka? Sementara penduduk lokal sudah sibuk di pasar Marabahan sejak pagi buta. Berjualan hasil bumi dan buah hutan atau wadai (jajanan) buatan sendiri.

Ikatan batin dengan  tanah Bakumpai menjadikan seorang Fitri tetap menjadi “anak sungai” meski dalam kesehariannya banyak tinggal di kota besar. Dia masih menyimpan rindu terhadap keindahan Barito melalui secangkir kopi, kenangan manisnya yang membekas di kalbu, hingga mimpi indahnya. Barito bagi Fitri memang bukan sekadar sungai biasa. Barito adalah masa lalu yang masih berlaku di masa kini, dan entah seperti apa di masa depan. Barito menyimpan ribuan kenangan yang tak terlupakan.

Kepeduliannya terhadap dunia pendidikan dan anak-anak melahirkan sejumlah puisi. Termasuk keprihatinannya terhadap masyarakat pedalaman yang miskin edukasi. Perihal seni tradisi dan ritual yang tergusur, penghormatan terhadap ibu, ayah, dan kakaknya yang meninggal dunia. Demikian pula religiusitasnya dapat dirasakan dalam beberapa puisinya yang kontemplatif.  Pada karya-karyanya yang lain Fitri meluapkan perasaannya tentang banyak hal yang menggugah nuraninya. Misalnya tentang demokrasi, perihal kepemimpinan, juga tentang kerusuhan akibat konflik politik yang memakan banyak korban. Fitri yang romantis dan terkesan lemah lembut dalam puisi-puisinya ternyata bisa meluapkan amarahnya.

Ada 66  puisi yang terhimpun dalam antologi ini  maka dibuat pengelompokan sesuai abjad. Yaitu: Budaya, Keluarga, Laut & Sungai, Lingkungan Hidup, Pendidikan, Religi, Rindu, Romansa, dan Sosial. Pada masing-masing kelompok itu puisi-puisi yang dimuat juga disusun menurut abjad judulnya.

Begitulah, setidaknya penerbitan antologi puisi ini dapat memberikan gambaran terhadap seorang Fitri dari berbagai sisi. Fitri yang melankolis dan romantis, Fitri yang peduli budaya, Fitri yang cinta pendidikan, hingga seorang Fitri yang memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial politik. Selamat membaca. (Henri Nurcahyo)

In category: PenerbitanTerkini
Related Post
no-img
Abdillah Nasikh: Bangkitkan Literasi dan Hibah Dewan Kesenian

SIDOARJO: H. Abdillah Nasikh, menyambut baik terbitnya buku “Bungurasih D...

no-img
SUNGAI LUKA AKU MATI, Antologi Puisi Fitri Sei Getas

Judul Buku : Sungai Luka Aku Mati, Antologi Puisi Fitri Sei Getas Penulis :...

no-img
KADO 66 TAHUN HENRI NURCAHYO

JUDUL : KADO 66 TAHUN HENRI NURCAHYO PENULIS : Henri Nurcahyo TEBAL BUKU : ...

no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
MAAF SAYA BUKAN PENYAIR

Judul Buku     : MAAF SAYA BUKAN PENYAIR. Antologi Puisi Henri Nurcahyo...

no-img
BUNGURASIH DESA KUNO

  Penulis : Henri Nurcahyo   Pengantar : Prof Dr Purnawan Basundo...

  • 553
  • 35