Terkini

Menolak Lupa Bencana Lumpur Lapindo

no-img
Menolak Lupa Bencana Lumpur Lapindo

SIDOARJO: Bencana semburan lumpur panas Lapindo yang terjadi sejak tahun 2006 tidak mungkin akan terlupakan begitu saja. Puluhan desa tenggelam, beberapa desa terdampak, puluhan ribu warga terusir paksa dari dari tempat tinggalnya, bahkan dampak bencana itu masih saja terasa hingga sekarang. Karena itu sudah sepantasnya menolak lupa terhadap terjadinya bencana tersebut.

Inilah benang merah dari acara “Jagong Budaya: 19 Tahun Semburan Lumpur Lapindo” di sanggar seni dan sejarah S. Karno, desa Wunut, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jumat siang (29/05/25). Acara ini diselenggarakan oleh Sanggar Seni & Sejarah S. Karno, Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Komunitas Sidoarjo Masa Kuno, dan Lembaga Ekologi Budaya (Elbud), didukung oleh Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda).

Acara ini diawali dengan penampilan seniman Meimura yang membawakan pertunjukan singkat “Besut Gugat” bersama dengan Den Bei. Dalam gugatannya Mei memandang penting perlunya instrospeksi bagi diri sendiri terhadap bencana lumpur. “Kamu sebagai warga Sidoarjo, apa yang sudah kamu lakukan selama ini,” tegasnya.

Menurut Karno, tuan rumah yang sekaligus menjadi salah satu pemantik diskusi, bencana tersebut memang tidak boleh dilupakan begitu saja. Generasi muda dan yang tidak mengalami sendiri peristiwa itu harus mendapatkan pemahaman yang jelas tentang bencana tersebut. Perlu ada dokumentasi berupa buku untuk mengabadikan apa saja yang telah terjadi, dan apa dampaknya, serta pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut.

Hanya saja, sambung dr Sudi Haryanto, narasumber lainnya, kita tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan dan terus menerus mencari kesalahan. “Kita jangan menjual kesedihan, kita harus belajar dari masa lalu agar peristiwa yang sama tidak terulang. Karena itu kita harus move on menatap masa depan,” ujar dokter yang juga mengelola “Komunitas Sidoarjo Masa Kuno” itu.

Menyambung gagasan Karno soal dokumentasi, Sudi mengusulkan perlu dibangun “Museum Ekologi Lumpur Lapindo” sebagai bagian dari Wisata Bencana. Selain itu, juga perlu dibuat acara festival yang berkelanjutan agar dapat mengambil hikmah dari bencana tersebut. “Kalau kita hanya terus terusan mencari siapa yang salah tidak akan selesai,” tuturnya.

Sedangkan Anton Novenanto, pemantik lainnya, memberikan wawasan bahwa persoalan budaya tidaklah sebatas tradisi atau hal-hal semacam itu. Budaya bisa berupa artefak atau material, dan juga berupa mental, gagasan, keyakinan, ataupun berupa ide-ide. “Ketika kita melihat lautan lumpur jangan hanya memandang dari aspek materialnya saja, tetapi itu adalah gambaran sebuah peradaban yang tenggelam,” ujar Nino, panggilannya.

Menurut dosen Sosiologi Universitas Brawijaya itu, peristiwa bencana itu tidak terlepas dari Kosmologi Orang Jawa. Tidak ada sesuatu yang ujug-ujug ada. Faktor manusia selalu terlibat dalam fitur-fitur alam yang muncul. Manusia adalah aspek paling penting.

Gagasan dokumentasi menolak lupa ini langsung didukung oleh Esthi Susanti, psikolog yang juga mantan dosen Universitas Satyawacana Salatiga. Setelah 19 tahun bencana itu terjadi, katanya, refleksi kita lebih bening memandangnya. Kita harus jujur pada budaya. Bagaimanapun manusia itu lahir tidak terlepas dari trauma.

Joko Supriyadi, mantan Kepala Dinas Parbudpora Sidoarjo, mengingatkan bahwa bencana lumpur bukan hanya menimpa kawasan lumpur tetapi juga desa-desa terdampak di luarnya. Di samping itu, juga ada rumah-rumah bersejarah yang hilang, ada sekolah yang dihancurkan, pesantren yang dirobohkan, bahkan juga stasiun yang hilang. Legenda-legenda yang hilang. Bangunan kawedanan Porong yang bersejarah malah dihancurkan diganti menjadi taman. Itu semua adalah jejak peradaban yang sangat berharga. Mengapa selama ini tidak ada pemetaan terhadap semuanya itu? Ini adalah peradaban yang dihancurkan.

Soal gagasan museum itu, Joko menyebut pernah ada usulan untuk menjadikan kawasan lumpur itu sebagai Geopark. Sementara Nino mengingatkan agar museum tidak dibangun eksklusif, jangan seperti Museum Tsunami di Aceh yang hanya dikunjungi wisatawan. Museum harus melibatkan warga lokal.

Museum Bencana juga dibangun di Merapi, yang memperlihatkan bekas-bekas bencana erupsi. Bekas rumah juru kunci Merapi, Mbah Marijan, menjadi bagian dari museum itu dalam kondisi hancur dan bekas-bekas gempuran lahar Merapi. Hal ini dapat dimaknai bahwa museum tidak harus berupa bangunan tertutup yang sepi. Puing-puing akibat bencana juga dapat diabadikan. Bahkan, monuman Soekarno – Hatta di kawasan Tugu Pahlawan sekarang ini malah dihiasi dengan tiruan puing dinding yang seolah-olah sisa kehancuran akibat perang.

Musium Lapindo, kalau toh gagasan ini hendak diwujudkan, haruslah melibatkan masyarakat lokal. Menjadi monumen pembelajaran generasi mendatang. Masalahnya, ini tanggungjawab siapa? Tidak mungkin gagasan ini hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada pemerintah yang tidak bisa diharapkan merealisasinya. (henri nurcahyo)

 

In category: Terkini
Related Post
no-img
Menolak Lupa Bencana Lumpur Lapindo

SIDOARJO: Bencana semburan lumpur panas Lapindo yang terjadi sejak tahun 20...

no-img
JAGONG BUDAYA, 19 TAHUN SEMBURAN LUMPUR LAPINDO

Kamis, 29 Mei 2025, pukul 12.00 – selesai Sanggar Seni Rupa & Sejarah...

no-img
KELANA PANJI DI BAKUMPAI

Novel Henri Nurcahyo Editor&nbsp: Layli Ramadani Narasumber : Setia Bud...

no-img
Abdillah Nasikh: Bangkitkan Literasi dan Hibah Dewan Kesenian

SIDOARJO: H. Abdillah Nasikh, menyambut baik terbitnya buku “Bungurasih D...

no-img
SUNGAI LUKA AKU MATI, Antologi Puisi Fitri Sei Getas

Judul Buku : Sungai Luka Aku Mati, Antologi Puisi Fitri Sei Getas Penulis :...

no-img
KADO 66 TAHUN HENRI NURCAHYO

JUDUL : KADO 66 TAHUN HENRI NURCAHYO PENULIS : Henri Nurcahyo TEBAL BUKU : ...

  • 1,622
  • 14