
Artsubs: Museum Lengkap Seni Rupa Kontemporer
Catatan Henri Nurcahyo
TIDAK rugi bayar seratus ribu rupiah untuk bisa menyaksikan pameran seni rupa kontemporer ArtSubs #2 di Balai Pemuda. Event ini membuktikan bahwa bukan hanya ArtJog yang jadi barometer dan kebanggaan Indonesia. Tapi Surabaya juga bisa. Sebagaimana temanya Material Ways, acara yang dibuka sejak Sabtu (2/8) menghadirkan beragam karya dari berbagai materi. Rasanya tidak cukup hanya sekali mengelilingi ruang pamer yang sangat luas ini. ArtSubs tak ubahnya sebuah museum seni rupa kontemporer yang berlangsung hanya 5 minggu (hingga 7 September).
Selain ArtJog, sebagai perbandingan, pameran serupa yang juga mahakarya digelar di Bali dengan nama Art &Bali 2025 akan digelar 12-14 September (bulan depan) di Nuanu Creative City, kawasan kreatif seluas 44 hektar yang memadukan alam, teknologi, dan budaya di pesisir barat daya Bali. Pameran ini menyuguhkan pengalaman imersif dari instalasi kinetik, augmented landscape, hingga spekulasi antarmuka yang mengeksplorasi planet sebagai sistem hidup yang bisa diprogram, diurai, bahkan dibangun ulang.
Dari daftar nama-nama peserta ArtSubs #2 yang dipajang di dekat pintu masuk, bisa terbaca nama-nama perupa terkenal, antara lain: Agus Suwage, Arahmaiani, Gatot Pujiarto, Goenawan Mohammad, Entang Wiharso, Eko Nugroho, Dadang Rukmana, Dadang Chritanto, Iwan Yusuf, Melodia, Moelyono, Nasirun, Nyoman Nuarta, Putu Sutawijaya, Rudi Mantofani, Tisna Sanjaya, dan sebagainya.
Sayangnya, tidak ada petunjuk nama-nama itu ada di zona berapa. Sehingga harus telaten satu persatu mengamati label yang dipajang di sebelah ratusan karya. Kerja ini lumayan melelahkan dan gampang ketlisut. Tisna Sanjaya misalnya, perupa Bandung yang selama ini dikenal dengan karya instalasinya. Ternyata kali ini menyajikan 5 buah karya etsa di atas kertas (72×74,5 cm) hitam putih yang dipajang dekat pintu masuk. Hampir saja luput dari perhatian.
Sedangkan Moelyono, perupa Tulungagung ini baru saja pameran tunggal dengan judul “Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa” di Bentara Budaya Jakarta (11-19 Juli 2025). Moel dikenal dengan karya-karya kontroversial, seperti KUD (Kesenian Unit Desa), Seni Rupa Bau, juga pameran patung Marsinah di DKS yang sempat dibubarkan aparat. Kali ini menghadirkan dua karya lukis (122×182 cm) dengan judul: Gamelan Mengapung di Ladang Jagung (sosok perempuan telentang dengan jagung dan gamelan di atas tubuhnya), dan Arit Mengapung di Ladang Tebu (lelaki telentang dengan 8 arit tergeletak di atas tubuhnya).
Nyoman Nuarta, nama ini sangat dikenal sebagai pematung Garuda Wisnu Kencana di Bali, dan belakangan jadi pembicaraan ramai terkait desain Istana Garuda IKN (Ibukota Nusantara) yang diributkan netizen itu. Kali ini dia menyajikan sebuah karya patung logam ukuran sedang di atas tatakan dan satu lagi karya patung setinggi sekitar 4 meter berupa sosok tubuh berselimut jala.
Sedangkan Gonawan Mohammad yang dikenal sebagai jurnalis senior, pendiri majalah Tempo, meski beberapa tahun ini sudah merambah profesi baru sebagai pelukis. Dua buah lukisan hitam putih dipajang di dinding, cetakan kanvas, media campuran akrilik dan tinta Cina dengan judul “Maung” dan “Puncak #1” Juga sebuah cetakan fiberglass dan resin, mirip prasasti ditempatkan di atas tatakan dengan judul “Puncak #2”.
Arahmaiani dari Bandung yang dikenal sebagai pematung, kali ini menyajikan karya kaligrafi yang dibuat dari semacam bantal membentuk huruf Arab berbunyi “Kasih” yang ditempelkan di dinding. Satu lagi lukisan dua dimensi berjudul Song of the Rainbow. Karyanya ini menurutnya diilhami oleh semangat Islam yang seharusnya bisa berlangsung damai dan penuh kasih. “Negeri ini penuh dengan keberagaman, jangan sampai malah berantem sendiri. Bulan November nanti saya diundang konferensi internasional di Doha, bicara soal pengalaman beragama di Indonesia,” ujarnya.
Spot yang pasti laris untuk foto selfie adalah karya Entang Winarso. Sebuah patung ikan Koi raksasa tergeletak di atas meja. Hanya bagian kepalanya yang masih utuh. Sementara beberapa patung orang mengelilinginya, seolah sedang menikmati dagingnya. Karya ini hampir memenuhi satu ruang tersendiri, dengan latar belakang 4 karya tanpa bentuk.
Persis di tengah zona satu, 5 buah karya lukisan dan instalasi karya Eko Nugroho berada di sebuah ruang kecil tersendiri. Salah satu karyanya mencerminkan bagaimana Indonesia masih mencoba membangun dengan judul “(menuju) Indonesia Emas.” Nampak seorang lelaki dengan kepala ditutup semacam kubah masjid, mendorong gerobak berisi bebatuan emas. Di punggung kaosnya tertulis “Tugas Rakyat Menyejahterakan Wakil Rakyat.” Sayang sekali karena ditempatkan di ruang sempit maka lukisan yang besar tidak dapat dinikmati dengan jenak. Menurutnya, karya yang dibuatnya ini dimulai tahun 2019 dan diselesaikan tahun 2025.
Yang juga mencolok adalah karya Nasirun, berupa sebuah patung instalasi kayu yang menggambarkan Buroq, sebuah lukisan panjang berjudul “Semua Ingin Duduk” dan 6 buah serial lukisan kecil.
Karya-karya lainnya yang tak kalah menarik adalah yang memanfaatkan rajutan benang sebagai bahan dasar. Kalau dalam ArtSub tahun lalu hanya Mang Moel yang menghadirkannya, kali ini ada beberapa perupa yang menyajikan karya benang dan kain. Di antaranya, Aphrodita Wibowo dan Apriliana Tri dengan media tufting (sulam). Sedangkan Ajeng Martia, dengan karya berjudul The Stain on The Tableware (2025), menghadirkan ulang alat-alat makan seperti piring, sendok, garpu, gelas, hingga panci dalam bentuk objek tiga dimensi berbahan kain. Sementara Auguste Soesastro menghadirkan karya dengan bahan kapas dijahit di atas kanvas, kain, dan rekaman video. Dua buah boneka manekin tanpa kepala digantung mengenaka busana warna biru dan pink.
Beberapa karya yang agaknya menarik buat objek selfie adalah karya pematung Yogyakarta Sumbul Pranov berupa mobil berupa patung kuning menyerupai mobil gepeng dengan tokoh-tokoh yang merupakan penumpang visual deformasi bentuk. Karya ini juga mengajak untuk berlibur bersama. Juga karya seniman lain berupa mobil VW yang tergulung hingga membentuk bola. Ditambah karya instalasi perahu logam karya Arifin Londo dari Surabaya.
Sedangkan Jompet Kuswidananto menghadirkan karya berjudul “Keroncong Apocalypse” berupa seperangkat lampu gantung namun diletakkan di atas meja, dengan bahan kayu, kain, dan resin. Karya ini adalah bagian dari seri panjang ketertarikan seniman pada musik keroncong yang tak hanya sebagai sebuah penanda sejarah namun juga melihat bagaimana ia mengubah kemurungan menjadi sebuah bahasa gangguan pada kekuasaan. Keroncong adalah ratapan nyaring yang lahir dari luka dan paksa masa kolonial lalu tumbuh menjadi bahasa batin yang terus mengganggu mimpi-mimpi kekuasaan dari masa ke masa.
Wah, masih banyak lagi lah. Dibuat bersambung saja yaa…. (*)