
Soft Sculpture. Patung yang lembut
Catatan Henri Nurcahyo
SENI RAJUT, flanel, benang sulam, katun, dan wool, sanggup menjelma menjadi bahasa visual yang memesona dalam seni rupa kontemporer. Di tangan para perupa, material ini mampu menganyam cerita, menyulam gagasan, dan merajut identitas. Itulah sebagian kecil dari ratusan karya yang hadir dalam ARTSUBS #2 di Balai Pemuda Surabaya (2 Agustus – 7 September 2025).
Kebetulan kali ini, yang tampil adalah para perupa perempuan dengan sentuhan personal, intim, namun kuat. Ini membuktikan bahwa benang pun bisa bersuara lantang dalam wacana seni rupa kontemporer. Tahun lalu, dalam ARTSUBS yang pertama, hadir Mulyana alias Mang Moel, perupa laki-laki, seniman rajut asal Bandung yang telah melanglang buana dengan monster rajutnya, Mogus.
Kehadiran karya seni rupa berbasis tekstil ini menegaskan semangat tema “Material Ways”—bahwa dalam seni, medium bukan batas, melainkan jalan. Jalan untuk menyampaikan makna, membongkar stereotip, dan menenun ulang cara kita melihat benda-benda sehari-hari. Karena dalam dunia seni, bahkan benang pun bisa menjadi napas.
Dan yang menarik, seni rajut atau crochet ini tidak dihadirkan begitu saja, namun ada yang mengolaborasikan dengan benang akrilik dan kain polyster. Ada yang menggabungkan dengan pakaian bekas berbagai jenis tekstil, kawat, dakron, flannel, manik-manik, benang wool, dan benang sulam. Bahkan disatukan dalam sebuah karya Mixed Media Soft Sculpture, berupa pigura besi tahan karat, katun, dan wool. Lantaran bahannya yang lembut maka karya tiga dimensi ini bukan lagi disebut patung (sculpture) dalam pemahaman mainstream melainkan apa yang dinamakan Soft Sculpture. Patung yang lembut !
Konsep karya Alya Nur Azizah (2002) adalah seni rajut atau crochet yang menggabungkan dengan media lain yang dipenuhi warna-warna cerah sebagai respon seni kontemporer yang interaktif. Instalasi tersebut menciptakan karya kontemporer yang menggabungkan dengan material lain sebagai eksperimen terbaru dalam berkarya.
Mahasiswi jurusan Seni Visual di Universitas Telkom, Bandung ini membawa serangkaian karya yang terbuat dari rajut yang menghadirkan komponen warna material yang cerah serta membawa tokoh kartun dan hewan sebagai bentuk imajinasi dan kesadaran alam. Rajut menjadi medium utama, karena ingin menawarkan ritme yang agak lambat dan membutuhkan kesabaran dalam pembuatannya. Berbanding terbalik dengan laju kehidupan modern yang serba cepat.
Penggabungan rajut dan kayu, merespon tema jalan ragam materi dalam seni rupa kontemporer Indonesia di luar seni lukis. Seni bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang kehadiran material yang menyimpan cerita, dan bagaimana mengaktifkan kembali ingatan tersebut melalui objek-objek yang dikerjakan dengan tangan dan perasaan. Melalui karya ini, menciptakan ruang untuk mengenang, bermain, dan merayakan yang personal sekaligus kolektif.
Ada karyanya yang merepresentasikan figur ikonik SpongeBob, juga yang mengangkat tema seni dan alam dengan terinspirasi langsung dari keindahan bentuk dan warna dari ular berbisa khas Indonesia. Serta salah satu karakter ikonik yang menggambarkan hubungan emosional karakter Spongebob dengan Krabby Patty, dan karya-karya ikonik yang merupakan bagian dari seri film kartun. Misalnya karya Morning Cartoons and Threaded Memories, mengenai salah satu aktivitas legendaris dari karakter Spongebob yaitu berburu ubur-ubur.
Apriliana Tri Kusumawati, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2020 ini menghadirkan karya seni tufting. Apa itu? Seni tufting adalah teknik membuat permadani atau karpet dengan cara “menembakkan” benang ke permukaan kain menggunakan alat khusus yang disebut tufting gun. Proses ini menciptakan pola-pola timbul yang bisa sangat variatif, dari yang sederhana sampai yang rumit dan penuh warna. Bayangkan lukisan, tapi medianya adalah benang dan kanvasnya adalah kain tebal. Tufting sempat viral di media sosial, terutama TikTok dan Instagram, karena prosesnya yang visual dan satisfying banget dilihat. Benang seperti menari-nari masuk ke kain dengan ritme yang menyenangkan.
Dengan karya yang berbasis karpet sebagai eksplorasi medium terbaru untuk metodenya, perupa muda asal Yogyakarta ini menyajikan karya berupa figur-figur, aspek kebudayaan, mitos, dan literasi Jawa yang mempunyai narasi menarik, terutama tentang nilai-nilai kehidupan manusia dan perasaan yang mengiringi proses bertumbuh dalam perjalanan hidup.
Pada kesempatan ARTSUBS 2025—Material Ways, Aprilia membawakan karya Patri Sentral, yang mengangkat spirit wayang kapi-kapi, warisan budaya Yogyakarta yang muncul pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII. Karya ini mengangkat tiga karakter — Jatayu, Endrajanu dan Jaya Harima yang membawa misi masing-masing yang bermuara pada satu tujuan bersama.
Sedangkan Aphrodita Wibowo, dengan karya berjudul “Lambat Laun” adalah sebuah karya Mixed Media Soft Sculpture, pakaian bekas berbagai jenis tekstil, kawat, dakron, flannel, manik-manik, benang wool, dan benang sulam. Perempuan dengan panggilan ‘Cemprut’ ini adalah perupa dari Jawa Barat yang mempelajari seni rupa secara otodidak selama 15 tahun. Berkat keahlian alami dari orang tuanya yaitu menjahit, kerajinan tangan, memotong kertas, dan hal lainnya tentang seni dan kerajinan, dia berani banting setir dari studi Hubungan Internasional ke seni rupa.
Nama panggilan ‘Cemprut’ yang sudah dipakai sejak kecil menginspirasinya untuk berkarya dengan warna-warna cerah, ceria, dan spontan dengan tekstil, kertas, plastik, dan sebagainya. Karyanya lebih menceritakan tentang kehidupan pribadi yang memengaruhi pemikiran dan perasaannya sebagai seorang seniman.
Dalam keseharian hidup 1,5 tahun belakangan, Cemprut mulai menerapkan satu gaya hidup baru, tentang mempunyai pakaian sesuai jumlah kebutuhannya saja. Maka mulailah menerapkan decluttering barang-barang di rumah termasuk isi lemari baju. Lalu timbul rasa tanggung jawab atas sampah fashion sendiri, mulailah ia memakai baju bekas sebagai material inti dari karya seni belakangan, termasuk karya ini.
Fast fashion menciptakan beban yang tidak berkelanjutan bagi bumi karena volume produksi dan limbahnya yang besar, serta penggunaan material yang sulit didaur ulang. Sedangkan slow fashion menawarkan alternatif, tetapi tantangan untuk melawan budaya konsumsi massal sangat besar. Bumi memiliki ritmenya sendiri dalam mengurai material, yang jauh lebih lambat dibandingkan laiu produksi dan pembuangan limbah fast fashion. Ini menyoroti ketidakselarasan antara kebiasaan konsumsi kita yang cepat dan kemampuan bumi untuk mengatasinya.
Berikutnya adalah Yudrika Adilla. Alumnus ISBI Bandung kelahiran 1998 ini mengeksplorasi tema identitas, ingatan, serta relasi manusia dengan medium tekstil dan soft sculpture. Ia meyakini bentuk dan warna memiliki daya ungkap emosional serta eksplorasi berbagai medium berlanjut dapat menyampaikan gagasan lebih bebas.
Tiga karyanya punya judul unik: Duduun Dudun, Dadalin (keduanya dengan media benang akrilik dan kain polyster), satu lagi berjudul Dadada (acylic yarn and polyster fabric). Ketiga karya ini lahir dari hubungan intim antara tubuh, ingatan, dan material yang tidak dimaknai sebagai objek, melainkan sebagai perpanjangan sensasi.
Material di sini tidak berfungsi secara utilitarian, melainkan hadir sebagai isyarat emosi: yang menggumpal, yang menempel, yang menggantung, yang terecah dan terbentuk kembali—diartikan sebagai representasi dari tekanan, ketegangan, dan jarak dalam relasi manusia.
Pendekatan visual ini lebih menekankan pada rasa daripada bentuk final. Material menjadi pengingat tentang kedekatan fisik, memori terhadap sentuhan, dan bagaimana tubuh mengingat sesuatu bukan lewat kata, tapi lewat tekstur, berat, dan ketidakseimbangan.
Dan yang paling eksperimental disajikan oleh Agnes Hansela, perupa dari Jakarta dengan serial karya yang menggunakan material kabel dan kawat untuk memahami dan berkolaborasi dengan sifat asli dari bahan kabel dan kawat yang sulit diikat dan dibengkokkan, serta tajam.
Salah satu karyanya yang berjudul Stream (2025) berangkat dari kata stream dalam bahasa Inggris yang memiliki dua makna, yaitu “aliran” (dalam hubungannya dengan sungai) dan juga aliran data. Dari karya tersebut, Agnes memanfaatkan dan mengadaptasi motif batik Abhi Boyo dan Kintir-kintiran yang dikat dan diposisikan secara acak, seolah adalah data yang mengalir dan saling bertumpuk. Motif Abhi Boyo menyiratkan sifat pemberani, juga representasi boyo atau buaya sebagai binatang buas sekaligus ikon kota Surabaya. Kintir-kintiran juga merupakan motif yang menceritakan kota Surabaya yang dikelilingi beberapa sungai. Di atas tampilan kain batik itulah nampak beberapa kawat berseliweran.
Akhirnya, dalam pameran ARTSUBS #2, benang, kain, kawat, dan besi bukan sekadar bahan. Mereka menjadi metafora tubuh, ingatan, identitas, bahkan perlawanan. Setiap simpul rajutan, setiap sulaman warna, setiap lengkung kawat yang tampak acak, semuanya menyimpan narasi yang dalam dan jujur. Di tangan para perupa perempuan dan seniman lintas pendekatan, material yang biasa dan lemah-lembut itu berubah menjadi pernyataan kuat, berani, bahkan mengguncang.
Inilah wajah seni rupa kontemporer hari ini—liar tapi intim, lembut tapi lantang, personal tapi universal. Melalui jalur-jalur tak biasa yang ditempuh para seniman ini, kita diajak merenungi ulang: bahwa seni bukan hanya soal bentuk, tapi juga soal keberanian membaca ulang makna dari bahan-bahan paling sehari-hari. Karena dalam dunia yang serba cepat dan nyaris kehilangan tekstur, mungkin justru benang-benanglah yang mengingatkan kita bahwa makna sejati harus dirajut perlahan. (*)