
Rudi Mantofani: Ketidakseimbangan Sebagai Keniscayaan
Catatan Henri Nurcahyo
SEBUAH lukisan besar (200×200 cm) dominan warna hitam dengan bercak-bercak putih tergantung di zona satu pameran seni rupa kontemporer ARTSUBS 2025 di Balai Pemuda Surabaya. Lukisan berjudul “Black Forest #2” ini secara visual kurang menarik perhatian dibandingkan dengan karya-karya lain yang meneror mata. Sementara agak di depannya sebuah kotak putih bujur sangkar agak pipih, (100x35x100 cm), sekilas nampak seperti kotak papan kayu, digantungkan dengan dua buah kawat baja dalam posisi menyudut. Judulnya adalah “Sudut Bumi #2.
Keduanya adalah karya Rudi Mantofani, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1993, lahir di Padang (1973), dan kini tinggal di Yogyakarta. Bersama dengan Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Yunizar, dan Yusra Martunus, Rudi mendirikan Jendela Art Group.
Pernah diberitakan, pada suatu acara lelang yang diselenggarakan oleh Rumah Lelang Indonesia di Singapura, lukisan Rudi Mantofani yang beraliran kontemporer berhasil terjual seharga 230.000 dolar Singapura atau sekitar Rp1,5 miliar. Sebagaimana diberitakan LKBN Antara (2008), lukisan karya Rudi termasuk karya seni termahal yang dilelang pada acara yang juga menampilkan karya Affandi dan Lee Man Fong.
Rudi Mantofani bersama 20 perupa Indonesia lainnya masuk dalam daftar 500 pelukis terlaris di dunia berdasarkan Top 500 Artprice 2008/2009 yang disusun oleh sebuah lembaga analis pasar perkembangan pasar seni rupa dunia, Artprice, yang berbasis di kota Paris, Prancis. Selain pelukis, Rudi Mantofani juga dikenal sebagai pematung
Dengan ratusan karya yang disajikan dalam pameran ARTSUBS ini, maka sangat wajar kalau karya Rudi terlewatkan begitu saja. Keberadaannya tidak menarik minat pengunjung untuk berlama-lama menatapnya. Apalagi berswafoto (selfie) di sebelahnya. Bagi yang tertarik untuk mencoba ingin tahu lebih jauh tentang karya tersebut, ternyata tidak ada deskripsi atau konsep karya yang dicantumkan dalam QR Code yang disertakan bersama label judul karya.
Informasi yang didapatkan, hanya sebatas biodatanya, bahwa Rudi Mantofani dikenal dengan gagasan dan ide yang penuh kejutan berupa lukisan dan patung secara abstrak. Baginya, segala sesuatu memiliki daya komunikatif dan kehidupan intrinsiknya sendiri, terlepas dari pemahaman manusia. Pada gaya artistiknya, Rudi menciptakan ilusi visual tiga dimensi dan memperpadat ruang gambar dengan repetisi. Konsep ini dilakukan agar menumbangkan realitas, menafsirkan, dan mendorong penonton untuk mempertanyakan apa yang mereka lihat. Meski demikian, karya-karya Mantofani menyiratkan harapan dan perubahan untuk mengeksplorasi cara-cara baru guna membangun objek yang beroperasi dengan caranya sendiri.
Ada kalimat yang menarik: “mendorong penonton untuk mempertanyakan apa yang mereka lihat.” Nah, apa yang bisa dipertanyakan dari nampakan visual karya Rudi ini? Ternyata, yang terlihat seperti kotak papan kayu ringan itu terbuat dari semen dan pelat baja tahan karat. Rudi sudah mengecoh penonton yang menganggap itu adalah sebuah kotak yang terbuat dari papan kayu. Persoalan medium ini menjadi penting, karena sebagaimana digariskan kurator, bahwa ARTSUBS 2025 berupaya menghadirkan apa dan bagaimana para seniman terkini menggunakan bahan dan medium sebagai bahasa, bukan hanya sebagai alat.
Berangkat dari judul “Sudut Bumi #2” (tentu ada serial lainnya yang tidak dihadirkan) setidaknya bisa menjadi titik berangkat untuk mengapresiasinya. Karya ini seolah menghadirkan paradoks antara material dan ilusi. Semen dan pelat baja—bahan keras dan berat—dibentuk menyerupai kayu—material yang biasa diasosiasikan dengan hangat dan ringan. Dengan menggantungnya secara miring atau menyudut, Rudi menciptakan rasa disorientasi dan ketegangan visual.
“Sudut bumi” mengisyaratkan titik keseimbangan baru, atau barangkali ketidakseimbangan yang harus diterima sebagai keniscayaan hidup. Ia menggambarkan betapa rapuhnya persepsi kita terhadap dunia. Apa yang kita anggap kayu, ternyata semen; apa yang terlihat ringan, ternyata berat. Kawat baja tahan karat sebagai penggantung menyiratkan bahwa kebenaran atau kenyataan itu ditopang oleh kekuatan yang tak terlihat, mungkin nalar, mungkin juga harapan manusia.
Bisa juga dilihat sebagai kritik terhadap kemapanan bentuk dan fungsi, bahwa sebuah “kotak” pun bisa menyudut dan menggantung tak sesuai logika gravitasi. Seperti bumi hari ini, tak lagi datar, tapi juga tak sepenuhnya bulat. Banyak “sudut” di bumi ini yang luput kita lihat.
Sedangkan lukisan berjudul Black Forest mungkin merujuk pada hutan hitam di Jerman, tapi juga bisa dimaknai sebagai representasi ruang batin yang kelam, misterius, dan tak terjelajahi. Dalam semangat Rudi yang suka mempermainkan ilusi visual dan repetisi, kemungkinan besar lukisan ini menyusun elemen visual yang menyesatkan mata, membuat penonton bertanya-tanya apakah yang dilihat itu benar-benar hutan, bayangan, atau sesuatu yang lain.
Hutan adalah simbol alam bawah sadar, dan ketika ia berwarna hitam, maka itu menunjukkan kedalaman atau mungkin kepekatan pikiran yang belum tersentuh cahaya. Mungkin ini adalah penggambaran alam sebagai entitas yang tak bisa kita kuasai, justru malah kita gelapkan melalui industrialisasi atau kelalaian kita sendiri. Atau lebih personal: Black Forest adalah gambaran labirin batin, tempat kita mencari jawaban, tetapi justru makin dalam kita masuk, makin kita tersesat.
Jika Jika “Sudut Bumi” adalah pertanyaan tentang bentuk dan keseimbangan dunia, maka “Black Forest” adalah renungan tentang kedalaman dan misteri hidup yang kita jalani. Rudi Mantofani mengajak kita untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang tampak. Karena dalam semen bisa tersembunyi kayu, dalam kotak bisa tumbuh sudut, dan dalam gelap bisa berdenyut kehidupan yang tak kita duga.
Apakah memang seperti itu yang dimaksudkan Rudi? Pertanyaan ini tidak penting lagi. Sebagaimana dikatakan seniman Prancis, Roland Barthes, ketika karya dilepaskan dari senimannya, maka ia menjadi hidup sebagai entitas mandiri. Seniman secara simbolik mati. Dan karya menjelma jadi tubuh lain yang siap ditafsirkan siapa saja.
Rudi Mantofani, perupa kontemporer yang dikenal dengan eksplorasi visual penuh kejutan dan ketegangan ilusi, telah menapaki jejak panjang di panggung seni rupa, baik di dalam maupun luar negeri. Pameran-pamerannya menjadi ruang aktualisasi gagasan, sekaligus laboratorium visual tempat ia menggugat realitas dan membuka ruang tafsir baru bagi penonton.
Nama Rudi Mantofani berkibar dalam pameran tunggal di Chouinard Gallery, Hong Kong pada tahun 2003, di mana benih-benih pendekatan visual yang konseptual mulai terbaca. Dua tahun kemudian, pada 2005, ia kembali tampil dalam pameran bertajuk Art Saturdays di Sin Sin Fine Art, Hong Kong, memperluas cakrawala wacana estetikanya dalam lanskap seni Asia. Puncak dari fase awal perjalanan solonya ditandai dengan pameran The Culture of Things di CP Art Space, Jakarta pada 2006, sebuah momen penting yang mempertegas posisinya dalam kancah seni rupa Indonesia sebagai perupa yang berani menggoyahkan batas-batas persepsi.
Selain pameran tunggal, Rudi aktif berpartisipasi dalam berbagai pameran grup yang menempatkannya dalam percakapan global. Ia ambil bagian dalam dua edisi berturut-turut Art Basel Hong Kong, yakni pada 2018 dan 2019, ajang bergengsi yang menjadi etalase utama seni kontemporer dunia. Lalu, pada 2024, ia turut serta dalam pameran Customised Postures, (De)Colonising Gestures di Gajah Gallery, Singapura, sebuah platform yang membongkar narasi kolonial melalui gestur dan tubuh artistik. Dan yang terbaru, pada 2025, Rudi tampil di ART SG di Marina Bay Sands Expo, Singapura, menunjukkan konsistensi dan relevansi karyanya di tengah dinamika wacana seni kontemporer Asia Tenggara. (*)