Cerita Panji Sebagai Peradaban Pesisir
Th Pegeaud menyebut bahwa Cerita Panji adalah salah satu contoh Sastra Pesisir yang menyebar ke Lombok, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Aceh, hingga ke Campa, Kamboja, Filipina. Bahkan banyak sastra Melayu yang juga bagian dari kompleks kesusastraan pesisir. Cerita Panji dan jenis narasi lain yang dikenal sebagai sastra pesisir tidak hanya sekadar merefleksikan budaya pesisir, namun melaluinya juga disebarkan, dimodifikasi, dan direka-ulang norma dan batas budaya bersama. Berdasarkan anggapan demikian, Adrian Vickers melihat perlunya menegaskan kembali peranan penting dari cerita Panji dan peradaban pesisir yang menjadi simpul bagi peradaban bersama di kawasan Asia Tenggara.
Topik inilah yang dibahas dalam acara bulanan Webinar Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jawa Timur dan Komunitas Seni Budaya BrangWetan, hari Jum’at, 19 April 2024, pukul 15.00 – 17.00 WIB. Narasumber kali ini adalah Purnawan Andra, penulis dan pengamat Cerita Panji yang bekerja di Kemendikbud Ristek, dan Adrian Vickers, guru besar Sidney University. Biasanya acara memang diselenggarakan malam hari namun kali ini menyesuaikan dengan waktu Sydney yang lebih cepat 4 (empat) jam. Sebagaimana biasa, acara ini juga menampilkan promotor Budaya Panji, Wardiman Djojonegoro.
Dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas (23/01/2016) berjudul “Panji yang Bahari” Purnawan Andra menulis, Narasi Panji, sebagai bagian dari proses produksi peradaban pesisir, menyediakan struktur logika berupa kearifan lokal yang kontekstual terhadap perubahan dan keragaman. Cerita Panji menguatkan posisi kebaharian Nusantara. Panji bisa berposisi sebagai ideal-type atau proto-type dari apa yang kita sebut sebagai Indonesia, orang Indonesia yang bahari, berbasis adat dan adab primordialnya. Di dalamnya, terdapat karakteristik kebahariaan yang menjelma dalam wujud manusia. Manusia kosmopolit, petualang, egaliter, terbuka (pikiran dan hati), akseptan, multikultural, dan semua karakter atau sifat terbaik yang dibutuhkan manusia dan kelompoknya.
Oleh karena itu, tulis Purnawan, diperlukan upaya strategis melalui kebudayaan untuk merevitalisasi diri sebagai bangsa bahari. Sosok dan konsep pemikiran cerita Panji bisa menjadi refleksi mutakhir yang relevan dengan kondisi kekinian. Ia tak hanya romantisisme imaji dan narasi, tetapi juga basis logika yang membuka ruang pemaknaan. Hal ini penting untuk merumuskan rancangan strategi kultural masa depan bangsa yang lebih cemerlang dan bermartabat.
Sejalan dengan hal ini Adrian Vickers dalam bukunya “Peradaban Pesisir”(Udayana Press, 2009) menyebutkan bahwa cerita Panji dan budaya pesisir merupakan dua hal yang mewakili sisi lokalitas kawasan Asia Tenggara, dan karenanya menjadi ciri utama kawasan ini. Cerita Panji yang sumbernya berasal dari Jawa pada era Kediri, Daha hingga Majapahit, berkembang luas di budaya yang kini kerap dianggap sebagai budaya “Melayu” dan di daratan Asia Tenggara yang berciri utama Budhis Konfusian. Dimotori oleh budaya pesisir, persebaran seni pertunjukan dan cerita lokal yang berasal dari “Jawa” yang diidentikkan dengan warna dominan Hindu-Budha ke budaya “Melayu” yang diidentikkan dengan “Islam” hingga ke Indochina, menjelaskan adanya satu ikatan kultural di Asia Tenggara.
Budaya pesisir sendiri oleh Vickers dianggap sebagai sebuah peradaban pluralistis yang dalam proses penyebaran dan interaksinya dapat memasukkan unsur dan orang dari luar. Penganut Islam, Hindu, Budha, hingga penganut Kristen dan animisme juga ikut serta dalam pertunjukan budaya pesisir tersebut.
Vickers dengan sumber-sumber seni pertunjukan dan sastra yang disebutnya sebagai cerita Panji melihat ikatan kultural yang dalam istilah Vickers sebagai Peradaban Pasisiran. Cerita Panji yang meski berasal dari Jawa menjadi semacam model yang tersebar, berkembang, dimodifikasi dan direkontekstualisasikan dalam khasanah pelbagai kerajaan di Asia Tenggara.
Menurut Guru Besar Sydney University ini, Cerita Panji menempatkan “dunia Melayu” sebagai bagian dari “dunia Jawa”, pun sebaliknya. Sehingga ada yang “Jawa” dalam “Melayu” dan ada yang “Melayu” dalam “Jawa”. Hal itu makin jelas terlihat jika ditilik pada lebih banyaknya cerita tentang Majapahit dalam cerita Panji yang tersebar di Malaysia dibandingkan cerita Panji yang ada di Jawa – yang justru banyak bercerita tentang Kediri dan Daha.
Sebagaimana artikel resensi bukunya yang ditulis oleh Nanto Sriyanto (Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 12 No. 1 Tahun 2010), Vickers juga melihat cerita Panji sebagai sebuah instrumen penting dalam menjelaskan acuan peradaban bersama yang ada di kawasan Asia Tenggara. Vickers melihat perkembangan cerita Panji dengan keragaman dan kelokalitasannya dapat menjawab sebuah pertanyaan tentang “keteraturan atau keserumpunan apakah yang dapat dicermati di sepanjang kawasan ini?”
Berbagai ragam cerita Panji yang tersebar di Jawa, Sumatera, Malaysia, Thailand hingga ke Indochina menunjukan kekerabatan yang kuat yang ada di kawasan Asia Tenggara. Cerita yang disusun berdasarkan nuansa istana, dan pangeran kelana, menunjukan tingginya interaksi antara satu kelompok etnis dan budaya yang kesemuanya mengacu pada satu kebudayaan bersama yang mengadopsi keragaman. Bahkan interaksi tersebut memungkinkan menembus batas kolonial yang selama ini coba diterabas melalui ide pasca kolonial atau modernitas.
Silakan bergabung:
BrangWetan Komunitas is inviting you to a scheduled Zoom meeting.
Topic: PERADABAN PESISIR CERITA PANJI
Time: Apr 19, 2024 03:00 PM Jakarta
Join Zoom Meeting
https://us02web.zoom.us/j/9302693493?pwd=UUo1NU0yUVB5YmNJUCtrMXI5WWp0Zz09&omn=89435182466
Meeting ID: 930 269 3493
Passcode: PANJI