JEJAK BUDAYA PANJI DI TANAH BANJAR
Oleh Henri Nurcahyo
(repost: Harian Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2024)
Cerita Panji konon lahir pada masa Kadiri (abad 13) dan menyebar luas ke seluruh nusantara seiring dengan kejayaan Majapahit, 200 tahun kemudian. Cerita Panji lantas beradaptasi dengan budaya lokal masing-masing daerah dan negara-negara di Asia Tenggara. Tidak terkecuali di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin, jejak Cerita Panji antara lain dapat ditemui pada tradisi ritual Manopeng.
Cerita Panji seringkali divisualkan dalam topeng lantaran topeng adalah sarana penyamaran sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerita ini berulangkali menggunakan nama dan penampilan yang berbeda untuk menyamar. Panji Inukertapati menyamar sebagai Panji Wasengsari, Panji Jayakusuma, Panji Kudawanengpati, Joko Kembang Kuning, Remeng Mangunjaya, Ande-ande Lumut, Enthit, dan sebagainya. Dewi Sekartaji juga menyamar sebagai pria tampan bernama Panji Semirang, menjadi pemusik dengan nama Warga Asmara, Dewi Limaran, dalang Kuda Narawangsa, dan sebagainya. Penyamaran juga dilakukan para kadeyan (pengawal) Raden Panji dan Sekartaji.
Itulah sebabnya jejak-jejak Budaya Panji seringkali ditemukan dalam bentuk topeng, baik sebagai benda visual, dalam bentuk tarian, atau juga seni pertunjukan. Seperti yang ada di kampung Banyiur, Banjarmasin Barat, ada tradisi bernama Manopeng. Dari namanya saja terkesan kuat dengan asal katanya, yaitu topeng.
Putri Yunita (paling kanan). Foto Trekyani Kemendikbud
Manopeng adalah ritual tahunan untuk menyucikan benda-benda pusaka seperti keris dan tombak, serta terutama topeng berusia ratusan tahun, yang dilakukan oleh keluarga keturunan (juriyat) pemilik pusaka tersebut. Proses penyucian itu dilakukan selama empat hari berturut-turut melalui serangkaian ritual berupa ziarah ke makam leluhur (Buyut/Datuk Engot), membuat sesajian, wadai (jajanan) sebanyak 41 macam, menapungtawari (memercikkan air kembang), memperapeni (mengasapi), dan pergelaran “tari topeng” yang dijalankan dalam kondisi trance hingga proses pengembalian arwah ke asalnya. Manopeng dilakukan untuk menolak bala dan meminta berkat keselamatan dari leluhur dan roh nenek moyang.
Gelar Tari Topeng itulah yang biasanya menjadi daya tarik masyarakat menonton berbondong-bondong menyaksikannya meski sebetulnya tidak dibawakan sebagaimana tarian pada umumnya. Mereka yang menari terlihat tidak ada pola gerak yang baku, cenderung intuitif belaka, bergerak-gerak sesuai dengan karakter topeng yang dikenakannya. Bahkan di kalangan penonton pun banyak yang terlibat dalam tarian tersebut manakala sudah mengenakan topeng, tanpa harus menguasai dasar-dasar menari. Mereka baru bisa menari ketika dikenakan topeng yang cocok dengan karakternya oleh seorang pawang.
Ritual Manopeng
Disebutkan oleh Mukhlis Maman dalam bukunya “Topeng Banjar” (Taman Budaya Kalsel, 2012), berdasarkan fungsinya secara garis besar bentuk penyajian tari Topeng Banjar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Tari Topeng yang bersifat ritual, sering pula disebut Bawayang Topeng atau lebih akrab disebut Manopeng. Dan tari Topeng yang bersifat hiburan atau disebut Batopeng Wayang atau sering disebut Tari Topeng saja.
Menurut Putri Yunita Kumala Sari, akademisi Universitas Lambung Mangkurat yang meneliti Manopeng, ada 8 titik di Kalsel yang memiliki tradisi Manopeng. Memang tidak semuanya masih berlangsung, sebagian besar sudah tidak berlanjut lagi. Hanya tersisa Manopeng Banyiur di Banjarmasin Barat, kemudian Manopeng di desa Barikin kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) yang menjadi asal mula penyebaran Manopeng. Lantas Manopeng di Sei Getas Kelurahan Lepasan, kecamatan Marabahan, kabupaten Barito Kuala.
“Yang di Marabahan disebut Batuping, mereka memainkan Topeng Panji Bakumpai,” tambah Setia Budi, Pembina Lembaga Adat Papikat Sei Getas di Lepasan. Akademisi Unlam ini membina para pelaku Batuping latihan seminggu sekali.
Suku Dayak Bakumpai adalah salah satu sub-etnis Dayak Ngaju yang beragama Islam, terutama mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya.
Pemain gamelan Batuping di Marabahan. Foto Henri Nurcahyo
Manopeng (Batopengan) Banyiur diselenggarakan setiap bulan Muharram, mulai hari Jum’at hingga Senin pagi, tanpa ada kepastian tanggalnya. Tradisi yang semula dimaksudkan sebagai ritual membuka kampung ini tetap dilangsungkan meski pernah pandemi melanda negeri ini. Sebagaimana Manopeng lainnya, persamaannya adalah bahwa ritual tersebut juga menjadi sarana silaturrahim keluarga besar pewaris (juriyat) pusaka dari berbagai daerah. Aspek silaturrahim ini terjadi karena pengaruh masuknya Islam yang dianggap masih selaras dengan tujuan semula, yaitu memperpanjang usia dan menolak segala malapetaka melalui panjatan doa.
Sedangkan di Barikin menjadi satu rangkaian dari ritual Manyanggar Banua (selamatan kampung), selamatan rumah, atau juga nazar, biasanya diselenggarakan tergantung keputusan Dewan Adat atau diperlukan ketika ada kerabat yang memerlukan pengobatan.
Topeng-topeng pusaka yang menjadi warisan keluarga disimpan dalam sebuah kotak. Diperlukan ritual khusus untuk membukanya. Tidak harus setahun sekali ketika diselenggarakan Manopeng, melainkan manakala dibutuhkan untuk acara syukuran memiliki kendaraan baru misalnya. Atau ada kerabat yang membutuhkan penyembuhan. Untuk itu harus disediakan sebuah piduduk (semacam mahar) dari pihak yang membutuhkannya, berupa sebuah bokor berisi beras, gula merah, hintalu (sebutir telur mentah), sebutir kelapa, cermin kecil, jarum dan benang jahit, serta uang ringgit. Piduduk tersebut diserahkan kepada ahli waris topeng keluarga H. Andin Ujang. Nama Haji Ujang itu sendiri sekarang digunakan menjadi nama sebuah gang di Banyiur.
Dituturkan Putri, pada hari Minggu pagi sampai sore dilanjutkan dengan acara membuat sesajian 41 macam dan membangun panggung ritual secara gotong royong. Minggu sore sampai senja menata sesajian dan topeng di panggung sambil diiringi gamelan Banjar dan musik biola sebagai tanda baundangan (mengundang) para leluhur. Yang dinamakan panggung sesungguhnya merupakan lantai dasar sebuah rumah yang sengaja dirobohkan. Berada persis di tepi sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin. Kebetulan lokasi rumah pewaris topeng ini berada di seberang jalan Banyiur Luar. Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa selamat penolak bala dan memakan sesajian bersama dengan seluruh masyarakat yang hadir. Kalau dulu acara ini hanya terbatas internal keluarga lantaran kesakralannya, belakangan sudah terbuka untuk umum, bahkan mendapat dukungan dari Pemkot Banjarmasin.
Pertunjukan tersebut diawali dengan tarian 7 bidadari yang mengenakan busana dan topeng berwarna kuning. Ketujuh topeng ini adalah perempuan yang juga ditarikan oleh perempuan, tanpa diketahui namanya. Semua topeng ini rata-rata memiliki ciri warna kuning tua atau kuning kunyit, bentuk, dan garis yang mirip. Warna ini merupakan warna khas etnis Banjar yang melambangkan kesakralan. Sebagaimana dikutip dari Putri Yunita dalam bukunya (Manopeng, Tari Topeng Banjar & Model Pembelajarannya. Tahura Media, 2023), dalam mitologi Urang Banjar para bidadari ini turun ke bumi untuk manepungtawari atau mendoakan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian sang dalang menyampaikan mantera-mantera hingga masuklah seseorang yang kemudian dikenakan topeng oleh dalang. Dia tidak tahu apakah yang dikenakannya itu topeng Panji atau Sekartaji. Mereka menari hanya spontanitas belaka. Tapi dia langsung menolak dan bahkan mengamuk manakala karakter topeng yang dirasa tidak cocok. Maka dalangpun menggantikannya dengan karakter topeng lainnya. Ketika dirasa cocok maka dia menari sedemikian rupa tanpa ada kemampuan dasar-dasar menari. Tidak ada urutan.
Kemudian muncullah penari lainnya yang mengenakan karakter topeng berbeda. Demikian seterusnya tergantung siapa yang naik ke panggung. Tarian topeng ini dimaksudkan untuk memanggil arwah-arwah leluhur. Hingga akhirnya muncullah dua pemain yang mengenakan topeng Pentul dan Tambam. Di sinilah terjadi dialog langsung karena kedua topeng yang dikenakannya terbuka di bagian mulut.
Pihak keluarga lantas naik ke panggung menyampaikan maksudnya mengadakan acara keluarga dan meminta tolong agar acara berjalan lancar dan tidak diganggu. Pentul dan Tambam mengaku turun dari kahyangan dan merupakan Datu keturunan keluarga yang datang untuk menengok dan minta makan dari anak cucu. Maka makanlah mereka berdua sesajian yang sudah disiapkan. Kemudian penonton yang duduk mengelilingi arena diperciki dengan air tapung tawar menggunakan daun pandan.
Tidak lama setelah itu masuklah roh Sangkala yang merasuki salah satu dari dua penari tersebut. Di sinilah puncak pertunjukan ini. Penari topeng Sangkala menapung-tawari juriyat, dan tajau (bejana) yang berisi air. Biasanya air itulah yang digunakan untuk dimandikan bagi yang sakit atau diminta oleh masyarakat untuk dibawa pulang sebagai air berkat.
Pada masa dulu ritual Manopeng ini diselenggarakan hingga menjelang Subuh lantaran ada selingan pertunjukan bajapin (tari zapin), bawayang (wayang kulit Banjar), badamarwulan (drama tari dan lagu yang berkisah tentang Damarwulan). Namun kesemuanya itu kini sudah lenyap di Banjarmasin hingga ritual Manopeng harus diakhiri hanya sampai tengah malam saja.
Senin subuh usai sholat Subuh dilakukan ritual mambulikakan (mengembalikan ruh-ruh yang telah diundang untuk kembali ke alamnya) dengan diiringi alunan biola lagu Burung Mantuk. Senin pagi setelah mambulikakan dilanjutkan membaca doa selamat lagi dan menata lakatan memakan bersama lagi sesajian terakhir sisa semalam.
Ritual di Sungai Martapura – Foto Henri Nurcahyo
Misteri Narasi
Pengaruh budaya Jawa memang menyebar di tanah Banjar. Bisa jadi sejak abad XII masa kerajaan Kadiri, yang kemudian bercampur dengan budaya daerah lain dan diekspresikan dalam beberapa bentuk kesenian, antara lain Wayang Gung, Kuda Gepang, Kuntau, Mamanda, dan sebagainya. Juga Wayang Sampir, wayang kulit Banjar yang dipentaskan untuk memenuhi hajat atau nazar dengan alur cerita yang masih mengadopsi Mahabharata dan mengacu sejarah masyarakat Banjar.
Tidak ada narasi khusus yang menyertai selama pertunjukan Manopeng berlangsung. Padahal, dari sekitar 20 topeng yang tersedia terdapat beberapa karakter topeng yang akrab dalam Cerita Panji. Di antaranya: topeng Panji, Sekartaji, Tumenggung, Gunungsari, Kelana, Sangkala (Batarakala), serta topeng Pantul dan Tambam (para pengawal). Hal ini mengindikasikan bahwa ada jejak Panji dalam tradisi topeng di tanah Banjar. Budaya Panji masuk Banjarmasin sudah sejak zaman Hindu Buddha dan kemudian bercampur dengan masyarakat Banjar yang kompleks dari Dayak sampai Islam.
Lantas mengapa dalam Manopeng Banyiur tidak ada narasi lakonnya? Apalagi dalam kotak itu juga tersimpan beberapa wayang (Semar) kuno yang ikut disucikan, dan asesori yang kemudian dijadikan pelengkap pergelaran. Bahkan juga masih tersisa ketopong, jamang (sejenis penutup kepala) yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Gung.
“Bisa jadi dulu ada ceritanya Pak, tetapi ulun tidak tahu seperti apa,” jawab Ferdi Irawan (24 tahun), pewaris dan sekaligus dalang Manopeng Banyiur.
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia untuk Remaja tahun 2020 inilah yang sekarang ini berperan sebagai pawang sekaligus dalang Manopeng Banyiur. Ditambah lagi statusnya sebagai mahasiswa jurusan tari pada Fakultas Seni Pertunjukan sangat memungkinkan untuk melakukan revitalisasi gerakan-gerakan tari dan menjadikan manopeng sebagai seni pertunjukan tersendiri bersama-sama dan mendapat dukungan sepenuhnya dari dosennya, Putri Yunita, yang kajian S-1, S-2, dan sekarang sedang S-3 khusus membahas Manopeng. Putri sudah melakukan penataan gerak, sturuktur, dan sajiannya sehingga Manopeng dapat disajikan sebagai seni pertunjukan yang menarik meski tidak harus menggunakan topeng yang asli.
(Manopeng Banyiur yang dikemas dalam seni pertunjukan inilah yang akan disajikan dalam Festival Panji Nasional di Jakarta bulan Oktober 2024 nanti.)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Putri Yunita, Komite Tari Dewan Kesenian Banjarmasin. Bahwa di Banjarmasin tidak ada narasi sebagaimana di Bakumpai yang masih dapat ditemukan narasinya. Putri masih mencari jawaban, apakah yang di Banyiur sebelumnya ada, kemudian di suatu generasi mulai putus tradisi narasi cerita atau plot alur topeng itu. Ataukah memang dari awal seperti itu. Karena memang tidak banyak narasumber keturunan yang tahu persis mengenai tradisi mereka. Yang sepuh-sepuh (tua) sudah mulai berpulang. Kecuali tinggal satu, yaitu Julak Imin, yang sekarang tinggal di Balikpapan bersama anaknya.
Bersama para pemain Batuping di Marabahan – foto Okky
Sementara yang terjadi di Desa Lepasan, Marabahan, narasi Cerita Panji yang dalam pergelaran Topeng Panji Bakumpai kurang lebih sebagai berikut:
Dikisahkan Dewi Sekartaji yang telah bertunangan dengan Jinggan Anom. (Bukan nama samaran Raden Panji Inukertapati, yang dalam pertunjukan ini Raden Panji hanya membuka acara.) Sekartaji hendak dilamar oleh Raja Klana Dasamuka. Namun Sekartaji menolak sehingga Raja Klana marah dan memerintahkan anak buahnya untuk memenggal leher Sekartaji. Kepala Sekartaji lantas dibuang ke laut. Ayah Sekartaji tentu marah, sehingga memerintahkan untuk mencari kepala putrinya. Ketika kemudian ditemukan, kepala itu dibawalah ke hadapan para tetua, dibacakan mantra berulangkali, sehingga sedikit demi sedikit tumbuhlah bagian lehernya, dadanya, tangannya, perutnya, hingga kedua kakinya. Maka Sekartaji kemudian hidup kembali. Dahsyat. (*)
HENRI NURCAHYO
Wakil Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur. Penulis dan Pegiat Budaya Panji.