Mencari Panji di Candi Rimbi
Catatan Henri Nurcahyo
Dalam daftar 20 situs purbakala yang terkait dengan Cerita Panji terdapat nama Candi Rimbi yang ada di desa Pulosari, kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Daftar itu dibuat oleh Lydia Kieven ketika menulis tesis doktoralnya tahun 2009 di Sidney University. Karena kebetulan sedang berada di kawasan yang tak jauh dari lokasi candi Rimbi, maka persis pada hari pertama tahun 2015, saya menyempatkan diri mengunjungi candi itu. Tujuan saya hanya satu, mencari relief terkait Panji di candi Rimbi. Saya ditemani Layli Ramadani, anak perempuan saya yang sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di UI yang nantinya akan menulis tesis Cerita Panji. Ketika mengisi buku tamu, ternyata kami adalah pengunjung pertama tahun 2015.
Berdasarkan data yang saya peroleh sebelumnya, candi yang dibangun pertengahan abad 14 ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Ratu Tribuana Tunggadewi yang wafat tahun 1372 M. Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani memerintah Majapahit pada tahun 1329-1350 M. Dulu pernah ditemukan dua arca Dewi Parwati (isteri Dewa Syiwa) sehingga dimaknai bahwa candi ini adalah candi Hindu atau Syiwa. Dua buah arca yang diperkirakan merupakan pencerminan Dewi Tribhuwana tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional.
Perihal nama Rimbi (Arimbi) itu sendiri konon dikaitkan dengan nama tokoh pewayangan bernama Arimbi, isteri Werkudara atau yang lebih dikenal dengan nama Bima. Entah kenapa dikaitkan dengan tokoh pewayangan yang digambarkan tinggi besar tersebut. Kali ini saya tidak tertarik menelusuri soal yang satu ini. Kapan-kapan saja.
Secara keseluruhan kondisi fisik candi ini sudah rusak. Bagian atasnya jauh lebih kecil dibanding bagian kaki candi. Anehnya bagian atas itu seperti terbelah vertikal sehingga hanya tersisa satu sisi saja dan menampakkan bangunan yang janggal. Candi ini menghadap ke barat, dan di bagian barat terdapat undak-undakan dari batu menuju bagian atas candi. Anehnya, posisi depan candi ini berlawanan dengan posisi jalan utama yang ada di sebelah timur candi. Jadi candi Rimbi membelakangi jalan raya Pulosari yang menghubungkan Bareng dan Wonosalam.
Saya berdiri memandang tubuh candi dari arah barat. Lantaran saat itu hari masih pagi, maka ketika saya potret candi menjadi back light. Agak buram. Dari posisi saya berdiri, nampak jelas bahwa bagian atas candi hanya tersisa di bagian kiri, sedangkan bagian kanan sudah habis sama sekali, maka terciptalah bidang datar dimana pengunjung dapat berdiri di situ. Layli mengajukan pertanyaan pada saya, apakah di bagian tengah tubuh candi juga terdapat deretan relief sebagaimana di kaki candi? Mungkin saja. Sebab yang terlihat saat itu ada beberapa deretan batu yang menampakkan bidang datar sehingga saya curiga bahwa itu adalah batu pengganti dari batu asli yang kemungkinan memiliki relief sebagaimana di Candi Penataran. Atau, bisa jadi kecurigaan saya tidak berdasar, karena bisa saja aslinya memang hanya batu datar seperti itu. Ah sudahlah. Fokus.
Saya mencoba menaiki anak tangga, setelah sebelumnya melepas sepatu sandal. Belakangan saya menemukan ada lembaran tulisan yang meminta pengunjung melepas alas kaki sebelum naik candi. Ketika saya naik itu, tulisan tersebut belum ada. Saya hanya beritikad baik saja, bahwa tidak sepantasnya sepatu sandal yang berlumpur ini mengotori batu-batu candi yang sudah berusia ratusan tahun itu. Dan ketika kemudian saya menemukan tulisan itu tergeletak di halaman candi, segera saya meminta Layli meletakkannya persis di anak tangga pertama. Meski sudah terpotong separuh, namun maksud papan pengumuman itu masih dapat dipahami. Cara ini jitu karena kemudian sekian banyak orang melepaskan alas kakinya sebelum naik. Bisa dibayangkan, mereka yang alas kakinya berlumpur itu kemudian menginjak batu-batu candi. Kesadaran inilah yang nampaknya belum sepenuhnya disadari pengunjung sehingga sampai dipasang papan pengumuman: “Tidak boleh keset-keset di batu candi”
Efektifkah pengumuman itu? Ternyata belum sepenuhnya. Saya menemukan bongkahan batu berupa makara yang tergeletak di halaman candi, biasanya dipakai duduk-duduk oleh pengunjung. Ketika saya lihat di bagian belakangnya, terdapat bekas-bekas lumpur yang dibersihkan dari alas kaki. Mungkin saja yang melakukannya anak kecil. Toh setidaknya orangtuanya perlu memberikan pemahaman mengenai betapa pentingnya memelihara batu purbakala yang sangat berharga tersebut.
Berdiri di bagian datar di puncak candi sebelah selatan, saya berhadapan dengan dinding tegak yang ternyata tidak semuanya disusun dari batu-batu aslinya. Kesan itu langsung terlihat secara awam. Bahkan, ada sebagian yang diganti dengan susunan batu bata dan semen. Jadi terlihat aneh, ada struktur batu bata dan semen di tengah bangunan bebatuan.
Dari ketinggian bagian atas candi itu, saya melihat ke halaman sebelah selatan dan barat banyak batu-batu berjajar rapi yang tentunya merupakan bagian dari bangunan atas candi tersebut. Dari tempat ini, memandang berkeliling sekitar candi terlihat pemandangan indah sawah dan pepohonan serta suasana desa yang nyaman. Tentu saja, saya tidak bisa melihat bagian utara candi dari posisi saya berdiri karena terhalang bangunan candi yang seperti dinding pembatas.
Mencoba Membaca Relief
Saya kembali turun, dan langsung fokus mengamati deretan relief di kaki candi. Sebagian sudah rusak bahkan hilang sama sekali. Dari mana sebaiknya saya mulai mengamati? Saya ikuti saja petunjuk dari hasil browsing saya dari laman Perpustakaan Nasional, yang menyebutkan: Relief dipahat dengan teknik datar (wayang style) yang sangat indah dan halus tersebut dapat dikatakan masih utuh. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi utara.
Oke sisi utara, saya pilih saja di bagian paling ujung di sisi timur. Dari beberapa panil batu itu tergambar ada seseorang sedang memegang punggung seekor binatang (mungkin anjing) yang sedang tiduran. Di atas gambar binatang itu tergambar hiasan sulur-suluran yang sangat besar, mulai dari sudut kanan bawah, dan berlanjut hingga di bagian atas sosok lelaki itu dan menjadi hiasan sisi atas panil. Di bagian kanan terlihat seperti bunga besar yang sedang mekar. Saya tidak berusaha menebak gambar pohon apa atau hanya sekadar hiasan. Yang saya perhatikan adalah sosok lelaki yang sepertinya hanya mengenakan kain panjang dengan dada yang terbuka. Tangan kanannya seperti memegang sesuatu alat atau entah apa. Tetapi saya amati kepalanya, benarkah dia sedang mengenakan tekes yang menjadi ciri khas Panji? Atau, kebetulan bentuk potongan rambutnya saja yang menyerupai tekes?
Saya bergerak ke arah kanan. Terdapat relief binatang dengan hiasan sulur-suluran. Ternyata itu hanya relief selingan, sebab sepanjang saya berkeliling menyusuri deretan relief itu selalu saja terdapat relief sela berupa sosok binatang mirip kelinci dengan hiasan sulur-suluran secara berselang-seling dengan relief yang menggambarkan sebuah adegan tertentu. Meski hanya berupa relief sela, namun sosok binatang yang digambarkan berbeda-beda dan sangat menarik. Sebagian besar posisi binatang itu digambarkan menghadap ke kanan dan kiri secara bergantian. Namun ada juga yang sama arah hadapnya pada dua relief sela yang berdekatan. Entahlah, apakah ada maksud tertentu dengan posisi gambar binatang ini. Saya hanya membayangkan kalau saja gambar relief binatang ini direpro dan dijadikan hiasan rumah, pasti menarik.
Melewati relief ragam hias itu, saya menemukan panil relief yang menarik. Karena kondisinya masih lumayan bagus, saya amati dengan jelas seperti sosok lelaki yang mengenakan surban besar di kepalanya dengan selendang tersampir di pundaknya. Apakah dia gambaran seorang Begawan? Atau mungkin semacam ulama, pendeta atau orang suci dalam agama. Yang jelas di depan lelaki itu terlihat seperti burung garuda besar sedang duduk bersimpuh, tepatnya seperti manusia berkepala burung dan bersayap. Saya teringat dengan gambaran tentang Jatayu, burung yang berusaha merebut Sinta ketika diculik Rahwana dengan membawanya terbang. Terlihat tangan kiri lelaki itu mengelus kepala garuda yang juga seperti mengenakan surban. Apakah makna gambar relief ini? Mungkin pendeta itu sedang memberkati burung raksasa itu. Benarkah ini ada hubungannya dengan cerita Ramayana?
Jangan-jangan manusia berkepala garuda itu adalah Garudeya? Bukankah yang sama juga terdapat di Candi Kidal? Bahkan di Candi Sukuh banyak arca Garudeya dalam ukuran besar, bukan hanya sekadar relief. Garudeya adalah kisah mitologi Hindu yang berisi pesan moral pembebasan (ruwatan) dari perbudakan. Dalam Kesusastraan Jawa kuno yang berbentuk kakawin, mengisahkan tentang perjalanan Garuda membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta. Jika demikian, bisa jadi gambaran seperti pendeta itu tadi adalah Dewa Wisnu yang bermaksud memberikan penghormatan kepada Garudeya karena dedikasinya bersedia menjadi kendaraan Wisnu.
Dan ternyata, ketika saya baca buku ‘Catuspatha Arkeologi Majapahit’ karya Agus Aris Munandar, relief tersebut tergolong relief pandu (hanya representasi dari satu cerita panjang), yang menunjukkan bahwa lelaki bersorban itu bukan Wisnu melainkan ayah Garudeya. Kalau ada relief garuda berhadapan dengan perempuan, itu ibunya.
Relief yang berikutnya sulit saya pahami, saya lewati saja sementara ini, namun yang berikutnya seperti menggambarkan sosok Biksu (Bikhu) lantaran terlihat mengenakan pakaian khasnya (namanya saya lupa) seperti kain yang hanya disampirkan di salah satu pundak. Sementara di sekitarnya seperti pepohonan yang rimbun. Mungkin ini gambaran Biksu sedang meditasi di hutan. Mungkin saja.
Berikutnya, nampak gambaran relief yang sangat unik. Terlihat seperti sebuah gentong raksasa dengan dua kepala laki-laki dan perempuan menyembul di atasnya. Sepertinya mereka berendam dalam gentong tersebut. Apakah maksutnya? Ada yang mengartikan mereka adalah sepasang pengantin. Darimana tahu kalau mereka pengantin? Berikutnya ada relief yang menggambarkan seorang lelaki seperti mencangkul, di depannya seorang wanita berpayung. Selanjutnya nampak seorang lelaki berjalan menunduk seperti memperhatikan sesuatu di depannya. Berikutnya lagi tergambar seorang lelaki seperti memegang sebuah balok kayu yang ujungnya menyentuh tanah. Selain relief gentong itu tadi, relief-relief berikutnya tidak menarik perhatian saya.
Baru kemudian saya temukan dalam urutan berikutnya ada relief yang agak menarik. Nampak seseorang yang tangannya memegang sebuah benda yang lubang-lubangnya menyerupai stupa Borobudur. Tetapi proporsi benda menyerupai stupa itu lebih mirip seperti sangkar burung. Sementara di depannya entah gambar apa, menyerupai binatang besar atau mungkin manusia yang sedang duduk dengan kedua kakinya diangkat.
Panji dalam Surya Majapahit
Maka persis di sudut barat laut, saya temukan satu panil relief dengan gambar yang istimewa. Sepintas saya langsung mengenalinya sebagai lambang Surya Majapahit yang sudah terkenal itu, terutama karena juga digunakan sebagai lambang Universitas Gadjah Mada (UGM). Di seputar lambang tersebut terdapat hiasan bunga-bunga yang berpencaran. Tetapi yang sangat menarik adalah gambar di tengah lambang Surya Majapahit tersebut. Benarkah itu menunjukkan gambar Panji dan Sekartaji yang terkenal itu? Bukankah posisinya mengingatkan pose di Candi Penataran yang disukai oleh Lydia Kieven? Sayang kondisi fisik relief ini agak rusak, aus, sehingga saya hanya bisa menduga bahwa itu mirip pose Panji-Sekartaji. Kalau dugaan saya betul, alangkah menariknya ada gambar Panji-Sekartaji berada dalam lingkaran Surya Majapahit.
“Iya, terus kenapa kalau betul begitu?” tanya Layli. Saya tak bisa menjawab. Iya, kenapa? Apakah hanya untuk menunjukkan bahwa Kisah Panji memang hidup pada masa Majapahit? Bukankah hal itu sudah tegas-tegas dapat dibaca dari keberadaan relief Kisah Panji di candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit, sebagaimana sudah dijelaskan oleh Agus Aris Munandar? Apakah posisi Kisah Panji itu memang sedemikian istimewanya pada masa Majapahit sehingga perlu dibuat gambar di dalam lingkaran Surya Majapahit?
Dalam makalah yang ditulis Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti (Makna Kisah Panji) yang disampaikan dalam seminar Cerita Panji di Perpusnas akhir Oktober tahun lalu dijelaskan, ketika Kisah Panji dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi, tentunya pada waktu itu telah dikenal adanya berbagai cerita tentang Panji sebagai acuannya. Relief-relief cerita memang dipahatkan dengan mengacu kepada sesuatu kisah tertentu, namun tidak seluruh rangkaian kisah itu dipahatkan, melainkan hanya beberapa adegan saja yang dianggap penting dan dipandang dapat mewakili seluruh kisah secara lengkap. Adegan-adegan penting dalam suatu penggambaran relief itulah yang kemudian dinamakan dengan Relief Pandu (leitmotiv relief).
Pertanyaannya kemudian, apakah relief Panji-Sekartaji dalam lingkaran Surya Majapahit itu termasuk Relief Pandu sebagaimana dimaksudkan di atas? Sepertinya tidak. Karena itu bukan sekadar menggambarkan sebuah adegan saja melainkan sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga seperti dimaksudkan menjadi lambang tersendiri. Lagi-lagi pertanyaan Layli menggema, “iya, terus kenapa?” Ah saya bukan arkeolog. Kemampuan saya mengapresiasi karya seni rupa ternyata masih tumpul dalam memahami makna relief candi.
Ketika saya buka-buka makalah Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti itu tadi, saya menemukan penjelasan bahwa Kisah Panji sebenarnya adalah simbol kejayaan Majapahit itu sendiri. Simbol pencapaian peradaban kedaton-kedaton di Jawa bagian timur dalam era Majapahit. Mengapa demikian? Sebab Kisah Panji berkembang dan menyebar bersamaan dengan tumbuh dan berjayanya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan klasik terbesar dan terakhir yang dihormati di kawasan Asia Tenggara. Bahkan penduduk wilayah Asia Tenggara dan semenanjung rela mengadopsi Kisah Panji sebagai salah satu khasanah sastra mereka.
Itukah jawaban atas adanya relief bergambar Panji-Sekartaji dalam lingkaran Surya Majapahit?
Selama berkeliling candi mengamati deretan relief itu saya terlibat percakapan dengan Layli. Bagaimana cara membaca makna yang terkandung dalam relief? Tentunya dalam studi arkeologi diajarkan mengenai hal itu. Saya menduga, bahwa sebelum membaca relief tentu harus mengenal terlebih dulu kisah-kisah terkait dengan agama Hindu, Budha, Syiwa termasuk sekian banyak folklornya. Karena berdasarkan kisah-kisah itulah orang zaman dulu membuat relief candi. Mereka hanya melukiskan cerita yang sudah pernah ada, dan bukan membuat karya seni rupa berupa relief yang justru dimaksudkan untuk melahirkan kisah tersendiri. Relief adalah sebuah karya ilustratif dari sebuah kisah. Begitulah yang saya pahami sampai dengan saat ini.
Sesudah relief tersebut, memang sekilas nampak menarik, namun saya tidak ingin menelusur lebih jauh maknanya. Ada relief yang seperti menggambarkan orang berenang, mengunduh buah-buahan dari pohon, ada gajah dalam naungan gazebo, orang berlari sambil berpayung, dan sebagainya. Sampai kemudian ada satu panil yang menggambarkan sosok lelaki dan perempuan saling berhadapan, si lelaki mengenakan tekes. Relief berikutnya juga menampakkan lelaki bertopi tekes, ada relief yang melukiskan burung-burung sedang bertengger di pohon, ada gambaran beberapa bunga teratai sedang mekar, ada pula yang melukiskan seperti sedang memanen (jagung?), bahkan ada pula yang menunjukkan dua orang sedang berjoget. Dan masih banyak lagi.
Meski Lydia memasukkan Candi Rimbi ini sebagai candi yang memiliki keterkaitan dengan Cerita Panji, ternyata tidak ada nama candi tersebut dalam daftar yang dibuat oleh Agus Aris Munandar, sebagaimana yang ditulis bersama Ninie Susanti dalam makalahnya. Dalam disertasinya (yang kemudiaan diedit menjadi buku), Lydia menyebutkan tidak secara jelas menyebutkan bahwa ada Cerita Panji di Candi ini. Dia hanya menduga ada cerita Panji dan Sang Satyawan.
Yang tidak saya mengerti, Lydia menyebut ada figur laki-laki dalam sebuah perjalanan, bertemu dengan seorang perempuan. Pada salah satu panil yang terakhir perempuan memegang anak di lengannya. Entah di bagian panil mana yang menyebutkan hal itu. Oo mungkin panil yang saya sebut menggambarkan dua orang saling berhadapan itu. Ya memang sosok perempuan seperti menggendong sesuatu. Tidak begitu jelas karena relief sudah aus.
Saya mencoba mengira-ira, di bagian panil yang mana ada menurut Lydia ada gambar musisi bermain reyong (entah apa ini). Mungkin yang dimaksudkan adalah panil yang memperlihatkan ada seseorang sedang duduk menghadapi alat musik, di sebelahnya (bisa jadi maksudnya di depan) terlihat seseorang seperti sedang menari.
Kesimpulan saya, barangkali deretan relief yang melingkari Candi Rimbi ini memang bukan merupakan satu rangkaian cerita yang utuh. Ada potongan-potongan cerita tertentu yang sama sekali tidak berkaitan dengan potongan cerita lainnya. Masing-masing hanya digambarkan dalam salah satu atau beberapa panil relief sebagai representasi saja. Tidak mungkin dapat memahami relief tersebut kalau belum mengenal cerita yang menjadi dasar pembuatan relief itu sendiri. Sebab relief adalah ilustrasi, bukan karya seni pahat yang berdiri sendiri. Relief ibarat buku yang memvisualkan ajaran agama, kisah-kisah bersejarah, dongeng, atau cerita apa saja yang bisa jadi cerita asalnya sendiri sudah tidak dikenal lagi.
Dan kalau betul seperti itu, maka candi yang memiliki banyak relief ibarat sebuah perpustakaan dengan banyak koleksi buku yang sangat menarik dibaca. Barangkali ini bukan hanya semata-mata menjadi urusan arkeolog, melainkan siapa saja yang mau sinau dan membaca. Maka tahun baru kali ini saya mulai dengan perintah Iqra’ sebagaimana yang pernah diterima Muhammad di gua Hira’ (*)