“SPIRIT OF PANJI” TEATER KOMUNITAS DI MUSEUM PANJI
TUMPANG, MALANG: Teater Komunitas (TeKo) Malang mementaskan cerita Panji di Museum Panji, Desa Slamet, Kecamatan Tumpang, dengan judul “Asmorosongko” Sabtu malam, (23/7). Pentas ini merupakan rangkaian acara “Spirit of Panji” yang juga menyajikan pameran lukisan, pertunjukan musik, dan video mapping serta dialog budaya di tempat yang sama. Hampir seluruh penonton adalah anak-anak muda yang datang di tempat sejauh 12 kilometer dari pusat kota itu. Teater Komunitas ini dulu dipimpin oleh Elyda K Rara yang kemudian mendirikan komunitas teater baru bernama Kamateatra, dan sekarang TeKo dipimpin Bedjo Supangat.
Menurut Bedjo, “Spirit of Panji” lahir dari ruang pergerakan kesenian dan kebudayaan oleh seniman muda yang secara kontinyu menggali dan memahami informasi dari berbagai narasi Cerita Panji yang terus berkembang. Tujuannya, untuk mempopulerkan Cerita Panji di kalangan anak-anak muda.
Dalam perjalanannya TeKo memang banyak menampilkan lakon-lakon Cerita Panji yang dikemas secara kontemporer sebagaimana pernah disajikan pada tahun 2018 menggelar lakon “Panji Anggraini” di Gedung Cak Durasim Surabaya. Kemudian dalam event Festival Panji Nusantara di Malang (2019). Bahkan tahun 2020 TeKo memodifikasi Cerita Panji dengan lakon berjudul “Panjul” di Rumah MCH Kota Malang.
Kisah Panji yang disajikan bukan dengan cara konvensional dan tradisional tetapi dalam gaya kontemporer khas anak muda. Pertunjukan yang digelar di depan tiruan Candi Boko ini mengetengahkan sosok-sosok lelaki bertelanjang dada (Rahmandahani, Guido Cahaya Saputra, Lanang Wibawa), semuanya kepala plontos, tubuhnya dibalur dengan bedak putih, bagian bawah tubuhnya dibalut kain panjang putih. Salah satu di antaranya mengenakan topeng warna emas , berambut disanggul ke atas. Ketiga aktor ini memain-mainkan sapu lidi, ditimpa sorot lampu warna hingga menciptakan bayang artistik.
Dalam keremangan cahaya dan video mapping yang disorotkan ke badan candi, mereka bergerak-gerak secara minimalis sepanjang pertunjukan yang diiringi lantunan musik mantra meditasi. Tidak ada cahaya yang benar-benar terang. Gelap, redup, setengah terang, gelap lagi, redup lagi. Pertunjukan ini bagaikan meditasi panjang yang mencekam. Tidak ada klimaks, tidak ada surprise sebagaimana yang diinginkan penonton. Ini memang pertunjukan monoton yang ngelangut. Benar-benar monoton sebagaimana ritme meditasi, seperti juga detak jantung dan dengus nafas. Tentu saja, cahaya remang-remang sepanjang pertunjukan ini menyulitkan pengambilan gambar.
Keberadaan kolam seluas 9 m x 22 m di depan arena pertunjukan membuat penonton sangat berjarak, tidak bisa mengamati pergelaran dengan cermat. Apalagi dalam suasana remang-remang. Tetapi bukan kejelasan itu yang penting. Permukaan kolam justru memantulkan cahaya dan bayang-bayang pemain yang menciptakan kesan dramatis. Bukan detail yang hendak dihadirkan melainkan keseluruhan suasana yang mencekam.
Dalam penafsiran Teater Komunitas, pertunjukan ini menggambarkan sebuah perjalanan ruang dimensi dari matahari yang terbit dari ufuk timur dan tenggelam di barat. Ini adalah sebuah penafsiran makna di mana Panji menemukan sebuah kebijaksanaan dalam kehidupan, kesabaran dalam pengelanaan, dan ketaatan pada sang Pencipta. Dari cahaya yang tak pernah luput menyinari apa-apa yang dilewatinya, memberi kehidupan bagi seluruh makhluk tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku. Seperti Aku…!! Yang mencintaimu…..Kekasih !!
Sutradara Habiburrakhman atau biasa disebut Bedjo Supangat nampaknya berhasil mengedepankan “pertunjukan suasana” dan bukan gerak-gerak konvensional dan paparan kata-kata.
Setelah pergelaran di Malang ini “Spirit of Panji” digelar di bekas penjara kecil Madiun (6 Agustus), dan Macapat Safa’at , Kasihan Bantul DIY (17 Agustus 2022).
Catatan Proses Kreatif : Jonathan Beryl,
Vissual Mapping : Holution, Ahamad Istiqlal
Artistik : Kale, Kuces, Agung, Arif, Tian
Lighting : Moehammad Wakid
PubDok : Ilham Pratama, Sinedek, Vedivici, Aldhymas. (hnr)
Foto-foto Istimewa, Puteri Elysia