Artikel

Belajar Aksara Jawa di BrangWetan

no-img
Belajar Aksara Jawa di BrangWetan

KALAU kamu mengaku orang Jawa tapi tidak memahami aksara Jawa, apa kata dunia? Apalagi sampai tidak mampu berbahasa Jawa dengan baik, karena sudah kadung terbiasa sehari-hari berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya muncul sindiran “Wong Jawa Kelangan Jawane” alias orang Jawa yang sudah kehilangan (budaya) Jawanya.

Ironisnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelajaran bahasa Jawa tidak diminati di sekolah. Apalagi pelajaran aksara Jawa atau hanacaraka. Mereka yang pernah menguasai hanacaraka semasa sekolah pun sudah tidak lagi mengingatnya. Lupa sama sekali. Kondisi yang demikian inilah, cepat atau lambat, yang menjadikan aksara Jawa bakal punah. Bahkan anak-anak milenial pun juga sudah tidak lagi menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya.

Berangkat dari keprihatinan kondisi itulah maka Komunitas Seni Budaya BrangWetan menginisiasi program “Sinau Basa Jawa” yang dimulai perdana Sabtu (19/9/2020) di sekretariat BrangWetan, Perumahan Pondok Mutiara Blok SB-6 Sidoarjo. Selanjutnya, program berlangsung rutin seminggu sekali,  setiap hari Sabtu, pukul 10.00 – 12.00 WIB.

Program “Sinau Basa Jawa” (belajar bahasa Jawa) ini dimulai dengan belajar aksara Jawa lebih dulu karena dinilai paling mengkhawatirkan menjadi langka dan tidak diminati lagi oleh masyarakat umum. Apalagi, bagi warga Jawa Timur. Hal ini berbeda dengan masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta serta kawasan Jawa Timur sisi barat. Belum lagi pertanyaan bernada pesimistis yang datang dari sebagian masyarakat, “buat apa belajar hanacaraka? Apa manfaatnya?”

Menyikapi kondisi tersebut di atas, Komunitas Seni Budaya BrangWetan tidak hanya berhenti sebatas wacana dan mengeluh saja tetapi langsung menggelar aksi konkrit berupa program belajar bahasa atau aksara Jawa.

Agar tidak membosankan, ke depan program ini juga akan diselingi dengan belajar macapatan (baca puisi Jawa), tetembangan (menyanyi bahasa Jawa), melukis kaligrafi Jawa, bahkan juga termasuk mengenal makanan tradisional Jawa yang termasuk “pala pendhem”, yaitu: Uwi, Bentul, Jewawut, Ganyong, Gembili, Tales dan sebagainya. Belajar Bahasa Jawa nantinya juga akan berkembang menjadi belajar budaya Jawa.

Pada acara perdana Sabtu pagi tadi, hanya diikuti oleh 6 (enam) peserta dengan fasilitator Bapak Murdoko, guru SDN Candi 1 Sidoarjo. Diharapkan ke depan bisa bertambah lagi pesertanya, baik kalangan internal maupun orang luar. Memang kali pertama ini pesertanya masih sedikit, tetapi yang penting berani memulai dari diri sendiri.  Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (mirip slogan kampanye yaa…. )

Yang jelas, karena peserta rata-rata sudah dewasa maka program ini dilakukan dengan metode yang menyenangkan dan sesuai untuk orang dewasa. Hal ini berangkat dari anggapan, bahwa orang yang sudah berumur itu mudah lupa, sehingga kali ini peserta tidak dipaksa untuk menghafal satu-persatu masing-masing huruf Jawa.

Prinsipnya, bahwasanya bagaimana memahami aksara Jawa itu jauh lebih penting ketimbang harus menghafal.  Karena itu untuk sementara boleh nyontek di buku. Karena kalau hanya menghafal bisa lupa, tetapi kalau memahami akan lebih mengendap dalam ingatan. Karena itu program ini tidak dimulai secara berjenjang sejak awal dengan cara menghafal masing-masing huruf dalam abjad Hanacaraka,  melainkan langsung praktek menuliskan nama masing-masing dan kata atau menulis kalimat pendek. Dengan cara itulah maka peserta langsung belajar bagaimana penggunaan masing-masing aksara, apa saja kaidahnya, apa itu sandhangan, pasangan, aksara rekaan, dan sebagainya.

Bagi yang tertarik ikut, tidak usah memikirkan berapa membayarnya. Untuk sementara gratis dulu karena sudah ditanggung oleh BrangWetan. Hal ini supaya tidak menjadi  beban atau kendala bagi mereka yang berminat.

Nah, siapa yang mau bergabung? Ditunggu ya.

  • henri nurcahyo, ketua komunitas seni budaya brangwetan
In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...