Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk
Judul buku : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan
Penulis : Abdul Malik, Anastasia Priastuti Suryaningtyas, Dwi Sulistyorini, Eka Budianta, Henri Nurcahyo, J.A. Noertjahja, Lucia Priandarini Suryaningrum, M. Dwi Cahyono, Sunu Catur Budiono, dll
Editor : Henri Nurcahyo
Tebal buku : A-5, x + 236 halaman
Penerbit : Komunitas Seni Budaya BrangWetan
NAMA Henricus Supriyanto selama ini identik dengan sebutan “Profesor Ludruk.” Lelaki kelahiran Banyuwangi tahun 1942 ini memang sudah menggeluti ludruk sejak masih kecil, memimpin Ludruk Mahasiswa ketika zaman pergolakan tahun 1966, menjadi pemain, aktif mendampingi kelompok ludruk, hingga meraih gelar Doktor dengan topik ludruk. Alumnus IKIP Malang (S-1) dan Universitas Udayana ini (S-2, S-3) dikenal sebagai budayawan, wartawan senior, penulis buku, dan juga dosen di IKIP Surabaya dan terakhir mengajar di Universitas PGRI Adi Buana (UNIPA) Surabaya hingga memaksa diri berhenti ketika usianya menginjak 80 tahun. Gelar Profesor diraihnya ketika usianya sudah menginjak angka 65 tahun di mana 10 bulan kemudian memasuki masa pensiun.
Pendiri dan mantan ketua Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM) ini dikenal sebagai lelaki yang humoris, punya banyak lelucon yang menghangatkan pembicaraan, bahkan terhadap hidupnya sendiri seringkali dijalani dengan jenaka. Padahal terhadap keluarganya Henricus terbilang serius dan penuh petuah terhadap anak-anaknya.
Menurut Sunu Catur Budiono, Dekan FISH UNIPA, “Henricus Supriyanto termasuk sedikit orang yang mampu melihat dunia dari sisi yang berbeda secara kritis. Beliau piawai mengolah dunia dari sisi yang berbeda ini. Oleh karena itu, guyonan yang dilontarkan oleh Pak Pri (demi-kian teman-teman sejawat memanggil beliau; saya sendiri lebih familiar memanggil beliau Pak Henri) terasa original, segar, dan bernas.”
Henricus Supriyanto, lengkapnya Prof Dr Henricus Supriyanto, MHum., nama ini yang populer sebagaimana tertulis di buku-buku karya ilmiahnya, adalah anak ketiga dari lima anak pasangan Ignatius Supratignjo (1912 – 1965) dengan Monica Sariatun (1918 – 1950). Setelah ibu kandungnya meninggal dunia, ayahnya menikah lagi dengan Katarina Tumi (1928 – 1999) yang menurunkan 8 anak. Sementara Ibu Tumi sendiri sebelumnya sudah memiliki seorang putri hasil perkawinan dengan Rudjijo Darmo Seputro yang meninggal dunia semasa penjajahan Jepang.
“Ayah saya adalah sosok yang tidak hanya memberikan saya keberanian untuk mengejar impian saya, tetapi juga memberikan teladan dalam hal ketekunan dan integritas. Beliau adalah seorang yang penuh dedikasi dalam profesinya, namun tetap rendah hati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan,” ujar Anastasia Priastuti Suryaningtyas, putri pertama Henricus Supriyanto.
Salah satu dari pencetus Busana Adat Malangan ini ternyata pernah menjalani pekerjaan yang beragam. Mulai dari pemain ludruk, guru, buruh pabrik rokok, loper koran, petugas sekretariat umat Katolik (Sekma), tukang ketik bahan kuliah mahasiswa STKM (Sekolah Tinggi Kedokteran Malang), tukang stensil, penjilid diktat kuliah menjadi anggota DPRD GR, dosen, wartawan, penulis buku. Di tengah kesibukannya itu Henricus menempuh kuliah malam hari, menghidupi delapan adiknya hingga terlambat menikah.
Dua karya penting Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M. Hum, selain disertasinya, adalah “Tumapel – Cikal Bakal Majapahit” dan “Ludruk Jawa Timur Dalam Pusaran Zaman.” Tentang ludruk ini adalah bukunya yang kelima, sejak terbit pertama kali pada 1992. Lainnya menguraikan “Pemaparan Sejarah”, “Tonel, Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon”, “Kidungan Pada Ludruk Jatim” dan “Lakon Postkolonial dalam Ludruk Jatim.”
“Dengan lima judul buku tentang ludruk itu saja, saya berani mengusulkan almarhum adalah Bapak Ludruk Jawa Timuran. Prof Henricus Supriyanto berhasil membuat ludruk Jawa Timuran mendapat perhatian masyarakat ilmiah di dalam maupun di luar negeri. Lebih-lebih setelah almarhum mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Udayana di Denpasar, berkat penelitian mengenai ludruk juga,” tegas Eka Budianta, sastrawan yang tinggal di Jakarta.
Buku ini memuat banyak testimoni perihal pemilik perpustakaan pribadi dengan ribuan buku ini sehingga didapatkan gambaran yang luas perihal jasa-jasa dan dedikasinya yang selama ini. Maka dengan terbitnya buku ini tak ubahnya bagaikan ziarah abadi bagi Profesor Ludruk ini. Sebagaimana dikatakan putri bungsunya, Lucia Priandarini, “seseorang baru benar-benar mati jika ia telah dilupakan. Namun ayah saya telah lama mengabadikan diri dalam karya-karyanya. Kini kesaksian sahabat-sahabatnya mengekalkan jejaknya di dunia.” (Eko Haen)