Artikel

OBITUARI (2): HARI-HARI TERAKHIR TJUK KASTURI SUKIADI

no-img
OBITUARI (2): HARI-HARI TERAKHIR TJUK KASTURI SUKIADI

Catatan Henri Nurcahyo

 

TERLALU banyak yang bisa ditulis tentang seorang Tjuk Kasturi Sukiadi. Dalam perjalanan usianya yang mencapai 75 tahun (tiga perempat abad) lelaki yang selalu menolak kemapanan ini sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Meski dikenal sebagai Doktor Ekonomi dari Universitas Airlangga namun Pak Tjuk sudah malang melintang di berbagai posisi, kecuali di lingkungan pemerintahan. Pendiriannya teguh, tak kenal kompromi, tetap tegak berjalan membela kebenaran. Apapun risikonya.

Interaksi saya dengan Pak Tjuk justru sangat dekat sejak masa pandemi Covid-19. Hal ini karena Pak Tjuk selalu menyempatkan diri hadir dalam acara-acara yang saya selenggarakan di Sidoarjo atas nama Komunitas Seni Budaya BrangWetan. Bahkan ketika ada teman Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) minta tolong saya untuk menghubungi beliau, langsung saya berikan alamat rumahnya, dan Pak Tjuk hadir memenuhi undangan acara Dekesda itu. Sepertinya beliau tidak paham bahwa saya termasuk orang yang ikut menakhodai lembaga itu sejak tahun 2000.

Beberapa kali Pak Tjuk menyampaikan salut karena saya dan teman-teman Sidoarjo berani membuat acara justru di tengah pembatasan pandemi. “Kita harus tetap bergerak Dik, jangan menyerah hanya karena pandemi,” ujarnya.

Pak Tjuk sendiri juga memiliki mobilitas yang lumayan tinggi. Dan semua aktivitasnya itu diposting di fesbuk. Ada teman yang mengingatkan soal ini, namun Pak Tjuk menjawab bahwa hal itu sudah diperhitungkan. Yang penting menjaga protokol kesehatan. Maka dari itu ketika beliau hadir di Sidoarjo, pertanyaan yang ditujukan pada saya adalah: “Apakah teman-teman Surabaya ada yang hadir Dik?”

Saya jawab “tidak.” Karena saya memang tidak menyebar undangan. Publikasi cukup lewat fesbuk dan grup WA BrangWetan saja. Yang mau hadir silakan, tidak hadir juga tidak apa-apa. Malah dalam hati saya berharap agar yang hadir tidak usah terlalu banyak. Cukup 20 – 30 orang saja sudah bagus. Hal ini juga untuk menyiasati aturan larangan berkerumun di masa pandemi. Sepertinya Pak Tjuk menyayangkan mengapa seniman Surabaya takut mengadakan acara.

Begitu pula ketika Mahmud Yunus (Willy) menggelar acara bulanan “Padang Bulan di Kampung Seni” yang berada di kompleks perumahan Pondok Mutiara Sidoarjo. Ketika mengundang Pak Tjuk, tanpa tanya apa materi acaranya beliau langsung hadir. Hal itu berlangsung beberapa kali, hingga saat terakhir acara “Refleksi Akhir Tahun” tanggal 29 Desember 2020. Itulah saat terakhir saya bertemu dengan lelaki yang kemana-mana selalu mengemudi mobil sendiri itu.

“Ini mobil hadiah anak saya Dik,” ujarnya.

(Saya tulis saja kenangan terhadap Pak Tjuk dengan cara kilas balik sejak pertemuan terakhir itu).

Acara di penghujung tahun itu sebetulnya merupakan rangkaian acara “Padang Bulan di Kampung Seni” yang biasanya diselenggarakan malam hari sekitar tanggal 15 menurut hitungan bulan Jawa. Namun kuatir kalau malam hujan, maka kali ini digelar siang hari, pukul 14.00. Tapi ternyata siang hari juga hujan. Sehingga acara harus molor. Saya yang datang persis jam dua, ternyata Pak Tjuk sudah hadir lebih dulu.  Hanya ada Amdo Brada, Willy, Sugeng dan saya, berteduh di bawah tenda sambil berbicara banyak hal. Namun sekitar setengah jam kemudian, hujan masih belum reda, datanglah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Tirto Adi MP, mantan sekretaris Depdikbud yang juga seorang penulis produktif. Tiba-tiba Pak Tjuk minta pamit, karena dihubungi isterinya.

“Maaf Dik, saya terpaksa tidak bisa ikut acara, saya harus membeli obat untuk isteri saya,” ujarnya dengan ekspresi menyesal. Sayang waktu itu saya tidak sempat foto bersama.

Dalam beberapa kali kesempatan bersama saya, memang seringkali Pak Tjuk dihubungi isterinya, menanyakan posisi ada dimana, kapan pulang dan sebagainya. Kebetulan isteri Pak Tjuk memang kurang sehat kondisinya sudah sejak lama. Sementara Pak Tjuk sendiri seolah-olah tahan banting tak kenal penyakit. Pergi kemana-mana, hadir di berbagai acara, bahkan menggelar acara sendiri dengan mengundang berbagai kalangan.

Hingga awal tahun baru yang lalu, saya dengar kabar Pak Tjuk terkena Covid-19, sekaligus isterinya. “Mak dheg” hati saya. Apa yang selama ini dikhawatirkan banyak orang terhadap mobilitasnya kali ini terasa akibatnya. Saya segera kontak Mas Heri Purwanto mengabarkan hal ini. Mantan anggota DPRD Jatim dari PDI Perjuangan ini beberapa hari sebelumnya memang bercerita bahwa dirinya sempat dinyatakan positif dalam test SWAB. Hal ini disampaikan dalam percakapan di gedung BK3S Jatim dimana ada saya dan juga Pak Tjuk.

“Tapi hanya dalam tempo seminggu saya berhasil sembuh Mas Henri,” ujar lelaki yang suka mengoleksi lukisan itu. Dikatakannya, kesembuhan itu berkat pengobatan melalui sebuah ramuan khusus yang diberikan oleh seorang dokter secara gratis. Dokter itu tidak mau dibayar, cukup diminta ganti ongkos ojeknya saja.

Karena itulah maka pada tanggal 3 Januari 2021, saya minta Mas Heri membantu supaya Pak Tjuk mendapatkan ramuan yang dikenal ampuh itu. Ternyata Heri malah belum mengerti kalau saat itu Pak Tjuk positif Covid. Saya lantas mengirim WA ke Pak Tjuk:

“Tetap tabah nggih Bapak. Harus optimistis. Saya sudah kontak Mas Heri supaya mengirimkan ramuan yang pernah menyembuhkannya. Semoga Bapak segera sehat kembali. Amiiin. Doa yang sama juga untuk Ibu Tjuk.”

“Matur Nuwun Dik Henri.”

Saat yang sama saya berkomunikasi dengan Heri Lentho soal Pak Tjuk ini. Lentho menyarankan agar mengonsumsi obat China, yang sudah terbukti menyembuhkan Ratna Riantiarno dan suaminya, Nano dan adiknya yaitu Sari Majid yang semuanya positif. Bahkan Bambang Espe juga terselamatkan dari Covid. Atas saran Lentho, saya juga memesan obat itu melalui toko online. Buat jaga-jaga. Jujur saja, saya sempat takut juga.

Kemudian saya kirim WA lagi ke Pak Tjuk.

“Ngapunten Bapak, apakah njenengan sudah ada obat yang tersedia?”

“Sudah juga,” jawabnya.

“Syukurlah.”

Masih tanggal 3 Januari. Menurut berita dari Heri Purwanto yang berkomunikasi dengan Pak Tjuk, “tanggal 30 Desember Pak Tjuk dan istrinya tes swab, hasilnya negatif. Tapi test lagi tanggal 2 Januari, hasil mereka positif. CT dibawah 30. Petang ini mereka opname di Husada Utama karena Bu Tjuk sulit makan dan  tidur. Juga nafas tidak memburu berat. Boleh dikata Mas Tjuk lebih pada menemani ibu dirawat di RS.”

Saya cukup lega membaca pesan WA itu. Keesokan harinya malah Pak Tjuk posting sebuah foto di fesbuk: “Pemandangan bagian kota Surabaya dari kamar RS Husada Utana kamar 711. Senin, 4 Januari 2021. Nggak kalah megah dari kota dunia lainnya.”

Syukurlah Pak Tjuk baik-baik saja. Namun tanpa dinyana itulah postingan terakhirnya di fesbuk. Karena dua hari kemudian, saya kirim WA: “Bagaimana kondisinya Pak Tjuk? Juga Ibu? Semoga sudah membaik nggih.”

Tidak terbaca. Masih dua centang hitam. Kemudian beredar kabar di beberapa grup WA, bahwa Pak Tjuk dan istrinya membutuhkan plasma konvalesen golongan darah O. Plasma ini biasanya berasal dari penyintas Covid yang dipercaya dapat menyembuhkan penderita. Saya hanya bisa berdoa agar yang dibutuhkan itu segera didapatkan untuk kesembuhan mereka.

Beberapa hari tidak ada kabar. Saya tanyakan di grup WA DKS, juga langsung WA ke salah satu puterinya. Dikatakan, Pak Tjuk masih di ruang ICU, justru isterinya yang sudah keluar, dirawat di ruang isolasi. Itu kabar tanggal 13 Januari 2021.

Saya heran, mengapa justru Pak Tjuk yang masih di ICU? Bukankah katanya beliau “hanya menemani” istrinya di rumah sakit?

Hingga kemarin, tanggal 16 Januari sore hari, meledaklah berita duka di sejumlah grup WA dan fesbuk: “Tjuk Kasturi Sukiadi meninggal dunia.”

Radian Jadid yang mengawal sejak di rumah sakit mengabarkan: “Jenasah hanya disholatkan di depan rumah sakit langsung dibawa ke pemakaman Keputih dengan protokol Covid-19 dan disholatkan lagi sebelum malam itu juga dimakamkan di kapling Blok F.1.”

Lantas, bagaimana dengan Ibu Tjuk sendiri? Apakah  beliau sudah keluar rumah sakit? Hari Minggu siang, saya dapatkan kabar dari Radian Jadid: “Ibu Tjuk sudah stabil dan masih di RS Husada Utama. Tensi masih agak tinggi, 150. Besok jawal swab. Hingga siang ini, belum diberi tahu wafatnya Pak Tjuk karena keluarga khawatir drop sebelum test swab besok. Rencana mau dikabari setelah swab.”

Duuh Gusti…… saya gak bisa membayangkan apa reaksi Ibu Tjuk setelah tahu suaminya sudah mendahuluinya. Semoga Bu Tjuk baik-baik saja……  #sedihbanget

 

(Bersambung)

 

Foto 1: Pak Tjuk orasi dalam acara “Padhang Bulan di Kampung Seni” (foto HN)

Foto 2: Saya, Pak Tjuk dan Ali Aspandi, ketua Dekesda. (foto Arsa)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...