OBITUARI TJUK K. SUKIADI (4 – SELESAI): BERTEMAN ADALAH SEBUAH KEGEMBIRAAN
Catatan Henri Nurcahyo
PERTEMANAN adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang Tjuk Sukiadi. Pak Tjuk menjalin pertemanan dengan semua kalangan, semua usia, bahkan juga berteman dengan anak-anak muda yang pantas menjadi cucunya. Sebagaimana salah satu postingannya di fesbuk: “Berteman adalah sesuatu yang paling memberikan kegembiraan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Bahkan dengan orangtua (kalau masih hidup) dan para saudara sekandung pun ukuran kedekatan dan kecintaan kita adalah: “Apakah kita selama ini sudah berteman dengan mereka?”
Karena itu, hampir semua kalangan mengenalnya. Bukan hanya berteman di dunia nyata, bahkan di dunia maya Pak Tjuk sangat aktif posting dan berkomentar di fesbuk. Kalau beliau merasa ada postingannya yang penting, postingan itu juga dikirimkan melalui WA, baik di grup maupun nomor pribadi. Bagi Pak Tjuk, bersuara melalui media sosial adalah sebuah perjuangan tersendiri. Opini-opininya terkesan tegas, juga berani melontarkan kritik meski kepada pihak yang didukungnya sekalipun.
Lantaran pertemanannya yang lintas batas itulah suatu saat saya mendengar Pak Tjuk akan menerbitkan buku yang berisi testimoni teman-temannya, termasuk mantan mahasiswanya. Hal itu sudah dimulai 10 (sepuluh) tahun yang lalu namun sampai sekarang tidak kunjung selesai dan tidak karuan rimbanya.
“Saya sekarang sedang berpikir akan mulai menulis memoar,” ujarnya melalui WA.
“Memoar itu biografi Pak?” tanya saya.
“Iyo Dik Henri.”
“Saya bantu Pak. Kalau diperkenankan menulis biografi, nanti saya wawancarai, trus ditranskrip.”
“Iya Dik Henri. Kita agendakan kapan longgar. Kita bisa ketemu.”
Percakapan itu terjadi tanggal 13 Oktober 2020. Dan ternyata kesempatan untuk wawancara khusus itu tidak kunjung tiba. Sampai suatu ketika, saya ada acara “Pergelaran Seni Budaya Selomangleng” dengan tema “Panji Interactions” tanggal 15 November 2020, saya betemu Pak Tjuk dan terlibat dalam pembicaraan panjang.
Satu hari sebelumnya, saya bertemu Pak Tjuk dalam acara yang diadakan Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda). Ketika beliau bertanya agenda saya, saya sebut acara itu. “Saya pingin hadir Dik,” ujarnya.
Saya terdiam. Apakah itu berarti bahwa saya harus berangkat bersama-sama beliau? Saya tidak mungkin mencegahnya hadir, meski saya tahu itu acara sangat terbatas. Tidak mengundang penonton satupun. Hanya disiarkan live di Youtube. Saya sendiripun tidak diundang. Hanya dikabari melalui WA. Makanya Mbah Endah dari Disbudpar Kota Kediri sebagai panitia heran ketika saya tiba-tiba muncul di kawasan wisata Goa Selomangleng itu.
“Lho, baru saya kabari via WA kok sudah sampai di sini,” ujarnya.
Saya memang datang terlalu pagi. Keluar dari rumah jam 05.00, naik bus yang baru berangkat jam 06.00, ternyata jam 08.15 sudah sampai Kediri. Kawasan wisata Goa Selomangleng masih sepi. Dan ternyata sampai dengan siang hari juga masih sepi. Saya baru sadar ketika membaca papan pengumunan, bahwa objek wisata Kota Kediri ini ditutup. Maklum masih pandemi Covid-19.
Tidak seperti biasanya yang berlangsung hingga sore hari, acara yang diisi oleh seniman Yogyakarta, Solo dan Kediri itu hanya berlangsung 2 (dua) jam saja. Maklum, ini disiarkan langsung di Youtube. Dan begitu acara usai, tiba-tiba ada pesan masuk di Hape saya dari Pak Tjuk:
“Saya sudah di bawah Dik, acaranya dimana?”
Tentu saja saya kaget. Tidak mengira Pak Tjuk benar-benar hadir di acara ini. Sebagaimana biasanya, beliau datang sendiri dengan mobil yang dikendarainya sendiri. Ini satu hal yang membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Sudah sesepuh itu masih kemana-mana nyetir mobil sendiri. Sejauh ini, di Kediri. Duhh.
Segera saya telpon Pak Tjuk baru mengajak naik ke atas, di dekat Goa Selomangleng, lokasi acara pertunjukan yang baru saja usai.
“Saya masih melayat Dik. Lagi pula ini tadi kesasar, saya malah keluar tol di Sidoarjo. Sepertinya saya memang disuruh pamitan dulu ke Jenggala sebelum menuju Panjalu ini,” tuturnya renyah disusul tawa.
Sebagaimana yang kemudian diposting di fesbuk, Pak Tjuk menulis: “Nyusul Dik Henri Nurcahyo Penggiat Seni Budaya dan Penggali – Penyebar Kembali Budaya Panji Jawa Timur kelas dunia. Meskipun terlambat nyampek di Goa Selomangleng, terlambat dan pagelaran seni budaya telah usai masih sempat berkenalan dengan kawan-kawan kelompok penggiat seni dari Yogya yang sedang asyik sarapan makanan dan jenang sengkolo sesajen dengan sangat guyub. Ciri kebersamaan para seniman dalam kehidupan.
Saya sudah lebih 20 tahun tidak mengunjungi Goa Selomangleng yang konon pernah menjadi tempat bertapanya Dewi Kilisuci Putri Prabu Airlangga. Perkembangan pembangunan fasilitas phisik oleh pemerintah Kota Kediri Dhi Dinas Kebudayaan dan Pariwisatanya patut diacungi jempol! Kompleks Gua Selomangleng sudah tidak nampak seram dan memancarkan aura angker lagi.
Paling tidak seperti yang tertanam di benak saya sebagai balita 70 tahun yang lalu ketika menjelang tidur mendengarkan dongeng dari Embah Putri (baik dari sisi ibu maupun dari sisi bapak) tentang Thothok Kerot dan Buto Ijo yang merupakan bagian dari Kisah-Hikayat Panji yang berkembang di kalangan rakyat!
Ke depan tentu sepenuhnya tergantung kepada cipta, rasa, karsa, karya dan kiprah generasi muda Kediri dan sekitarnya. Seperti yang dikemukakan bahwa Kediri adalah Kota Panji yang kenthal dengan Budaya Panji yang mewarnai kehidupan masyarakat pada abad ke 21 menjangkau ke masa depan!”
Begitulah, Pak Tjuk sempat saya perkenalkan dengan Mas Agus Bima Prayitna, seniman Wayang Jantur dari Klaten dan berbincang-bincang para seniman pendukungnya.
Lantas, Pak Tjuk menawarkan pulang bersama-sama. Ini sebuah tawaran yang sulit dijawab. Sebab sebetulnya saya berencana masih akan berlama-lama di Kediri. Saya sudah ada janji bertemu dengan teman di Kediri, bahkan rencananya akan bermalam. Tapi tawaran Pak Tjuk ini merupakan dilemma bagi saya. Lagi pula, kalau bareng Pak Tjuk, pasti beliau yang mengemudi. (Maaf, saya memang tidak gableg nyetir mobil. Padahal saya punya SIM dan kartu tol. Bahkan halaman rumah saya bisa digunakan sebagai garasi. J )
Yang kemudian terpikir, apakah saya hanya duduk manis saja? Padahal saya ngantuk berat sebab semalam kurang tidur. Ahh biarlah, saya tidak sampai hati membiarkan Pak Tjuk pulang sendirian. Janji saya dengan teman Kediri saya batalkan. Dia mengira saya akan pulang dengan teman perempuan sehingga membatalkan janji. J
Ya sudah, karena Pak Tjuk saya anggap masih capek mengemudi. Lantas saya ajak singgah di museum Airlangga di kompleks Goa Selomangleng itu. Museum ini sebetulnya juga masih ditutup karena masa pandemi, tapi kali ini digunakan sebagai transit panitia. Untungnya panitia menyediakan makan siang bagi saya dan Pak Tjuk. Setelah itu Pak Tjuk memotret koleksi museum, dan seperti biasanya kemudian diunggah ke fesbuk.
Dan akhirnya, saya putuskan pulang bareng Pak Tjuk. Sebelum kami masuk mobil, satu hal yang membuat saya terharu adalah, Pak Tjuk lantas menghampiri beberapa penjual yang nampaknya mengira bahwa pertunjukan Panji ini didatangi banyak orang. Pak Tjuk lantas membeli sate bekicot dua porsi, satu untuk saya, katanya. Juga membeli polo pendhem.
“Kasihan Dik, mereka tidak ada yang beli,” ujarnya.
Keluar dari Goa Selomangleng, ternyata Pak Tjuk tidak ingin langsung pulang.
“Dik Henri gak kesusu kan?”
“Tidak Pak, santai saja.”
Nampaknya Pak Tjuk mengajak saya untuk mengenang masa mudanya di Kediri. Meski tidak tinggal di Kediri namun bagi Pak Tjuk Kediri memiliki kenangan tersendiri. Saya lantas diajak mencari sebuah makam tua yang katanya merupakan tempat “musyawarah para Raja” secara gaib. Diceritakan, masa mudanya dulu Pak Tjuk pernah bermain Jailangkung dengan teman-temannya. Pernah “bertemu” dengan arwah orang yang sudah meninggal. Dan di makam itulah … (ah saya lupa bagaimana ceritanya, ada di rekaman, belum saya transkrip).
Sayangnya makam itu tidak diketemukan. Akhirnya kami menuju pulang. Namun belum sempat keluar kota Kediri, Pak Tjuk mampir di toko oleh-oleh.
“Belum sah ke Kediri kalau belum beli tahu,” ujarnya.
Begitulah, beberapa besek tahu dibelinya. Juga selai pisang. Pak Tjuk membeli beberapa paket, satu untuk oleh-oleh saya, katanya. (Dan ternyata, Pak Tjuk mengantar hingga sampai ke halaman rumah saya. Padahal saya sendiri belum pernah sama sekali ke rumahnya.)
Waktu itu hujan mengguyur kota Kediri. Saya duduk di kursi depan di samping Pak Tjuk yang mengemudi. Tiba-tiba terlintas gagasan di kepala saya: Mengapa kesempatan ini tidak saya manfaatkan untuk wawancara sebagai bahan buku biografinya?
Begitulah, sepanjang perjalanan Kediri – Surabaya saya memasang voice recorder untuk wawancara, nyaris tanpa henti, selama hampir tiga jam. Lumayan bisa mengusir kantuk sepanjang perjalanan. Hasil wawancara itulah, serta berbagai bahan lainnya, nantinya akan saya tulis menjadi buku biografi sebagai kado ulang tahun Tjuk Kasturi Sukiadi, tanggal 23 Mei 2021, persis 76 (tujuh puluh enam) tahun. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Tjuk Kasturi Sukiadi telah dipanggil menghadapNYA tanggal 16 Januari 2021. L
Sebagaimana saya janjikan, saya akan tetap menuliskan bukunya. Semoga bisa selesai dan terbit pas hari ulang tahunnya nanti. Soal beaya cetak dan lain-lain, dipikir belakangan saja. Insya Allah bisa terbit.
Jadi, saya sudahi saja catatan obituary ini. Selebihnya saya tulis dalam bentuk buku. Terima kasih sudah membaca serial tulisan ini. Salam.
(Selesai)