Artikel

Jelajah Budaya Tirtayatra (5): AIR MENGUCUR DARI PAYUDARA

no-img
Jelajah Budaya Tirtayatra (5): AIR MENGUCUR DARI PAYUDARA

Catatan HENRI NURCAHYO

DARI Candi Jawi di Prigen perjalanan rombongan Komunitas Seni Budaya BrangWetan diteruskan ke Candi Belahan di Dusun Belahan Jowo, Wonosunyo, Kecamatan Gempol, sekitar 40 km ke arah barat kota Pasuruan. Candi Belahan adalah cagar budaya berupa sebuah pemandian (patirtan) bersejarah dari abad ke 11, pada masa kerajaan Airlangga. Daya tariknya adalah mata air yang dipancurkan berasal dari sepasang payudara sebuah arca, meluncur ke kolam persegi empat dengan ukuran 4×6 meter. Itulah sebabnya candi ini juga dikenal dengan nama Sumber Tetek (Tetek = payudara, Jw).

Rute menuju candi Belahan biasanya memang melalui Gempol, sebelah SPBU ada jalan ke arah barat, Jalan Raya Bulusari, lantas ada perempatan besar belok ke kiri. Ini memang jalur truck pengangkut sirtu dan batu, karena lokasi timur gunung Penanggungan merupakan kawasan penambangan. Jalanan tanah lumayan padat, mungkin berdebu kalau musim kemarau, dan becek saat hujan. Hanya saja menjelang lokasi candi jalanan memang beraspal namun sudah banyak lubang-lubang cukup dalam hingga membuat tidak nyaman.

Berdasarkan informasi Juru Peliharan (Jupel) candi ternyata ada rute yang lebih mudah dan dekat kalau dicapai dari Pandaan. Nah dari masjid Cheng Ho di Pandaan di jalan raya menuju Surabaya, hanya beberapa ratus meter ada belokan ke kiri (barat) menuju pabrik rokok Gudang Garam yang di Gempol. Acuannya ada Halte Gudang Garam. Dari situ perjalanan menuju timur melewati desa-desa, jalanan naik turun namun beraspal  dan mulus, menembus hutan yang didominasi pohon kapuk. Hingga akhirnya langsung muncul dari arah jalan menurun di belakang candi Belahan. Lewat rute alternatif itulah kami melaluinya, bukan seperti saat survey.

Candi yang terbuat dari batu bata ini terletak pada ketinggian sekitar 700 meter dpl (di atas permukaan air laut), merupakan salah satu candi yang belum pernah dipugar. Pada bagian dinding patirtan itu terdapat dua buah patung, yaitu Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Hanya dari payudara Dewi Lakshmi yang mengucurkan air, sedangkan patung Dewi Shri tidak. Di depan patung Dewi Shri terdapat pancuran besar terbuat dari pipa besi tentu masih relatif baru keberadaannya dan sengaja dibuat untuk menyalurkan sumber air yang melimpah.

Pada awalnya di antara dua arca itu terdapat arca yang diyakini merupakan arca Prabu Airlangga, yang berwujud Dewa Wisnu dengan empat tangan, yaitu tangan kiri bagian belakang memegang Sangka, dan tangan kanan bagian belakang memegang cakra, yaitu senjata berwujud roda bergerigi. Sedangkan dua tangan yang lain membentuk sifat Mudra, tulus bersemedi. Sayangnya arca utama tersebut telah lama runtuh dan hanya meninggalkan relungnya saja.

Selain sebagai tempat pertapaan Prabu Airlangga, konon petirtaan ini juga difungsikan sebagai pemandian selir-selir Prabu Airlangga. Patung atau arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri merupakan penggambaran permaisuri Airlangga. Arca keduanya melambangkan kesuburan. Bagian puting arca Dewi Laksmi sempat diperbaiki, karena awalnya air yang keluar hanya jatuh di kakinya. Dikhawatirkan hal ini bisa merusak kaki patung, maka pengelola candi berinisiatif untuk memasang pipa di bagian dada tersebut agar airnya langsung meluncur ke kolam.

Mata air dari payudara ini merupakan simbol amarta, air yang dipercaya mampu memberikan kekuatan, penyembuhan, dan bagi yang meminum airnya, dapat memberikan khasiat awet muda. Meski Jawa Timur dilanda musim kemarau berkepanjangan, air dari petirtaan Candi Belahan tetap mengalir dan jatuh ke kolam yang berada tepat di bawahnya.

Air yang bersumber dari tetek patung Dewi Laksmi ini sangat jernih, hingga sampai sekarang digunakan sebagai keperluan sehari-hari. Oleh masyarakat setempat. Kebutuhan air bersih ini tak hanya dinikmati penduduk dusun Belahan Jowo, namun juga warga desa tetangga yang letaknya jauh di kaki gunung dan dikenal sebagai warga Belahan Nangka meliputi Dukuh Genengan, Jeruk Purut, Gedang, Pojok, Karang Nangka, Dieng, Kandangan serta penduduk Kunjoro yang berbatasan dengan Mojokerto.

Menurut kisah yang belum jelas sumbernya, Soekarno sebelum menjadi Presiden Indonesia, dipercaya pernah mendatangi tempat ini. Tak hanya melihat keelokan patung perempuan yang di bagian dadanya mengalirkan air. Namun, Soekarno juga melakukan meditasi di tempat tersebut. Suasana yang tenang dan sejuk, memang membuat orang betah berlama-lama di sini, termasuk mungkin Soekarno yang pada waktu itu belum menjadi presiden. Nah, setelah meditasi di tempat inilah banyak orang, terutama ahli kebathinan percaya Soekarno mendapatkan semacam ide tentang berbagai hal mengenai negeri ini. Namun, bagi orang awam, Soekarno pada waktu itu mendapatkan semacam wisik atau wahyu kepemimpinan yang akhirnya bisa mengantarkan menjadi presiden di republik ini.[1]

Selain adanya relief pada dinding, relief juga terdapat pada bagian depan bangunan candi yang memiliki jenis relief naratif dan jaladwara, serta bagian bawah bangunan terdapat petirthan. Dari visualisasi tersebut Candi Belahan memiliki makna simbolik gapura sebagai pembatas antara daerah sakral dan daerah profan. Pada bangunan candi memiliki makna simbolik sebagai wujud triangga, yaitu simbol dari pembagian bangunan candi bagian bawah sebagai dunia bawah, bagian tengah sebagai dunia antara, bagian atas sebagai dunia atas atau dunia para dewa. Arca Dewi Sri adalah simbol dari Dewi Kesuburan, Dewi Laksmi adalah Dewi Kemakmuran, sedangkan Dewa Vishnu adalah Dewa Pelindung Dunia. Relief juga memiliki makna simbolik sebagai penambah kesakralan bangunan. Sedangkan pada petirthan bagian bawah bangunan sebagai tempat pemandian yang teraliri air amrta yakni air suci dari gunung penanggungan.[2]

Sementara itu di sisi paling kiri terdapat relief seperti orang tua atau pendeta yang mungkin menggambarkan mahluk kahyangan. Entah apa maksudnya.

Di sekitar candi juga terdapat situs purbakala lainnya yaitu dua buah gapura, sekitar 500 meer di bawah candi Belahan, lokasinya harus melewati halaman rumah penduduk dan tegalan. Penduduk setempat menyebutnya Candi Gapura. Di sebelah bawahnya lagi juga terdapat Prasasti Cunggrang, yang merupakan peninggalan Kerajaan Medang yang berlokasi di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, di lereng timur laut Gunung Penanggungan (Pawitra). Menurut catatan penanggalan yang tertulis di situ, prasasti ini dibuat pada masa Mpu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Tapi dalam Jelajah Budaya kali ini kami tidak mengunjunginya.

Kisah Pelarian Airlangga

Kisah mengenai candi Belahan dapat dirunut pada tahun 1006 M ketika Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibukota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narottama. Tatkala itu Airlangga meloloskan diri dan masuk ke daerah Sambeng, Ngimbang (Lamongan) yang dulunya dikenal dengan nama Gunung Kendeng untuk mengamankan diri bersama Narottama. Situs/tempat pengungsian itu kini disebut Watu Dolog (tempat beristirahat/singgah, tidak jauh dari tempat tersebut juga terdapat situs Sendang Gantung sebuah kolam yang berbentuk kerucut dan airnya mengalir/sumbernya dari atas berpusar masuk ke lubang kerucut membentuk pusaran air.

Kemudian Airlangga melanjutkan perjalanannya ke tempat yang lebih aman yaitu lereng Penanggungan yang kini masuk wilayah Ngoro, Mojokerto. Di sana terdapat situs tempat pertapaan Prabu Airlangga yang diberi nama Jolotundo, Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa.

Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. (Kemungkinan desa ini sekarang bernama Wotanmas yang terdapat Candi Jedong, hn). Pada saat itulah Prabu Airlangga turun dari pertapaannya hijrah ke daerah Japanan, tepatnya di desa Belahan yang kini terdapat situs Candi Tetek atau Sumbertetek.

Relief Gerhana  

Lantas, kapan candi Belahan dibangun? Indikasi tentang hal ini dapat ditemui dalam sebuah relief yang menggambarkan kepala raksasa sedang memakan bulan/matahari. Secara visual ini gambaran gerhana bulan atau gerhana matahari. Tetapi sebetulnya merupakan candrasengkala yang dapat dibaca sebagai tahun 1049 Masehi sebagaimana pendapat Stutterheim (1934) bahwa candrasengkala itu dibaca: 971 Saka  atau 1049 M.

Namun seorang perupa, Aryo Sunaryo memiliki pendapat lain, kemungkinan pahatan ini merupakan sengkalan memet tertua yg dibaca ‘Candra Sinahut Kala’ (bulan dimakan buta Kala) yang bernilai 931 S / 1009 M. Candra sinaut Kala  merupakan ungkapan kalimat yang menunjuk pada pahatan reliefnya (jadi bukan sekadar sengkalan/candrasengkala lamba, tapi sengkalan memet = sengkalan visual). Pada relief itu terdapat bentuk kala (raksasa Rahu) yang sedang menggigit bentuk bulatan (bulan atau bisa juga matahari tapi tanpa sinar?). Sementara 2 sosok di bawahnya, ditafsirkan dewa Candra dan Surya. Gambaran sebuah mitos Hindu yang dikaitkan dengan terjadinya ‘gerhana bulan/matahari’.

Dalam diskusi di fesbuk, Lydia Kieven mengemukakan penafsiran bahwa Banaspati = 1, rsi-rsi = 7, mulut Rahu = 9. Jadi urutan 179, 197, 791, 719 tidak masuk akal, sehingga kesimpulan Stutterheim adalah 971 Saka. Stutterheim menawarkan identifikasi/interpretasi ini secara tentatif. Kemudian dibahas oleh arkeolog-arkeolog lain. Sampai terkini. Sumbernya: ‘oudheidkundige Aanteekeningen’, BKI 1935: hlm 198 (reprint dari 1934).

Sementara itu, kata Lydia Kieven kembali,  Resink punya tafsiran beda: Bukan candrasengkala! Menurut dia: Rahu = 5; tiga rsi = 3, angkasa = 0; air = 4. Tidak masuk akal sebagai angka tahun. Sumbernya dari ‘Belahan’, in BKI 1967, 2, hlm 259.

Diskusi di laman fesbuk menjadi menarik karena Aryo Sunaryo mengomentari:  Jika mencermati visualisasi relief ‘tugu’ itu, kata ‘mulut’ dan ‘banaspati’ menurut Stutterheim memang ada kaitan penafsirannya. Seringkali ornamen kala memang ditafsir pula makhluk hutan yang disebut banaspati, Tapi kemudian kata ‘resi’ lalu ditafsirkan darimana ya?

Lydia Kieven menjawab, mengenai rsi (petapa) = 3, perlu dicari dulu….. (sayangnya Lydia Kieven sedang sibuk sehingga tidak meneruskan diskusi).

Kemudian Rudy Wiratama Partohardono, seorang dalang Wayang Gedog ikut masuk dalam diskusi ini. Rudy mengajukan prakiraan: Mungkinkah, ‘bhuta anahut wulan’? (935 Ç = 1013 M)?

Aryo Sunaryo menjawab, bisa saja dibaca begitu, sebab sejauh ini tidak/belum diketahui cara urutan membaca pepethan (gambar) pada sengkalan. Tapi Wulan nilainya 1 bukan 9. Yang bernilai 9 : antara lain dewa, gapura, leng, wisata, dan yang berlubang. Misalnya, Gapura bhuta mangan wong, atau gapura bhuta anahut buntut pada pahatan gerbang candi Sukuh.

Rudy Wiratama Partohardono menjawab lagi: Dalam beberapa konteks memang seringkali berbeda dalam memaknai angka sebagai bagian kronogram. Misalkan dalam Nagarakrtagama tertulis rasa-tanu-ina, yang dimaksud adalah tahun 1245, karena ‘ina’ atau ‘matahari’ diberi nilai 12, tidak cuma 1. Dalam kasus ‘bulan’ pun, jangan-jangan ada perbedaan cara membaca sengkalan.

“Menarik,” ujar Aryo Sunaryo. Pada kasus ‘Ina’ (Sansekerta, bertalian dengan mangkatnya Gajah Mada) yang berarti matahari kemudian ditafsirkan 12, karena dikaitkan dengan mitos dewa Surya bersama adik-adiknya (dwadasaaditya) yang juga berarti 12. Kadang memang angka belasan dalam sengkalan cukup dilambangkan dengan satu kata.

Diskusi tidak berlanjut, Lydia Kieven belum muncul lagi, sementara arkeolog M. Dwi Cahyono yang saya hubungi melalui WA tidak segera merespon, meski menjawab “iya Mas.” Semoga lain waktu diskusi ini masih bersambung. Dan saya yang bukan arkeolog dan tidak memahami cara membaca relief, tinggal menyimak saja.

(Bersambung)


[1] http://www.ayogitabisa.com/inspirasi/soekarno-pun-tergoda-eksotisme-pemandian-sumber-tetek.html

[2] http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/seni-desain/article/view/41209

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...