Artikel

Anekdot Seniman (4): MEMANFAATKAN TEMAN YANG SAKIT

Anekdot Seniman (4): MEMANFAATKAN TEMAN YANG SAKIT

Oleh HENRI NURCAHYO

BALAI BUDAYA adalah sebuah galeri di Jakarta yang biasa digunakan untuk pameran lukisan. Fungsi sampingannya adalah sebagai tempat penginapan gratis bagi seniman luar kota, khususnya pelukis. Tidak terkecuali Amang Rahman. Nah bagaimana kalau diantara seniman itu ada yang sakit? Jangankan untuk beli obat, beli makanan sehari-hari saja susah. Itulah yang pernah dialami oleh Amang Rahman.

Ketika kemudian Amang jatuh sakit, apa yang bisa dilakukan teman-temannya? Mereka sangat bingung mau berbuat apa. Namun entah siapa yang punya gagasan tahu-tahu Amang dibawa ke rumah Pak Said, seorang tokoh Taman Siswa Jakarta. Mengapa kok Pak Said?

Waktu itu di kalangan seniman Taman Siswa Jakarta dibawah kepemimpinan Said Reksohadiprojo menjadi ruang berkumpul kalangan seniman, seperti: S.M. Ardan, Soekanto S.A., Sobron Aidit, Misbach Jusa Biran, Sjumandjaja, dan Achmad M.S.

Bahkan, sebagaimana ditulis La Febre dalam bukunya tentang Taman Siswa (yang dikutip tirto.id), Ajip Rosidi memutuskan untuk pindah sekolah ke Taman Siswa setelah dia banyak mendengar cerita dari Ardan dan Soekanto tentang Taman Siswa. Sosok Pak Said memang memiliki pergaulan luas di kalangan seniman. Apalagi beberapa seniman yang kemudian ternama pernah dididik di Taman Siswa seperti Ramadhan K.H., Asrul Sani, dan Pramoedya Ananta Toer.

La Fébre menggambarkan bagaimana Taman Siswa Jakarta pada masa pendudukan Belanda tahun 1948 telah menjadi tempat bernaung kaum seniman “kiblik” pendukung Republik Indonesia. Affandi yang datang ke Jakarta saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam ‘Aksi Polisionil’ kemudian singgah dan bermukim bersama anak istrinya di bangunan bekas garasi di komplek Taman Siswa Jakarta.

Kemudian sering singgah pula penyair Chairil Anwar ke garasi tempat Affandi bernaung. Keduanya memang berkawan baik. Setahun sebelumnya Chairil memang berkunjung ke Yogyakarta, dan bekerjasama membuat poster perjuangan ‘Bung Ayo Bung!’ yang terkenal itu. Affandi yang menggambar poster, Chairil yang menciptakan slogan perjuangannya. Di Taman Siswa Jakarta-lah Affandi membuat lukisan Chairil Anwar yang menurut Nasjah Djamin tarikan kuas terakhirnya diselesaikan saat penyair Angkatan ‘45 ini menghembuskan nafas terakhir tanggal 29 April 1949

.[1]

Apakah Amang Rahman juga pernah menjadi murid Taman Siswa? Secara formal memang tidak. Tetapi Amang dengan bangganya seringkali mengatakan bahwa dirinya pernah menjadi warga Taman Siswa yang kala itu berada di Jalan Garuda 25 Jakarta. Amang sangat mengagumi sosok Pak Said yang selalu berpenampilan sederhana, mengenakan kopiah, kemeja lengan pendek, bersarung dan tak beralas kaki. Mirip pakaian santri. Walaupun kemudian hari Said memilih mengenakan sandal dan sepatu sandal serta jas untuk acara yang lebih resmi.

Ketika dilantik oleh Bung Karno sebagai Deputi Menteri P&K pada tahun 1966, Pak Said tidak mengenakan sepatu tapi sandal, mengenakan jas sederhana tapi tak berdasi. Itu kali kedua ia diangkat sebagai pejabat negara oleh Presiden Soekarno setelah sebelumnya menjadi Sekretariat Kepemudaan Negara dan saat diambil sumpah hanya mengenakan celana pendek berbahan drill. Pak Said juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Dari lingkungan Taman Siswa inilah Amang merasa sikap berkeseniannya mulai tumbuh dan ajeg.

Jadi sudah jelas sebabnya, karena kedekatan Pak Said dengan kalangan seniman itulah maka tidak mengherankan manakala Amang mendapatkan perawatan di rumah Pak Said selama beberapa hari. Teman-teman seniman yang biasa menemani tidur di Balai Budaya juga rajin menjenguk Amang setiap hari. Pak Said senang karena Amang tidak kesepian. Dia bangga dengan solidaritas sesama seniman manakala ada temannya yang sakit.

Hingga suatu ketika, Amang Rahman ditanya oleh Pak Said.

“Bagaimana Pak Amang, sudah sehat?”

“Belum Pak, masih lemes.”

“Tapi makannya lancar kan?”

“Belum bisa makan Pak. Hanya minum.”

Sampai di sini Pak Said heran. Lalu dikatakannya:

“Lho, katanya Ibu makanan yang diantar ke kamar Pak Amang selalu habis tak tersisa.”

Amang kaget. Bagaimana mungkin makanan yang tidak pernah disentuhnya bisa habis? Lantas dia teringat beberapa temannya yang sangat rajin mengunjungi Amang di kamarnya.

“Ooh…. Jangan-jangan mereka yang menghabiskannya,” batinnya.

Dasar seniman kelaparan. (*)


[1]Baca selengkapnya di artikel ‘Said Reksohadiprojo, Pamong nan Bersahaja di Taman Siswa’, https://tirto.id/cxgm

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...