Anekdot Seniman (8): ADA SETAN DALAM TOILET
Oleh Henri Nurcahyo
KALAU saja cerita ini tidak disampaikan oleh pelakunya sendiri, saya tidak berani menuliskannya. Karena kejadiannya cukup memalukan. Tetapi OH. Supono, malah dengan bangganya menceritakan kejadian lucu (dan memalukan) itu pada sebuah acara di depan para seniman di Gedung Krishna Mustajab Surabaya. Meskipun sebelumnya saya juga sudah mendengar kisah ini dari Amang Rahman.
O.H. Supono atau akrab dipanggil Pak Pono adalah pelukis yang sukses. Ketika teman-temannya masih menjajakan lukisan dengan cara menggulung kanvas (tentu saja tanpa pigora), dan naik becak ke rumah pembeli, Pak Pono mengggunakan sedan Mercy yang dikemudikannya sendiri. Waktu itu masih sangat langka pelukis punya mobil.
“Kalau saya membawa lukisan naik Mercy, saya tidak malu menawarkan dengan harga tinggi,” ujarnya bangga.
Meski tergolong sebagai seniman kaya namun sebagaimana seniman, pelukis, pada umumnya, penampilan Pak Pono juga biasa-biasa saja. Rambut agak keriting gondrong, baju ukuran besar tanpa dimasukkan, celana sangat sederhana. Bagi yang belum kenal, pasti tidak mengira bahwa dia sudah mapan hidupnya. Setidaknya untuk ukuran pada saat itu, yaitu sudah punya mobil, rumah lumayan megah, dan lukisannya laris manis dengan harga mahal.
Karena itulah Pak Pono menjadi sasaran bagi teman-temannya untuk mentraktirnya makan di warung. Ketika Amang dan Daryono diajak makan maka mereka langsung mengambil lauk daging atau bandeng dan semacamnya yang harganya memang mahal. Minumnya pun kopi susu atau es soda gembira. Pemilik warung pun berkata sinis:
“Gak oleh utang lho.”
“Tenang ae, yang mbayar bapak ini lho,” kata Amang sambil menunjuk Pak Pono.
Pemilik warung itu, seorang ibu, memandang dengan sorot mata tidak yakin, lelaki berpenampilan semrawut itu bisa membayarnya.
Nah suatu ketika, Pono, Amang dan Daryono, pergi ke Jakarta naik kereta api gaya baru. Dalam perjalanan Pak Pono mengeluh perutnya sakit, mau ke toilet. Disarankan ke toilet dalam kereta, Pono tidak mau.
“Gak enak, sepure goyang-goyang, nanti jembret kabeh,” ujarnya.
Solusinya, menggunakan toilet stasiun. Tapi karena kereta api tidak berhenti lama di stasiun maka dipilihlah stasiun Madiun yang biasanya cukup lama berhenti.
Begitu kereta api memasuki stasiun Madiun, Pono bergegas turun mencari toilet.
Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya terdengar peluit dari petugas stasiun yang menandakan kereta akan berangkat lagi. Amang dan Daryono gelisah karena Pono masih belum naik kembali. Waktu itu, tentu saja belum ada handphone, mereka tidak bisa menghubungi Pono. Akhirnya kereta bergerak perlahan, Amang dan Daryono pun pasrah. Apa boleh buat, Pono tertinggal di stasiun Madiun. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk membantunya.
Beberapa saat kemudian, muncullah Pono dari gerbong belakang sambil senyum-senyum. Amang dan Daryono kaget, senang namun juga heran.
“Tak kandani yo, toilet di stasiun Madiun ada setannya,” kata Pono.
“Lho kok tahu?”
“Aku tadi kan buang air besar. Begitu dengar peluit kereta mau berangkat, aku cepat-cepat pakai celana panjang. Ternyata celana dalamku hilang,” ujar Pono serius. ‘Pasti dicuri setan,’ tambahnya.
Kontan Amang dan Daryono tidak bisa menahan tawa.
“Sing nyampir di pundakmu itu apa?”
Pono sangat kaget. Ternyata celana dalamnya yang dikira hilang ada di pundaknya. Tapi dia malah tertawa ngakak.
“Jangkrik, pantesan aku berjalan dari belakang tadi orang-orang melihatku sambil senyum-senyum,” kata Pono.
Amang Rahman, yang juga menceritakan hal ini ke saya pada waktu yang terpisah menambahkan:
“Koen ngerti Hen, celana dalamnya Pono warnae lorek-lorek.” (*)
Foto: Amang Rahman, OH. Supono dan Fadjar Sidik