Artikel

Anekdot Seniman (9): DILARANG MAKAN DAGING KAMBING

Anekdot Seniman (9): DILARANG MAKAN DAGING KAMBING

Oleh Henri Nurcahyo

SELAIN batuk, Amang Rahman juga punya keluhan darah tinggi alias hipertensi. Entah berapa tensinya waktu itu, yang jelas menurut Amang dia harus mengurangi (kalau bisa berhenti) merokok dan pantang makan daging kambing. Satu lagi, biasakan berolahraga. Khususnya pagi hari. Entah dari siapa nasehat itu, tapi Amang percaya. Anjuran sederhana bagi orang kebanyakan ini tentu saja menjadi peraturan yang sangat berat dilaksanakan oleh seorang Amang. Toh dia tidak kurang akal menyiasatinya.

Pagi itu saya sudah bertandang ke rumah Pak Amang di Jalan Kali Kepiting. Ternyata Pak Amang tidak ada di rumah.

“Olahraga sepedaan,” kata Bu Amang.

Wah saya seneng sekali mendengarnya. Bahwa Pak Amang sudah mau olahraga itu sebuah berita besar. Meskipun hanya bersepeda. Selain menggerakkan kaki juga mendapatkan hawa segar di pagi hari.

Namun sekian lama saya menunggu ternyata lumayan juga Pak Amang berolahraga. Saya bayangkan pasti sudah jauh dia bersepeda. Hingga akhirnya Pak Amang muncul di depan rumah mengendarai sepeda mini. Entah punya siapa, saya lupa, mungkin anaknya atau cucunya.

Yang membuat saya heran, dia datang bersepeda sambil merokok.

“Lho, katanya olahraga, kok merokok?”

Pak Amang tidak menjawab. Malah bertanya balik:

Koen kok isuk Hen.”

“Sepedaan dari mana Pak? Kok lama?”

“Pacar Keling.”

“Kan dekat? Kok lama?”

“Memang dekat, tapi saya mampir sarapan di pasar.”

“Sarapan apa?”

“Sate kambing.”

Lhadalah, dilarang makan daging kambing malah andhog sate. Olahraga pagi bersepeda tapi sambil merokok dan masih makan daging kambing, apa artinya? Apalagi kalau masih ngopi.

Sebagaimana diketahui lelaki keturunan Arab ini memang suka daging kambing. Mustahil untuk bisa melarangnya. Apalagi, dalam sebuah acara di kantor Saleh Al Jufri di kawasan Jalan Perak Timur, disuguhi daging kambing dalam berbagai bentuk menu.

“Sudahlah makan saja, siapa bilang daging kambing menyebabkan darah tinggi. Saya ini dokter,” ujar Dokter Saleh yang juga keturunan Arab.

Mendapatkan dorongan semangat ini tentu saja Pak Amang bersuka cita. Memang benar, pantangan makan daging kambing karena menyebabkan hipertensi itu cenderung mitos. Yang jelas,  daging kambing itu sendiri tidak langsung menyebabkan hipertensi, tapi dari pengolahannya. Misalnya, terlalu banyak garam. Lalu, jika diolah dengan cara menggoreng, tentu menggunakan minyak, kalau menggunakan minyak jenuh, bisa menyebabkan pembuluh darah jadi kaku dan itu penyebab darah tinggi. Hanya saja, jangan makan lemak yang ada di dagingnya.

Pada kesempatan lain Pak Amang bercerita ke saya:

“Benar kata Pak Saleh Hen, makan daging kambing tidak menyebabkan darah tinggi.”

“Kok bisa Pak?”

“Bayangkan, kita makan sate misalnya, paling cuma habis sepuluh tusuk. Kalau ditambah gule kambing, berapa total berat semua dagingnya. Ada satu ons?” tanya Amang.

“Ya gak sampai Pak. Paling berapa lah,” jawab saya sekenanya.

“Lha iya, katakanlah kita makan daging kambing satu ons, masak bisa menyebabkan darah tinggi. Kamu tahu, seekor kambing itu beratnya berapa?”

“Ya gak tahu Pak. Yang jelas belasan atau puluhan kilo gram.”

“Lha ya itu, kambing itu sekujur tubuhnya daging thok. Kamu pernah dengar ada kambing sakit karena darah tinggi?”

Tanggapan saya cuma tertawa. Terserahlah apa katanya. Karepmu Pak.

Hingga suatu ketika kepalanya terasa pusing, suka gelisah, leher kaku. Itu memang  gejala hipertensi. Bisa karena daging kambing, merokok atau terlalu banyak minum kopi. Agaknya kali ini Amang berusaha menyembuhkannya sendiri. Khususnya pantang makan daging kambing. Kalau soal merokok sih amat teramat sangat sulit melarangnya. Juga minum kopi.

Nah suatu ketika Pak Amang diajak Dibyo ke rumahnya di Tuban. Dia dijemput mobil oleh pelukis yang dikenal sukses tersebut. Dalam perjalanan dari Surabaya banyak sekali obrolan diantara keduanya. Baik yang serius maupun guyonan. Maklum, bagi masdibyo, Pak Amang adalah salah satu gurunya, selain Pak Pono.

Dalam perjalanan mereka lantas memasuki rumah makan sate kambing. Amang tidak bisa menolak. Namun ketika berada di dalam warung itu dia berkata:

“Dib, aku iki wis gak oleh makan daging kambing lho. Kok kamu ajak makan sate kambing?”

Sik talah Pak, yang dilarang itu makan daging kambing kan?”

Amang hanya mengangguk. Lantas Dibyo menggandeng lengan Pak Amang, mengajaknya ke luar warung agar bisa membaca tulisan di atas warung: “Warung Sate Cempe”

“Lho Pak, ini cempe, bukan kambing,” kata Dibyo.

“Jangkrik…..”

Kontak Pak Amang tertawa ngakak. Apa boleh buat. Santap teruus. (*)

Keterangan foto (ki-ka): Her Rusmadi, Kris Adji AW, Amang Rahman, masdibyo, Setyoko.

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...