Anekdot Seniman (11): SURAT TERPENDEK DI DUNIA
Oleh Henri Nurcahyo
HARIAN Jawa Pos pernah punya rubrik Anekdot. Saya lupa persis tahunnya, mungkin sekitar tahun 1994-1995. Diantara penulisnya yaitu Emha Ainun Najib dan Mustofa Bisri. Ternyata materi yang ditulis itu sebagian tentang Amang Rahman yang memang dikenal memiliki banyak anekdot yang menertawakan dirinya sendiri.
Lantas saya bilang ke Pak Amang, “daripada ditulis orang lain, mbok ditulis sendiri Pak.”
“Kamu yang nulis ya,” kata Pak Amang.
“Honornya buat saya ya?” saya iseng aja mengatakannya.
“Gak papa. Tugasku bercerita, tugasmu menulis.”
Deal, maka sejak itu saya mengirimkan tulisan-tulisan anekdot dengan nama Amang Rahman. Bahannya saya petik dari hasil wawancara setiap kali saya berkunjung ke rumahnya. Sebagai koran besar tentu saja Jawa Pos banyak pembacanya, termasuk kalangan seniman yang mengikuti terus rubrik anekdot itu. Nah karena saya dikenal dekat dengan Pak Amang maka ada saja orang yang bercerita kepada saya anekdot-anekdot terkait Amang Rahman, termasuk Arifin Hidayat sebagaimana yang sudah saya tulis.
Cukup produktif saya menulis anekdot tersebut, sehingga lama-lama sekretaris redaksi Jawa Pos, Mbak Oemi, curiga ketika saya meminta tanda tangan untuk pencairan honor.
“Paling sampeyan yang nulis yaa?”
Saya tidak menjawab. Hanya tersenyum. Toh dia paling sudah tahu, karena selain pelukis, Pak Amang yang juga dikenal sebagai penyair tidak mungkin bisa produktif menulis sendiri anekdotnya.
Bertindak sebagai ghost writer untuk Amang Rahman memang bukan hanya sekali itu saja. Tahun 1991 Amang mendapat undangan menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan di TMII Jakarta. Syaratnya, harus membuat makalah minimal 15 (lima belas) halaman. Maka saya pun dipanggilnya dan diberikan tugas membuat makalah itu. Amang yang bercerita, saya yang menulis. Seingat saya topiknya sekitar “Peran Seniman dalam Masyarakat.”
“Terserah kamu Hen, pokoknya harus jadi minimal 15 halaman,” ujarnya.
Padahal kalau hanya transkrip saja, paling bisa jadi satu halaman.
Akhirnya, berbekal makalah 16 (enam belas) halaman, sudah melebihi target, Amang tampil sebagai narasumber dalam acara prestisius itu dengan moderator Suripan Sadihutomo. Wuah gaya. Sepulang dari Jakarta, saya sempat diciprati sebagian honornya.
Suatu ketika, datanglah surat dari Unesco untuk Pak Amang. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Amang kebingungan untuk membalasnya. Dia bisa mengerti maksudnya namun kesulitan untuk membalasnya kembali dalam bahasa Inggris.
“Hen, kamu kan kenal Joko Pitono, coba minta tolong dia untuk membalas surat ini,” pintanya. Yang dimaksudkan Pak Amang adalah, Djoko adalah wartawan alumnus sastra Inggris IKIP (sekarang Unesa), pernah bekerja di Memorandum dan juga Surabaya Post. Djoko memang sering menjadi penerjemah.
Belum sempat saya bertemu Djoko, permintaan itu diralatnya kembali.
“Saya minta tolong Rudi Isbandi saja, dia kan pinter bahasa Inggris.”
Pada saat itu pelukis Rudi Isbandi menjadi Direktur Kebudayaan Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA). Amang tentu saja mengenalnya dengan baik. Saya pun mengiyakan saja. Sementara Amang masih terlihat tidak yakin dengan idenya.
“Tapi, masak membalas surat selembar ini saja harus minta tolong Rudi. Isin ah,” ujarnya kemudian.
Kemudian saya melintas gagasan unik.
“Begini Pak, sampeyan kan sudah mengerti maksud surat ini kan?”
“Iya, maksudnya surat ini meminta persetujuan untuk menggunakan lukisan saya sebagai bahan kampanye Unesco yang akan direpro di kartu pos.”
“Sampeyan setuju?”
“Ya setuju. Wong ini program mulia. Non profit. Nama saya kan dikenal dunia melalui Unesco.”
“Ya sudah, sampeyan jawab saja setuju. Acc”
“Mosok cuma gitu saja.”
“Gini saja Pak. Surat ini sampeyan fotocopy, terus sampeyan tulisi ACC, dan kirimkan kembali ke perwakilan Unesco di Jakarta”
Hahaha…. Amang Rahman tertawa dengan ide tersebut. Maka jadilah itu surat terpendek di dunia. Hanya ada tiga huruf, ACC, dilengkapi dengan tanda tangan dan nama Amang Rahman. (*)