Anekdot Seniman (14): Tusuk Jarum Sepeda Motor Daryono
KALI ini cerita tentang M. Daryono, salah satu pelukis sahabat Amang Rahman. Daryono dikenal sebagai pelukis ekspresioistis. Nah suatu ketika Daryono memiliki sepeda motor merk Zundap, yang masih menggunakan pedal seperti sepeda biasa. Dia suka pamer kepada teman-temannya di Balai Pemuda bahwa motornya itu adalah salah satu bukti keberhasilannya. Tapi dasar seniman, ada saja yang usil terhadap Daryono dan motornya tersebut.
Konon Daryono berasal dari keluarga mapan dan kalangan atas namun nampaknya dia lebih suka hidup bohemian bersama kalangan seniman. Bahkan pelukis kelahiran Jakarta tahun 1933 ini pernah tinggl di rumah berdinding anyaman bambu di Jalan Petojo Surabaya, disamping pabrik es, sekitar tahun 1969. Dalam catatan kekaryaannya, justru dari rumah gubuk ini lahir karya-karyanya yang impresif. Dibandingkan dengan periode ketika kemudian menempati rumah di Perumnas Manukan.
Suatu ketika Daryono membawa motor Zundapnya ke Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Dia bercerita betapa dia dimudahkan karena memiliki motor itu. Mobilitasnya meningkat. Hanya saja, katanya, susah kalau pas bensin habis, sementara di dompet tidak ada uang.
Iseng-iseng Amang Rahman bermaksud pinjam motor tersebut.
“Lho koen isok tah? Bensinnya tinggal sedikit lho,” kata Daryono.
“Tenang ae Dar, sebentar saja kok.”
Ternyata Amang memang tidak mengendarainya melainkan hanya dituntun. Mulai dari kompleks Balai Pemuda menuju kawasan Jalan Tegalsari. Di situ ada kantor perwakilan harian Sinar Harapan, dimana salah satu redakturnya adalah Amak Syarifudin yang memang dikenal dekat dengan kalangan seniman. Ruang kerja Amak berada di depan dengan jendela yang selalu terbuka sehingga pemandangan di jalanan terlihat jelas.
Dari kejauhan Amang sudah melihat Amak sedang mengetik. Kemudian Amang menuntun motor Zundap itu sehingga dengan mudah dapat dilihat oleh Amak. Lantas Amang menggerak-gerakkan (agak dirobohkan) motor itu ke arah samping yang menandakan bensin hampir habis. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang sampai akhirnya dilihat oleh Amak.
“Pak Amang, ada apa di situ,” teriak Amak.
Amang Rahman lantas mendekat:
“Ini lho, pinjem motornya Daryono kok bensinnya habis.”
Tidak banyak tanya, karena Amak sedang sibuk, kemudian Amang diberi sejumlah uang untuk beli bensin. Tidak lama, Amang langsung balik ke DKS, tetap dengan cara dituntun. Beli bensin? Tentu saja tidak.
“Opo Dar, bensine entek ngono,” ujar Amang. Bensinnya habis, katanya. Lumayan bisa mengaryakan motor untuk dapat uang.
Pada hari yang lain, siang hari, Daryono berada di DKS, nampak berulang kali menstarter motornya. Meski sudah diupayakan sedemikian rupa, masih saja motornya tidak bisa menyala.
Dasar seniman, teman-temannya mulai menggoda Daryono.
“Iku paling gusinya Dar,” ujar Krishna Mustajab.
“Gusi?”
“Iya, gusi.”
“Busi…..,” bentak Daryono.
“Atau mungkin gara-gara Patimah,” tambah Pak Krish lagi.
“Laopo Patimah melok-melok?”
“Lha yo, Patimahe purik.”
“Platina……,” bentak Daryono lagi.
Ternyata pada waktu itu sudah ada bahasa plesetan. Teman-temannya yang sedang nongkrong di teras DKS mulai tertawa-tawa.
Giliran Hardjono WS yang mendekati. Hardjono lantas menempelkan punggung tangannya ke mesin motor.
“Oalah, lha wong sumer gini.”
“Sumer? Adane arek cilik ae.”
“Lha iyo, nek panas gini tandane sumer.”
Kemudian entah siapa yang ikutan, langsung menengahi.
“Wis Dar, gakusah pedulikan arek-arek. Bawa saja ke Jalan Semarang sana lho.”
“Jalan Semarang? Sebelah mana?
“Depan stasiun, agak nyerong dikit lha…”
“Apanya tusuk jarum?”
“Ya di situ, motormu ini sakit, harus ditusuk jarum.”
“Jangkrik, sepeda motor kok ditusuk jarum.”
Daryono mangkel karena dikerjai teman-temannya. (*)