Anekdot Seniman (16): AMANG RAHMAN PINGSAN MENONTON TINJU
Catatan Henri Nurcahyo
NASKAH serial ini saya ganti dengan sebutan Anekdot, bukan Humor. Ternyata Humor adalah fiksi sedangkan anekdot berdasarkan peristiwa nyata (non fiksi). Nah karena semua yang saya ceritakan adalah nonfiksi, maka lebih tepat disebut Anekdot. Semua sebutan Humor sudah saya ganti. Dengan demikian semua kesalahan sudah saya perbaiki. Termasuk, kisah kali ini, tentang seorang Amang Rahman sebagai pecandu berat pertandingan tinju, hingga dia pingsan.
Memang tahun 1980-an tinju adalah olahraga yang sangat populer. Tidak banyak yang menyangka bahwa pelukis surealis ini tergolong penggemar berat olahraga tinju. Tentu saja sebagai penonton. Setiap ada pertandingan tinju di berbagai tempat Amang berusaha untuk bisa menyaksikannya secara langsung. Bahkan ketika pertandingan dilangsungkan di luar kota.
Dalam hal hobi ini Amang berseberangan dengan Taufik Ismail, penyair yang juga dikenalnya itu. Menurut Taufik, pertandingan tinju adalah tidak manusiawi. Bagaimana mungkin ada manusia diadu sesama manusia di atas ring dan disaksikan dengan bahagia oleh orang banyak. Ini adalah ajang pembantaian manusia atas manusia lain.
Tapi dasar penyair, Taufik melontarkan kritiknya itu dalam bentuk beberapa (tidak cuma satu) sajak yang dikirimkan sebagai Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Taufik mengritik histeria yang timbul oleh kesukaan terhadap saling pukul petinju di atas ring. Mendengar lonceng saja sudah kegirangan, apalagi bunyi “gedebuk” dan darah yang muncrat dari orang-orang yang diadu itu. Banyak orang suka mendapatkan kesenangan dan kesakitan orang lain.
Tapi menurut Amang Rahman, pertandingan tinju disebut tidak manusiawi kalau dilakukan oleh orang yang bukan petinju. Sebab sebelum naik ring, semua petinju harus menjalani latihan keras untuk memukul dan dipukul. Mereka memang sudah dipersiapkan untuk menyerang atau diserang. Sangat berbeda kalau hal itu dilakukan orang biasa. Apalagi salah satunya terbiasa berkelahi dan lawannya adalah orang biasa. Apa bedanya dengan perang? Apakah itu juga tidak manusiawi?
Begitulah, suatu ketika Amang Rahman dan beberapa temannya (saya lupa, mungkin salah satunya adalah Tedja Suminar) menonton pertandingan tinju di Malang. Sebagaimana biasa, semua penonton bersorak sorak gembira ketika jagonya menyerang. Sebaliknya mereka diam dan bersedih manakala jagonya kalah. Kebetulan, petinju yang dijago Amang ternyata berulangkali diserang habis-habisan oleh lawannya hingga babak belur dan akhirnya kalah. Amang tidak tega melihatnya sehingga tiba-tiba dia langsung pingsan di tengah penonton. Tentu saja kawan-kawannya kaget dan sangat bingung.
Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu Amang sudah berada di rumah sakit di Malang. Yang jelas bukan teman-temannya yang membawa ke situ, sebab mereka pura-pura tidak kenal agar tidak ikut menanggung biaya rumah sakit. Amang mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya karena dikhawatirkan ada gangguan jantung.
Nah ketika Amang sudah sadar, perawat rumah sakit berkata:
“Bapak selesaikan administrasinya di bagian keuangan ya.”
Amang bingung. Kemana teman-temannya yang bareng bersamanya? Apakah mereka tidak mengurus soal biaya administrasi? Tetapi seketika Amang paham, bahwa tidak mungkin teman-temannya membayar, lha wong sangu buat pulang saja pas-pasan. Tapi seketika Amang lantas improvisasi.
“Soal biaya biar diselesaikan Pak Giyono saja,” ujarnya tenang.
“Pak Giyono siapa?”
“Ya Pak Soegiyono, masak tidak kenal?”
Perawat itu ragu-ragu. Sepertinya nama itu memang akrab bagi warga kota Malang. Tetapi masak itu yang dimaksudkan.
“Maksud Bapak, Walikota Malang?”
“Iya, Ebes Soegiyono, siapa lagi?”
Perawat itu tambah bingung. Memangnya pasien ini siapa? Kok bisa-bisanya beaya perawatan diminta Walikota yang nanggung. Akhirnya dia keluar ruangan dan mengadukannya kepada dokter. Si Dokter juga kaget. Dia menduga pasiennya ini orang terkenal.
“Lho, Pak Amang,” kata dokter itu begitu dia masuk dan tahu pasien yang dirawat.
Amang lupa-lupa ingat. Namun dia berlagak sok kenal. Apalagi perawat tadi ikut masuk ke ruangan. Biar dikira Amang memang orang yang terkenal.
“Iya Dok, Bapak ini bilang katanya yang menanggung beaya perawatannya Walikota Malang. Apa benar Dok?” tanya perawat itu.
Dokter itu tersenyum. Dia tahu persis bahwa Ebes Sugiyono memang dikenal dekat dengan kalangan seniman, termasuk seniman Surabaya. Jadi tidak heran kalau kemudian namanya dicatut oleh Amang Rahman.
“Sudah-sudah, nanti saya yang urus, Suster keluar saja,” kata Dokter itu.
Hanya berdua di ruangan, dokter itupun tak bisa menahan ketawanya.
“Sampeyan iku isok-isok ae Pak. Pake adegan semaput barang.”
“Sebentar, saya lupa, nama Dokter siapa ya?” Padahal Amang memang sama sekali tidak mengenalnya.
“Aku adike Gombloh Pak. Wis gak usah dipikir soal beaya. Urusanku itu.”
Belakangan diketahui, dokter itu namanya Sudjari, memang adik kandung Gombloh alias Soedjarwoto, penyanyi legendaris itu. Entah bagaimana selanjutnya, apakah biaya itu ditalangi oleh Dokter Sudjari ataukah memang betul-betul dimintakan ke Walikota. Amang tidak peduli.
Akhirnya Amang bisa bernafas lega. Keluar dari rumah sakit dengan bebas tanpa mengeluarkan biaya perawatan sama sekali. Namun dalam hati dia misuh-misuh:
“Jangkrik arek-arek iku, kancane semaput malah ditinggal.” (*)
Teks foto: Amang Rahman dan Taufik Ismail