Anekdot Seniman (17): AMANG RAHMAN DIGAMBAR TELANJANG
Catatan Henri Nurcahyo
KALI ini cerita tentang Ipe Ma’aruf, sketser handal yang tidak ada duanya di Indonesia hingga saat ini. Rudi Isbandi pernah menyebut Ipe adalah raksasa sketser Indonesia bersama dengan Lim Keng dan Tedja Suminar. Kini keduanya sudah tiada, termasuk Rudi Isbandi. Hanya Ipe yang bertahan hingga usia 83 tahun sekarang ini. Suatu ketika Ipe pernah melukis sketsa Amang Rahman dalam keadaan telanjang bulat. Bagaimana ceritanya?
Saya punya kenangan tersendiri dengan pelukis kelahiran Padang 11 November 1938 ini. Sekitar tahun 1993-an (saya lupa persisnya) selama dua minggu saya bersama Ipe keliling Sulawesi Selatan lantaran diajak oleh Arifin Hidayat (alm) dan istrinya. Juga ikut serta saudara Arifin dan Zawawi Imron. Ipe selama dalam perjalanan di atas kapal juga melukis. Sementara Zawawi, seperti biasa, membacakan puisi di berbagai kesempatan. Sedangkan saya mencatat semuanya dan menuliskan laporan di Surabaya Post, meski waktu itu saya sudah keluar sebagai wartawan di koran itu.
Tahun 2018, saya bertemu Ipe di halaman Galeri Nasional Jakarta. Ternyata dia tidak lupa dengan saya. Lantas bercerita pengalaman di Makasar itu. Dia juga ingat bahwa saya pernah tinggal di Trawas sebagaimana saat ke Makassar itu saya memang tinggal di Trawas. Tapi, kemudian Ipe malah lupa nama saya. Lho?
Setelah saya goda agar dia kembali mengingatnya, akhirnya Ipe menyerah. Gagal. Lantas saya tunjukkan kartu nama. Dia pandangi kartu nama itu, menoleh ke wajah saya, melihat kartu nama lagi, kemudian berkata:
“Ah bukan, kamu bukan Henri Nurcahyo.” Lha dalah, cilaka ini…..
Ya sudah gak papa. Saat itu hari Kamis, acara rutin melukis sketsa bersama puluhan pelukis muda lain. Saya dimintanya duduk tenang lalu Ipe melukis saya. Beberapa saat kemudian ternyata dia berhenti:
“Saya nyerah, gagal melukis kamu, soalnya saya berharap sesuatu….”
Ya sudah gak papa. Kemudian saya diberi lukisan yang sudah jadi. Sebuah sketsa yang dilukis di atas karton menggunakan semacam paku. Baru setelah selesai diusap-usap dengan bubuk tinta hitam maka muncullah garis-garis putih objek lukisannya. Luar biasa. Ini cara melukis yang sangat langka.
Nantilah saya cerita soal Ipe lagi. Sekarang yang ada hubungannya dengan Amang Rahman saja, sahabatnya. Amang seringkali menyebut Ipe memiliki saudara dimana-mana. Kok bisa?
“Lha semua orang memanggilnya Ipe, kan berarti dianggap ipar?” ujar Amang.
Ipe dalam bahasa Jawa memang artinya saudara ipar. Ipe (IP) sebetulnya singkatan dari Ismet Pasha.
Pelukis nyentrik ini kemana-mana selalu berjalan kaki. Kadang dia muncul bersama anak muda yang diajaknya berjalan hingga puluhan kilometer sampai anak muda itu menyerah. Hal itu sudah berlangsung beberapa kali.
“Anak muda sekarang manja,” ujarnya
Nah suatu pagi Ipe tiba-tiba sudah muncul sendirian di rumah Amang Rahman di Jalan Kali Kepiting. Waktu itu Amang masih tidur di sofa ruang tamu. Mungkin habis Subuh dia tidur di situ. Ipe langsung saja duduk di kursi depannya, mengeluarkan kertas dan pena, melukis Amang.
Ipe tenang saja duduk di kursi. Sementara Bu Amang yang tahu ada tamu langsung membuatkan kopi.
“Iki Lho Mang, ada tamu, kok turu ae,” ujarnya.
“Lho, Pe, sudah lama?” tanya Amang begitu bangun.
Ipe tidak menjawab tapi hanya menunjukkan selembar kertas tebal yang terdapat gambar lelaki sedang tidur di kursi. Itu adalah lukisan tentang Amang Rahman.
“Lho, Pe, kenapa aku kamu lukis telanjang”
Ipe hanya tertawa.
“Saya kan pake sarung, kalau lukisan ini dilihat orang saya malu Pe.”
“Kalau pake sarung ongkosnya nambah sepuluh ribu.”
“Gila kamu Pe. Ya sudah, lukis lagi sarungnya.”
Ipe tertawa memperlihatkan giginya yang tidak lengkap lagi.
Begitulah kedua seniman bersahabat karib itu memang suka menggoda. Ada lagi cerita yang lebih seru soal Ipe dan Amang. Besok saja ya. Ini sudah panjang. (*)