Artikel

Anekdot Seniman (18): TANPA UANG, BISA NAIK ANGKUTAN DAN MAKAN DI RESTORAN

Anekdot Seniman (18): TANPA UANG, BISA NAIK ANGKUTAN DAN MAKAN DI RESTORAN

Catatan Henri Nurcahyo

BARANGKALI dari sekian banyak anekdot terkait Amang Rahman maka inilah yang paling dramatis sekaligus lucu. Bagaimana mungkin Amang dan Ipe Ma’aruf dapat pergi ke Malang naik Mobil Penumpang Umum (MPU) dan makan di restoran padahal tidak punya uang sama sekali? Ketika saya  mendengar kisah ini merasa deg-degan hingga akhirnya tertawa ngakak. Improvisasi mereka sangat luar biasa. Kali ini ceritanya agak panjang yaa….

Suatu ketika Ipe Ma’aruf datang ke rumah Amang Rahman. Dia mengajak Amang pergi ke Malang, entah apa urusannya. Lantaran Amang sedang gabut maka dia iya-iya saja diajak pergi. Meski tinggal di Jakarta, Ipe memang sering sekali ke Surabaya dan pastinya selalu mampir ke rumah Amang Rahman, sahabatnya.

Berangkat dari rumah, mereka berdua naik becak menuju tempat yang bisa naik MPU Colt Bison jurusan Malang. Tidak dijelaskan, siapa yang membayar ongkos becak. Mungkin Ipe sendiri. Nah ceritanya menjadi seru ketika mereka berdua sudah berada di dalam MPU. Setelah berjalan beberapa lama, kenek MPU menanyakan:

 “Ongkosnya Pak…”

Amang yang kebetulan mendapat pertanyaan itu lantas menyenggol Ipe dengan sikunya:

“Pe, ongkosnya,” kata Amang.

“Saya gak punya uang Mang,” jawab Ipe berbisik.

Tentu saja Amang kaget. Bagaimana mungkin Ipe bisa tidak membawa uang untuk membayar ongkos kendaraan, sementara Amang sendiri juga tidak punya uang.

“Kamu bayari dulu Mang.”

“Lho, aku juga tidak bawa uang Pe.”

Mereka bicara dengan volume perlahan agar tidak terdengar kenek angkutan. Meski sebenarnya masih juga bisa terdengar. Satu persatu penumpang sudah ditarik ongkos oleh kenek, tinggal mereka berdua yang belum.

“Ongkosnya Pak,” kata kenek lagi.

“Pe, ayo bayar,” kata Amang.

“Lho, aku gak punya uang Mang.”

“Kamu ini gimana? Kalau gak punya uang mengapa ajak aku ke Malang?”

“Lho, kalau aku punya uang ngapain ajak kamu Mang?”

Ini logika yang aneh. Biasanya, pihak yang mengajak itulah yang berkewajiban membayar. Tetapi logika Ipe malah terbalik. Justru dia gak punya uang itulah maka mengajak Amang.

“Nanti saja kalau mau turun saya bayar Mas, ” ujar Amang kepada kenek angkutan.

“Turun mana Pak?”

“Malang.”

Bisa dibayangkan, bagaimana persoalan rumit ini dapat diatasi? Apakah mungkin membayar ongkos angkutan dengan jaminan KTP? Kalau toh ada benda berharga, arloji misalnya, bisa dipakai pengganti ongkos. Tetapi mereka sama sekali tidak memilikinya. Bahkan juga cincin akik.

Mobil terus melaju, melewati Pandaan, Purwosari, penumpang satu persatu turun. Ada yang naik, ada yang turun lagi. Tiba-tiba hujan turun deras. Mobil sudah melewati Purwodadi. Tujuan sudah semakin dekat, sementara belum ada gagasan brilian bagaimana membayar ongkos angkutan.

Ketika memasuki Singosari, hujan sudah reda, tiba-tiba Amang berkata:

“Kiri Mas.”

“Turun sini Pak?”

“Iya, tapi tunggu sebentar ya. Sebentar saja.”

Maka mereka berdua setengah berlari memasuki sebuah rumah makan.

“Pesen apa Pak?” tanya pelayannya.

“Anu mbak, maaf, saya pinjam dulu uang buat bayar ongkos angkutan ya…. Nanti saya pesen makanan,” ujar Amang.

Entah bagaimana pelayan itu percaya saja, langsung menuju kasir dan memberikan sejumlah uang kepada Amang Rahman. Beres sudah urusan ongkos angkutan.

“Ayo, makan Pe,” ajak Amang.

Mereka berdua lantas memesan makanan yang enak-enak, yang diperkirakan harganya melebihi ongkos angkutan. Tidak lupa pula beli rokok. Masing-masing satu bungkus. Pertanyaannya kemudian, bagaimana membayar makanan dan melunasi hutang? Sekarang persoalannya malah bertambah menjadi dua.

“Begini aja Mang, kamu tunggu di sini, aku mau ke rumah Dokter Ten Ham, menagih lukisanku yang dia beli tapi belum bayar,” ujar Ipe.

Waktu itu memang dikenal ada seorang dokter keturunan Belanda bernama Ten Ham yang dikenal suka membeli lukisan. Kalangan pelukis di Surabaya kenal baik. Dokter Ten Ham tinggal di Singosari.

Tanpa menunggu jawaban, Ipe lantas mencari becak menuju rumah Dokter Ten Ham. Sementara Amang menunggu di restoran sambil merokok. Jadi ingat lagunya Iwan Fals: Habis berbatang-batang tuan belum datang…. Dalam hati resah menjerit bimbang……

Seperti itulah yang dialami Amang Rahman. Mulai dari hitungan menit hingga hitungan jam, Ipe belum juga kembali. Amang sangat gelisah. Betul-betul gelisah. Pelayan restoran lantas menagih harga makanan.

“Iya, sebentar ya Mbak, nunggu teman saya.”

Jarum jam terus bergerak. Ipe belum datang, Amang bertambah gelisah, pelayan restoran itu menagih kembali, Amang tetap memberikan jawaban yang sama. Hingga akhirnya pelayan itu berkata:

“Begini Pak, Bapak bisa menunggu temannya di depan, tapi bayar dulu, restoran ini mau tutup.”

Astagaa….. Tentu saja Amang kaget luar biasa. Jantungnya berdebar keras. Dalam hatinya dia misuh-misuh kepada Ipe yang tidak datang-datang.

Setelah beberapa lama sebuah becak berhenti depan restoran, Ipe turun dari becak, bergegas menuju kasir dan mengeluarkan sejumlah uang yang kebanyakan berupa recehan uang logam.

“Jian…..k kamu Pe, kok lama banget.”

“Gini Mang. Ceritanya agak panjang.”

Ternyata, ketika Ipe sampai di rumah dokter Ten Ham, dia sedang praktek. Lantas Ipe diminta ke belakang dulu, disuruh istirahat di kamar. Tentu saja Ipe tidak mungkin akan tidur. Dalam kepalanya terbayang, bagaimana caranya mendapatkan uang. Kalau menunggu selesainya praktek pasti lama. Sementara Amang pasti gelisah menunggu di restoran.

Telentang di atas kasur dalam kamar, Ipe berpikir keras, bagaimana bisa secepatnya mendapatkan uang. Kemudian dia keluar kamar, mendekati pembantu rumah tangga yang memang sudah dikenalnya karena Ipe beberapa kali ke rumah dokter itu. Ipe meminjam sejumlah uang ke pembantu itu.

“Saya tidak punya Pak kalau segitu.”

“Kamu punya celengan kan?” tanya Ipe.

Lantas Ipe memaksa pembantu itu memecah tabungan berupa celengan dari gerabah. Pyaar. Celengan dipecah. Banyak uang receh logam yang entah berapa jumlahnya, langsung diambil oleh Ipe.

“Nantilah saya ganti, kamu kan tahu aku sering ke sini,” ujar Ipe.

Begitulah ceritanya, mengapa uang yang dibayarkan ke restoran banyak berupa recehan uang logam.

“Gila kamu Pe.”

“Kamu juga.”

Hahaha…. Mereka berdua tertawa ngakak. Bagaimana selanjutnya? Tidak diceritakan. (*)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...