Anekdot Seniman (19): NYEGAT MOBIL WALIKOTA
Catatan Henri Nurcahyo
SIAPAKAH yang berani mencegat mobil walikota dan kemudian ikut numpang? Pelukis M. Daryono pernah melakukan hal itu. Zaman Surabaya dipimpin oleh Walikota Moehadji Widjaja (1979 – 1984) memang kalangan seniman sangat dekat. Hal ini mengulang masa-masa kepemimpinan Walikota Soekotjo (1965 – 1969 – 1974) yang kemudian melahirkan Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Walikota Soekotjo juga dikenal dengan para seniman.
Dasar seniman, memang tidak punya unggah-ungguh lantaran sikap egalitariannya. Begitu pula terhadap Walikota, yang notabene seorang pejabat formal yang memimpin sebuah kota. Karena itu, ketika Daryono sedang berjalan di trotoar, terlihatlah mobil sedan dinas Walikota Surabaya, Moehadji Widjaja. Merasa kenal baik dan sok akrab, tiba-tiba Daryono menyorongkan lengannya sebagai tanda agar mobil berhenti.
“Pak saya numpang ke Balai Pemuda ya,” ujar Daryono.
Bersama Moehadji, Daryono duduk di kursi belakang sisi kiri. Tidak berapa lama Daryono membuka jendela mobil.
“Dar, jangan dibuka, panas, kan ada AC-nya,” cegah Moehadji.
Dengan santainya Daryono menjawab:
“Lho, biar orang tahu kalau saya satu mobil dengan walikota.”
Moehadji hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan seniman nyentrik ini.
Bagaimanapun sosok Moehadji memang dikenal dekat dan peduli terhadap seniman. Juga kalangan pemuda yang berada di naungan Pusura (Putera Surabaya). Waktu itu Pusura dikenal menjadi sarangnya preman yang ditakuti dan cukup meresahkan masyarakat Surabaya. Nah Moehadji mempunyai perhatian yang cukup baik terhadap Pusura. Menurut kesaksian wartawan senior Yousri Noer Raja Agam, Moehadji melakukan pendekatan persuasif kepada anak muda yang dicap sebagai preman. Cak Nuralim, salah seorang yang cukup disegani di kalangan anak muda yang dicap preman waktu itu, didekati oleh walikota Moehadji Widjaja.
Ditambahkan Yousri, bersama beberapa wartawan dan tokoh muda Surabaya, Moehadji Widjaja menyambut baik berdirinya organisasi yang diberi nama Generasi Muda Arek-Arek Surabaya (Gemaas). Cak Nuralim diangkat sebagai ketua Gemaas yang pertama dengan wakilnya Hari Sasono DS yang waktu sebagai wartawan majalah “Selecta Group” Jakarta, perwakilan Jawa Timur.
Cak Nuralim dan Cak Hari Sasono mengajak beberapa wartawan sebagai pengurus Gemaas. Mereka antara lain: Arifin Perdana, Anton Abdullah, Anton Tjondro, Yousri Nur Raja Agam, Yamin Akhmad dan beberapa anak-anak muda lainnya. Saat Gemaas diresmikan oleh walikota Moehadji Widjaja, tahun 1980 itu, anggota Gemaas ini terdiri dari gabungan anak muda yang dicap sebagai “preman”, juga beberapa orang wartawan dan seniman.
Nah ketika dibangun Perumnas di kawasan Manukan, Moehadji menyediakan jatah 3 (tiga) unit rumah untuk seniman yang dikenal dekat, yaitu sastrawan Muhammad Ali, Amang Rahman dan M. Daryono.
Untuk Muhammad Ali, tidak ada persoalan. Surat-surat langsung diurus dan selesai. Sampai dengan meninggalnya, Pak Ali masih tinggal di Perumnas Manukan tersebut.
Sedangkan Daryono, yang waktu itu tinggal di rumah gubuk Jalan Petojo, terhalang tidak memiliki dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun Daryono tidak patah arang. Ketika dia ditanya dokumen kependudukan itu oleh petugas Perumnas, dikeluarkannya sebuah foto dirinya bersama dengan Moehadji Widjaja.
“Saya ini penduduk Surabaya, ini buktinya saya foto berdua dengan Walikota,” jawabnya tegas.
Entah bagaimana ceritanya, urusan perumahan ini bisa terselesaikan. Daryono menempati rumah itu hingga wafatnya.
Sementara Amang Rahman, entah kenapa, tidak bisa pindah ke Perumnas. Ketika saya tanya sebabnya, waktu itu Pak Amang tidak menjawab jelas. Mungkin juga keterbatasan dokumen. Yang jelas, Amang masih menempati rumah kontrakan di Kedung Tarukan, kemudian pindah kontrak lagi di Mojoklanggru, hingga akhirnya berhasil memiliki rumah sendiri di Jalan Kali Kepiting 11.A.
Begitulah, masih ada cerita lucu soal Daryono. Nanti saja digabung dengan seniman lain dengan topik yang sama. (*)